logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

part-05

"Kalian kenal dimana?" tanya Dina masih terlihat bingung. Mungkin dia sangat penasaran kenapa aku bisa kenal dengan, Dino.
"Kita tetanggaan." jawabku pendek. Sedikit kurang nyaman kenapa Dina terlihat begitu heran karena aku bisa kenal dengan Dino. Padahal, menurutku kenal gak kenal juga biasa aja dong ekspresinya. Gak usah seperti mau makan orang juga kali.
Mendengar jawabanku, Dina semakin terkejut. Mungkin dia kaget dengan informasi jika aku bertetangga dengan orang ganteng seperti, Dino.
"Wah, ternyata kalian tetanggaan, ya." ucap Dina dengan ekspresi dan suara yang sangat normal. Buset! Cepat banget berubahnya.
Kubalas dengan anggukan pelan. Kulihat sekilas, Dino juga menganggukan kepalanya.
"Silahkan, katanya tadi mau belanja di sini, kan." Ucap Bapak sambil menyingkir dari hadapan Dina dan Dino ke arah kiri.
"Kita juga sudah selesai belanjanya. Kita duluan kalau begitu. Ayok, Na." ucap Bapak sambil mengajakku pergi dari sana.
"Oh iya, Paman. Hati-hati ya Na, bawa motornya." ucap Dina saat melihat aku dan Bapak sudah mau pergi. Dina ini juga tahu kalau setiap pergi dengan Bapak. Selalu aku yang mengendarai motor.
"Siap!" Jawabku sambil tersenyum ketika melewatinya.
"Jaman sekarang, masih kecil aja sudah berani pacar-pacaran," ucap Bapak setelah jauh dari keberadaan Dina dan Dino.
Meskipum Dina dan Dino tidak membeberkan jika mereka berdua pacaran. Namun, jika dilihat dari cara mereka berpegangan tangan tadi. Sudah jelas mereka berdua gandengan tangan bukan hanya sekedar membimbing jalan.
"Biarin si, Pak." jawabku pendek. Ada sedikit rasa tidak suka saat Bapak berkata seperti itu.
"Ya, memang. Bapak biarin aja. Tapi, kalo anak Bapak yang pacaran maka tidak akan Bapak biarin," sahut Bapak lagi. Membuat hatiku menciut dan takut ketika mendengar jawaban Bapak tersebut.
Melihatku yang diam saja, tanpa merespon. Bapak langsung menoleh.
"Jangan-jangan kamu juga pacaran?" Tembak Bapak, langsung membuatku kaget dan sedikit salah tingkah. Terlihat juga gesture beliau yang sedikit menakutkan. Karena, mimik beliau yang tadinya hanya sekedar bercanda kini sudah terlihat serius dan menahan marah.
Dari mana aku tahu jika Bapak sedang menahan marah? Jelas tahu. Beliau kan bapakku. Jadinya, sudah hafal antara beliau marah atau tidak. Nah, sekarang Bapak tidak kelihatan benar-benar marah, sih. Cuman seperti menyiratkan jika aku benar pacaran seperti yang beliau duga maka habislah aku, nah kira-kira seperti itu.
"Gak, lah!" seruku sedikit ngegas. Padahal, dalam hati sudah ketar-ketir gak karuan. Takut jika Bapak bisa membaca pikiranku dan tahu aku berbohong ketika melihat ekpresiku yang menggambarkan orang ketangkap basah. Semoga saja tidak. Doaku dalam hati.
"Baguslah kalau begitu." Ucap Bapak seketika langsung membuatku lega mendengarnya.
"Awas, ya! Kalau sampai kamu berani pacar-pacaran, langsung Bapak nikahkan nanti." ucap Bapak lagi. Yang langsung aku tanggapi dengan menganggukkan kepala dengan cepat. Aku kira Bapak tahu jika aku berbohong. Huft, jantungku rasanya hampir copot melewati pembahasan tentang pacaran ini. Bapak juga seakan tak ada bosan-bosannya mengulang kalimat peringatan seperti itu terus.
Aku yang takut, tidak berani menjawab lagi. Hanya berani kubalas dengan anggukan kepala. Tanda, jika aku mengiakan larangan Bapak itu. Bertambah takut dan berkeringat dinginlah ketika aku menyadari di belakang beliau ternyata aku sudah melanggar larangan itu.
Namun, fokusku saat ini tak ada lagi di ... ah andai Bapak tahu. Gimana ya reaksi beliau?
Justru pikiranku lebih ke hal yang tadi Bapak katakan tentang 'Nikahkan'. Dasar aku. Bukannya takut dan langsung mengakhiri hubungan ketika Bapak memberi peringatannya kembali. Aku justru memikirkan hal yang langsung membuatku tersenyum.
Jika nanti aku ketahuan pacaran. Apa aku akan langsung dinikahkan dengan Rian?
Memikirnya kok bukannya takut, akan tetapi justru aku senang, ya. Apakah aku aneh?
Seharusnya aku takut, bukan? Jika rahasiaku yang pacaran diam-diam ini nanti ketahuan Bapak. Namun, setelah mendengar kata nikah yang tadi Bapak ucapkan kok aku justru merasa senang bukannya takut.
Karna, jika aku dan Rian ketahuan. Maka kami akan dinikahkan. Kan begitu tuh yang aku tangkap dari peringatan Bapak tadi. Setelah memikirkannya, menurutku itu tidak terlalu buruk juga. Hey, jika misalnya aku ketahuan pacaran dengan Rian. Setelah itu aku dinikahkan dengannya. Tentu saja hal ini bukan hal yang buruk melainkan suatu hal yang sangat menggembirakan untukku.
Rian? Seandainya kamu mendengar akan dinikahkan denganku. Apakah kamu juga merasa senang? Seperti yang kurasakan sekarang ini.
Hmmm. Sepertinya tanpa perlu bertanya aku juga tahu Rian pasti merasakan hal yang sama. Kami kan saling mencintai.
Aku juga yakin. Rian juga pasti senang, sama seperti yang kurasakan saat ini. Karna, seperti yang Rian bilang. Kami berdua saling mencintai. Meski usia kami masih remaja. Namun, aku yakin seyakin-yakinnya. Jika Rian adalah cinta sejatiku yang nantinya hubungan diam-diam kami ini akan berujung dengan pernikahan.
Duh. Sekarang bukannya takut lagi dengan hubungan yang terjalin secara diam-diam ini. Aku justru tertantang untuk mempublikasikannya. Dengan mengatakan jika aku dan Rian pacaran. Apakah Bapak benar tidak marah, melainkan beliau langsung menikahkan kami.
Astaga. Memikirkan jika aku dan Rian akan menikah, karuan saja membuatku langsung tersenyum lagi.
"Kamu kenapa senyam-senyum begitu? Mau nikah?" Ucapan Bapak ini langsung membuyarkan lamunanku. Dih, Bapak hafal banget dengan ekspresiku yang benar-benar mupeng ingin nikah.
Malunya. Ke gap Bapak sendiri lagi. Mendengar perkataan Bapak itu, aku langsung tersenyum malu.
"Sekolah dulu yang benar. Urusan nikah itu nanti setelah kamu sudah lulus sekolah. Bapak ingin punya anak yang bisa lulus sekolah. Minimal lulus SMA." ucap Bapak dengan sorot mata sendu.
Mendengar keinginan Bapak serta melihat sorot mata beliau seperti sekarang. Perasaanku yang tadinya sedang berbunga kini langsung layu.
Ternyata keinginan Bapak begitu besar agar aku dan kedua adikku bisa mengenyam pendidikan hingga lulus. Karena, dari delapan orang anak. Hanya aku dan Ina-lah yang kini bisa sekolah mencapai bangku SMA. Sedangkan Ery, masih duduk di jelas sembilan.
Perasaanku kembali campur aduk gak karuan. Baru saja tadi aku memikirkan sosok Rian dan ingin menikah dengannya tanpa memikirkan tentang pendidikan. Juga tidak memikirkan perasaan Bapak ketika seandainya beliau tahu ternyata selama ini aku sudah berani pacaran diam-diam.
Teganya aku. Namun, pikiran egois itu kembali muncul. Anak Bapak kan bukan hanya aku. Masih ada dua lagi. Kalau keinginan Bapak tadi tidak bisa aku wujudkan. Kedua adikku kan bisa mewujudkannya.
Benar kan? Ah mengingat jika aku masih mempunyai dua adik yang bisa mewujudkan keinginan Bapak tadi. Aku kembali langsung kembali tersenyum.
Rian. Kalau kita dinikahkan. Kamu pasti juga senangkan?
Next

Komentar Buku (142)

  • avatar
    Rembez Rembez

    bagus menarik, saya suka dengan cerita novel

    3d

      0
  • avatar
    maewaJael

    bagus

    17d

      0
  • avatar
    HendiHusni

    nice

    20d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru