logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Kebahagiaan Kayra

TEST PACK DI TAS SEKOLAH ANAK LELAKIKU
BAB 7
POV MAYRA
“Bu … Ibu tenang dulu, ya,” ujar Mas Ardi mencoba menenangkan.
“Antar Ibu menemuinya!” titahnya.
Aku dan Mas Ardi hanya terdiam, tidak tahu harus bagaimana. Takut jika Ibu Mertua akan melakukan hal diluar dugaan pada Kayra nanti.
“Kenapa kalian diam, hah?!” bentaknya.
Baru kali ini aku melihat Ibu Mertua semarah ini. Siapa yang tidak marah jika masalah yang dihadapi akan mencoreng nama keluarga dan aib itu akan menyebar dengan sendirinya membuat orang-orang akan memandang remeh keluarga ini nanti.
“Aku mohon Ibu tenang dulu, ya,” mohonku.
Ibu Mertua tidak mendengarkan, ia mencoba turun dari ranjang.
Brug!
“Ibu ….” teriakku dan mas Ardi.
Aku dan Mas Ardi langsung membantu Ibu Mertua untuk berdiri, baru saja satu langkah tubuhnya langsung ambruk. Baru ingat jika kaki Ibu Mertua sakit dan beliau memaksakan diri untuk berjalan.
“Lepaskan! Aku bisa berjalan sendiri!” Beliau mencoba menepis tanganku dan Mas Ardi. Tidak ingin terjadi apa-apa akhirnya kami mengalah.
“Ibu duduk aja. May akan panggilkan dia kesini,” ujarku.
Berjalan keluar dan mencari Kayra, mendapatinya tengah membuat susu yang tadi kubelikan.
“Habiskan susunya, setelah itu ikut Ibu ke kamar Nenek,” seruku.
Kayra terlihat heran tapi akhirnya mengangguk juga. Belum sampai gelas itu menyentuh bibirnya, Kayra menyimpanya kembali dan berlari ke wastafel memuntahkan isi perutnya, Aku mengikutinya dari belakang sambil membawakan air hangat untuknya.
“Bau susunya bikin Kayra mual, Bu,” keluhnya.
Aku membawanya untuk duduk di kursi. Tidak ingin memaksanya untuk meminum susu itu. Wajahnya terlihat layu setelah semua isi perutnya keluar semua.
Jadi tidak tega aku membawanya bertemu Ibu Mertua.
“May!” panggil Mas Ardi dari pintu kamar Ibu Mertua.
Aku mengangguk mengerti dan membawa Kayra kesana dan memanggil Nathan juga. Kayra berdiri di belakang tubuh ini, mungkin dia merasa takut. Karena wajah Ibu Mertua memang terlihat sangar tapi sebenarnya hati beliau sangat lembut.
“Bu, Kay takut,” bisiknya.
“Duduk di sini!” tutur Ibu Mertua sambil menepuk pelan sisi ranjang.
“Gak apa-apa, Nenek cuman mau ngomong aja,” bujukku. Perlahan Kayra maju meskipun terlihat ragu.
“Duduk!” titah Ibu Mertua.
Tangan keriput itu melayang di udara. Aku sudah berpikir buruk saat tangan Ibu Mertua melayang di udara ternyata tangan keriputnya mengelus pipi Kayra sedetik kemudian merengkuh Kayra dalam pelukannya.
“Jadilah Ibu yang kuat buat anak kamu, anak kamu sangat berharga … jaga dia dengan sepenuh hati,” tutur Ibu Mertua.
Pandanganku kabur karena air mata yang menggenang. Hati ini bergetar, hanya perempuan yang bisa merasakan penderitaan perempuan lainnya. Jika aku ada di posisi Kayra mungkin aku tidak bisa sekuat dia.
“Memang … semua ini berat. Jangan dengarkan omongan orang karena … mereka tidak tahu seberapa besar penderitaan kamu, Nak,” lanjutnya dengan terpatah-patah karena tangisan pilu itu seperti tidak bisa ditahan oleh Ibu Mertua.
“Kamu dan Nathan memang salah, tutupi masalah ini serapat mungkin karena jika tidak … anak kalian yang akan menjadi korbannya nanti. Orang-orang pintar mencela dan mengumbar aib orang lain tapi lupa dengan aib dirinya sendiri,” pesannya lalu melepaskan Kayra dari pelukannya. Mata Kayra juga sudah basah oleh air mata.
“Minta ampun pada Allah, Nak! Jangan lagi melakukan perbuatan yang akan membuat kalian sendiri menanggung perihnya dosa itu. Bukan hanya kalian, orang tua kalian yang tidak tahu apa-apa ikut menanggungnya. Apa kalian tega?” tutur Ibu Mertua.
Aku melihat Mas Ardi berdiri membelakangi kami, punggungnya bergetar. Aku mendekat, melihat matanya yang sudah memerah. Tangan ini menghapus jejak air mata di pipinya.
“Kita harus kuat untuk anak kita, Mas,” lirihku.
“May, antar dia ke kamarnya,” seru Ibu Mertua.
Aku membawa Kayra yang masih sesegukan kembali ke kamarnya. Mas Ardi dan Nathan masih di dalam, entah apa yang mereka bicarakan lagi.
“Istirahat dulu, ya! Ibu mau ambil makanan, kamu harus makan lagi karena tadi muntah, Nak,” tuturku.
Dia mencekal tanganku dan memeluk tubuh ini dengan erat.
“Kenapa, Nak?” tanyaku, tangan ini mengelus rambut panjangnya.
“Ke–kenapa, kalian baik sama Kayra?” tananya dengan suara lirih.
“Orangtua Kayra bahkan gak peduli sama sekali. Mereka gak sayang sama Kayra,” lanjutnya dengan tangis yang kembali pecah.
“Sekarang kamu udah jadi anak Ibu dan Ayah. Kamu bukan orang lain, Nak,” tuturku.
Aku menuntunnya untuk duduk di sisi ranjang.
“Dengar … gak ada orangtua yang gak sayang sama anaknya. Mereka selalu ingin yang terbaik untuk anaknya, jangan lagi kamu berpikir mereka gak sayang sama kamu,” ujarku.
Seulas senyum tercetak jelas di wajahnya, pertama kalinya aku melihat dia tersenyum seperti ini.
“Makasih, Bu.”
***
Seiring berjalannya waktu kini Mas Ardi mulai menerima kehadiran Kayra. Ibu Mertua meminta untuk tinggal lebih lama sampai Kayra melahirkan karena tidak tega melihatku yang juga sedang berbadan dua mengurus keluarga ini sendirian. Usia kandungan Kayra kini memasuki bulanannya sedangkan kandunganku masuk di usia tujuh bulan.
Kayra sudah memutuskan untuk keluar sekolah. Aku tidak pernah membiarkannya untuk keluar, bahkan untuk membeli baju dan keperluan bayi aku sendiri yang melakukannya. Berjaga-jaga untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Sedangkan bulan ini Nathan melaksanakan ujiannya, aku berharap dia tidak mengecewakan. Nathan berencana melanjutkan kuliahnya di universitas negeri terbaik, semoga dia bisa diterima di sana. Anak lelakiku itu sudah menjalankan bisnis online dengan menjual pakaian yang dia ambil dari tempatku bekerja.
Kayra yang duduk di kursi ruang tengah terlihat kesal dan menyimpan ponselnya di atas meja dengan kasar.
“Kenapa, Kay? kok mukanya kayak kesel gitu?” tanyaku.
“Mama sama Papa gak pernah dateng buat jenguk Kayra, padahal sebentar lagi Kayra lahiran,” adunya.
Anak yang malang, di saat masalah menerpanya orangtua Kayra bahkan terlihat tidak peduli. Mendengar dari cerita Kayra mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Ibunya Kayran yang seorang entrepreneur waktunya dihabiskan untuk mengurus bisnis properti yang dimilikinya.
“Nanti juga mereka jenguk kamu, Sayang. Udah jangan sedih gitu, nanti dedeknya ikut sedih loh,” tuturku sambil mengelus pelan perutnya yang buncit.
Kadang lucu melihat ini, aku dan Kayra biasa sama-sama untuk periksa kandungan.
Ibu Mertua berjalan dari dapur bersama Nathan. Mencoba menahan tawa melihat wajah putraku itu banyak noda dari tepung. Mereka memang disibukkan untuk membuat kue dari tadi.
“Coba lihat, cucu Nenek loh yang bikin ini,” serunya sambil menyimpan kue kering itu di meja.
Nathan menaruh kue coklat berukuran sedang, rasanya tidak sabar untuk segera mencicipinya. Dia menolak saat tadi disuruh untuk belajar dan memilih membantu Neneknya di dapur. Ibu Mertuaku memang pintar dalam membuat segala macam hidangan termasuk ini.
“Kamu yang harus pertama cobain,” seru Ibu Mertua sambil menyodorkan kue untuk menyuapi Kayra. Dengan semangat dia membuka mulutnya.
“Gimana?” tanya Nathan penasaran.
“Kok rasanya–” ucapannya terhenti.
“Gak enak?” timpal Ibu Mertua.
“Enak banget ... buat Kayra simpen di kamar boleh kan, Nek?” tuturnya sambil cengengesan.
Kami semua tertawa melihat tingkahnya, Kayra lebih terbuka sekarang. Dia selalu menceritakan apapun padaku, sepertinya dia memang kurang perhatian dari orangtuanya.

Komentar Buku (82)

  • avatar
    Fauzan

    Fauzan untuk up Diamond FF

    2d

      0
  • avatar
    KasemAzka

    wah cerita nya bagus banget

    3d

      0
  • avatar
    GibranMuhammad alif

    terbaik

    6d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru