logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Kejujuran pada Ibu Mertua

TEST PACK DI TAS SEKOLAH ANAK LELAKIKU
BAB 6
POV MAYRA
"Nenek 'kan mau kasih eh … apa itu namanya … supris," serunya sambil tertawa.
"Surprise, Nek." Nathan memperbaiki ucapan Neneknya itu.
"Iya itulah," balas Ibu Mertua sambil tertawa.
"May, Abang langsung pulang, ya. Soalnya masih banyak kerjaan," tutur Kakak iparku itu.
"Gak, minum atau makan dulu, Bang?" tawarku.
"Lain kali aja. Abang cuman mau nganterin Ibu kok," jelasnya.
Dia lalu pamit, aku mengantarnya sampai pagar. Kakak iparku itu memang orang sibuk. Dia memiliki perkebunan yang diurus sendiri.
Aku kembali masuk dan melihat Nathan yang sedang berbincang dengan Neneknya.
"Loh … kenapa, ini?" tanyanya sambil memperhatikan Nathan dari dekat. Luka pukulan di wajah Nathan memang sudah membaik. Hanya saja bekasnya yang belum menghilang.
"Gak apa-apa, Nek," jawab Nathan.
"Ibu, mau istirahat atau makan dulu?" tanyaku. Perjalanan yang ditempuh dari rumah Ibu mertua kesini lumayan jauh, hampir empat jam.
"Ibu mau ngobrol sama cucu kesayangan Ibu aja. May, Ibu mau di buatkan kopi aja," tuturnya.
"Ibu kan belum makan, nanti asam lambungnya kambuh lagi," terangku.
"Ibu udah makan di jalan tadi," balasnya.
Aku mengalah dan beranjak ke dapur untuk membuatkan kopi.
"Ibu kamu hamil, Than?"
Jantung ini langsung berdebar mendengar Ibu mertua menanyakan itu. Apa dia melihat sesuatu sampai bertanya seperti itu pada Nathan. Dengan cepat aku berjalan sambil mengaduk kopi itu.
Ibu Mertua terlihat memegang susu hamil yang tadi ku simpan di samping meja. Ceroboh sekali aku ini!
"Nathan gak tau, Nek," balasnya.
"Bu, kopinya," ujarku sambil menyimpannya di depan Ibu Mertua.
Keringat dingin membasahi pelipis ini. Aku tidak mungkin memberitahukan siapa yang hamil.
"Kamu hamil lagi, May?" tanyanya padaku.
"Ehm … ba–baru rencana, Bu," jelasku. Aku tidak ingin berbohong, aku mengatakan sejujurnya karena memang aku dan Mas Ardi sedang menjalankan program hamil.
"Baru rencana kok udah beli susunya. Aneh kamu," seru Ibu Mertua, aku hanya membalas dengan senyum singkat. Buru-buru mengambil itu dan menyimpannya di dapur.
Menengok Kayra di kamarnya. Pintunya sedikit terbuka, tangan ini mengapung di udara saat mendengar Kayra tengah berbicara dengan seseorang di seberang telepon.
"Gue pengen, sih. Tapi gak bisa, Cha. Kalian pasti seneng-seneng liburan di Lombok," ujar Kayra.
"Gue gak di kasih izin Nyokap sama Bokap. Gila lo ya! Masa gue kabur cuman buat liburan. Yang ada pulang-pulang gue dikurung di kamar," serunya sambil tertawa.
Miris melihatnya, masa muda yang seharusnya dihabiskan dengan bersenang-senang bersama teman-temannya. Kayra harus menghabiskan waktunya untuk merawat dirinya dan bayi dalam kandungannya.
Kesalahan fatal yang diperbuat di waktu terdahulu akan merugikan diri sendiri. Tugas orang tua mengingatkan dan memantau, bukannya lengah. Di sinilah aku merasa menyesal karena tidak menjaga Nathan dengan baik.
Ke depannya masalah pasti akan bermunculan, tentu harus menyiapkan mental. Karena tidak mungkin selamanya aku menyembunyikan ini dari keluargaku ataupun keluarga Mas Ardi.
Mengurungkan niat untuk masuk ke kamar Kayra, lebih baik menyiapkan makanan terlebih dahulu. Apalagi sebentar lagi Mas Ardi pulang. Selesai dengan urusan dapur aku kembali ke ruang tengah dan hanya mendapati Nathan.
“Nenek kemana?” tanyaku.
“Lagi istirahat, Bu,” jawabnya
Syukurlah, setidaknya aku bisa sedikit mengulur waktu dan berpikir apa yanng akan dilakukan saat Ibu Mertua melihat Kayra nanti.
Duduk di sebelah Nathan yang masih fokus dengan laptopnya. Sepertinya dia sedang mengerjakan tugas. Terus memperhatikannya sampai beberapa menit berselang ia menutup laptop itu.
“Bu, Nathan pergi dulu, ya,” pamitnya.
“Kamu mau kemana?” tanyaku.
“Kerja,” balas Nathan.
Aku menarik nafas panjang dan menyuruhnya untuk kembali duduk.
“Kamu belum jawab pertanyaan Ibu kemarin, kamu kerja dimana?”
Dia terlihat ragu untuk menjawab pertanyaanku.
“Di … grosir milik Omnya Tama, Bu,” ungkap Nathan.
'Grosir? Apa dia jadi kuli panggul? karena kalau hanya melayani pelanggan Nathan tidak akan selelah kemarin.' Pikiranku berkecamuk.
“Ja–jadi kuli panggul,” lanjutnya dengan ragu. Kepalanya menunduk seolah takut menatapku.
Ternyata pemikiranku benar. Aku menggenggam tangannya dan menatapnya dengan penuh kasih sayang.
“Dengarkan Ibu … kamu gak perlu kerja lagi! Fokus belajar, kamu kelas tiga sebentar lagi kamu ujian, Nak.” Mencoba meyakinkannya.
“Tapi, Bu–”
“Kalau kamu mau kerja, kamu kerja buat Ibu aja. Nanti kamu harus belanja kebutuhan Ibu buat kerja. Jangan membantah!” potongku.
“Itu bukan kerja, Bu. Memang kewajiban Nathan untuk membantu Ibu. Jangan buat Nathan malu dengan Ibu memberi upah padahal itu memang kewajiban Nathan bukan pekerjaan,” paparnya.
Sekali lagi hati ini tertohok dengan pemikiran dewasa Nathan. Dia selalu berpikir dewasa tapi kenapa saat melakukan hal keji itu kamu tidak berpikir dewasa, Nak? Batinku menjerit pilu.
Diri ini masih sering berandai-andai jika semua ini hanyalah mimpi.Niat hati aku akan menyuruhnya membeli kain dan kebutuhanku untuk bekerja. Setidaknya dia melakukan sesuatu dan aku memberikannya upah. Kerjaanku terabaikan semenjak ada masalah ini.
Baiklah, nanti aku akan memikirkan apa yang bagus untuk dilakukan Nathan agar dia bisa menghasilkan uang tanpa harus mengganggu pelajaran sekolahnya.
“Jangan kerja lagi di sana, nurut sama Ibu!” titahku yang dibalas anggukan olehnya.
Malamnya Ibu tidak ikut makan malam bersama, beliau mengatakan jika kakinya sakit dan ingin makan di kamar saja. Aku menuruti apa yang Ibu Mertuaku inginkan. Selesai makan aku dan Mas Ardi kan berbicara pada Ibu Mertua. Lebih baik mengatakan dengan jujur meskipun pahit, karena jika disimpan sebagai kebohongan akhirnya akan terungkap juga dan itu lebih menyakitkan dan mengecewakan.
Kali ini Mas Ardi bersedia ikut bicara pada Ibu Mertua, karena aku tidak sanggup jika menghadapinya seorang diri.
“Ibu lagi sakit kenapa maksain dateng ke sini?” tanya Mas Ardi selembut mungkin agar Ibu Mertua tidak merasa tersinggung.
“Entah kenapa Ibu ingin sekali ke sini,” jawab Ibu Mertuaku. Feeling seorang Ibu memang sangatlah kuat. Tapi aku? bahkan saat anakku sendiri melakukan sesuatu yang menyimpang tidak ada firasat apa-apa yang kurasakan. Apa hatiku rusak atau perasaanku sudah tidak berfungsi? Entahlah!
“Padahal May baru saja akan mengirimkan uang buat Ibu berobat,” Ungkapku.
Aku hanya menyimak saat Mas Ardi perlahan menceritakan semuanya pada Ibu. Wajah wanita paruh baya itu kini memerah, netranya mulai berembun. Ibu Mertua tidak memiliki riwayat darah tinggi ataupun jantung, jadi aku yakin tidak akan ada masalah kesehatan setelah beliau mendengar semuanya.
“Dimana perempuan itu dan Nathan?” tanya Ibu Mertua sambil menghapus kasar air mata yang perlahan turun membasahi pipinya.
Merasa bersalah? tentu saja. Seharusnya di usia renta seperti ini Ibu Mertua tidak boleh dibebankan masalah keluarga anak-anaknya, tapi untuk menyembunyikan masalah ini akan lebih salah.

Komentar Buku (82)

  • avatar
    Fauzan

    Fauzan untuk up Diamond FF

    2d

      0
  • avatar
    KasemAzka

    wah cerita nya bagus banget

    3d

      0
  • avatar
    GibranMuhammad alif

    terbaik

    6d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru