logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Asrar Lillah

Asrar Lillah

Indah Meilanda (IM)


PART 1 GELABAH DI AWAL PERTEMUAN

.......
“Sial beruah saat bertemu, ini awal dari candu. Gelabah merundung pilu. Merasuk pada sela-sela hatiku. Membuat adrenalin semakin terpacu.”
……
Brak….bunyinya amat keras, sontak aku pun terkejut dan berhenti. Bergegas aku keluar dari mobil dan mengecek apa yang terjadi. Ternyata ada seseorang yang menumbur mobilku dari belakang.
Amarah tak terkontrol kala itu. Karena melihat belakang mobil rusak ditumbur roda motor vespa milik seseorang. Tanpa basa-basi aku memarahinya. Bagaimana tidak dia merusak bagian belakang mobil kesayanganku. Saat ku marahi, orang itu tak sedikitpun membela diri, mulutnya bungkam tanpa kata-kata. Dengan muka datar seolah tak bersalah. Bahkan ketika aku marah dia malah sibuk memainkan kaca mata yang ada di kepalanya. Jika ku lihat lelaki itu seumur diriku, dengan muka tak beraturan dan rambut berantakan. Entah apa yang dipikirkannya. Aku tak habis pikir.
Jiwaku dibuat semakin meronta, melihat dirinya diam seribu bahasa, bak bicara pada patung saja. Akhirnya akupun bingung harus apa, diajak bicara malah tak ada suara. Sungguh menyebalkan. Dia lelaki teraneh yang pernah kutemui. Karena kesal tak digubris, akupun beranjak pergi. Setelah beberapa langkah berjalan seketika dia sudah berada di depan mata.
Bola mata seolah membesar karena perasaaan tadi dia berada di belakangku tetapi sekejab sudah di depan. Tanpa berlama-lama dia menyodorkan sebuah kertas kecil kepadaku. Belum sempat aku membacanya dia sudah meninggalkanku. Aku pun berteriak ke arahnya “Dasar laki-laki aneh.”
Lalu kubuka kertas kecil yang diberikannya, ternyata isinya tulisan tentang sebuah alamat. Dalam hati berkecambuk banyak pertanyaan, apakah ini alamat rumah lelaki aneh itu? atau dia ingin mengerjaiku? Saat sedang berpikir dan berbicara sendiri, aku baru teringat bahwa tadi sedang terburu-buru ingin ke kampus. Diriku pun segera masuk mobil dan beranjak pergi.
Sesampainya di kampus, pintu kelas sudah di tutup, nampaknya pembelajaran telah dimulai. Aku mengelah nafas panjang dengan berat. Lagi-lagi aku ketinggalan mata kuliah.
Dalam hati menggerutu “Hmmm andai saja tadi mobilku tidak ditumbur pria aneh itu pasti takkan terlambat, ini semua gara-gara dia,” dengan tangan geram. Sungguh aku berharap tidak akan bertemu dengannya lagi (lanjutku dalam hati).
Saat lagi kesal, tiba-tiba pintu kelasku terbuka, keluarlah seseorang. Aku deg-degan, jantung seakan ingin lepas, degupannya berdetak kencang tak beraturan. Apakah dia dosen killer itu? Karena ketakutan aku segera berlari menjauh dari pintu, tetapi belum jauh berlari, ada yang memanggil namaku.
“Dinna mau kemana?” tanyanya.
Akupun menoleh penuh ragu. Lalu mengelah nafas, “Uh, kukira siapa ternyata kamu,” jawabku sedikit lega.
“Ada apa? Mengapa kamu tidak masuk kelas?” tanya Rara kepadaku.
“Aku takut nanti dihukum,” jawabku pasrah.
“Tidak usah khawatir pak belum datang, ayo lebih baik kita segera masuk,” sambil menarik tangan ke dalam.
Untunglah kukira akan tertinggal mata kuliah penting ini lagi, tetapi ternyata tuhan masih menolong. Wajah kusutku yang tadi sedikit berubah menjadi senyum. Namun baru beberapa menit duduk di kursi, masuklah seseorang dengan mengucapkan salam. Ternyata ini dia yang kutunggu, dia adalah pak Hadi, dosen terkiller di kampus ini, yang banyak ditakuti oleh mahasiswanya. Sikapnya yang tegas dan berwibawa menambah karisma di wajah tampannya. Tetapi kali ini ada yang berbeda, pak Hadi masuk kelas tidak sendiri tetapi bersama orang lain.
Emosiku yang telah reda, kembali membara, ternyata pak Hadi datang bersama lelaki aneh tadi. Wajahku pun ditekuk sepanjang mata kuliahnya. Tak kusangka bertemu dengannya lagi. Padahal aku berharap pertemuan tadi pagi adalah petemuan yang pertama dan terakhir. Namun takdir berlawanan dengan keinginan ku. Aku satu kelas dengannya. Bahkan lelaki itu tiba-tiba duduk di sebelahku. Seolah tak kenal dan lupa pada kejadian beberapa menit yang lalu. Dengan tatapan tajam, aku bertanya padanya “Masih ingat aku?” Dia pun hanya diam, bahkan wajahnya tidak melihatku. “Dasar menyebalkan,” ucapku dalam hati.
Kesabaranku benar-benar diuji olehnya. Ingin rasanya kutarik rambut lelaki itu dan paksa dia untuk bicara. Tapi mengingat sekarang lagi ada mata kuliah akupun berusaha menahan diri, sambil mengelus dada. Bagiku belajar kali ini terasa sangat lama dan menyebalkan. Mimpi apa aku semalam, terkena sial yang berkepanjangan. Mengapa aku harus bertemu dengan lelaki aneh itu lagi? Sudah tidak cukupkah tadi?
Seharian di kampus aku merasa kesal yang tak berkesudahan, dan takut juga saat pulang ke rumah nanti, harus bagaimana aku jelaskan pada ibu dan ayah mengenai belakang mobilku yang bengkok karena kejadian pagi tadi. Bahkan saat di kantin aku masih sibuk mencari alasan yang tepat, sampai-sampai tak sedikitpun ku sentuh makan yang sudah dipesan tadi. Kejadian pagi tadi berhasil merusak moodku bahkan membuat aku ketakutan.
Melihat tingkah aneh yang tak biasanya, salah satu sahabatku, bertanya “Din, kamu kenapa dari tadi saat di kelas wajahmu ditekuk terus, bahkan di kantinpun malah melamun, tidak seperti biasanya.” “Hehe tak apa, aku baik-baik saja," Jawabku menenangkan mereka.
Ku tutup rapat-rapat permasalahan yang menghantui kepalaku. Aku tak ingin permasalahannya menjadi tambah rumit jika mereka mengetahuinya.
Beberapa menit kemudian lelaki aneh itu lewat di depanku. Aku pun memanggilnya “Dika,” teriakku. Tapi dia malah terus berjalan tanpa menjawab panggilanku. Ketika aku ingin mengejarnya tanganku ditahan oleh Rara. Sehingga diriku tak jadi mengejarnya. Kali ini dia berhasil lolos.
“Din, kayaknya kamu kenal Dika?” tanya Rara.
“Iya, kamu kenal lelaki amburadul itu di mana?” tanya Sindy, sambil tersenyum kecil.
“Aku tidak mengenali dia, hanya saja…" bicaraku terputus, hampir keceplosan tentang kejadian pagi tadi.
Rara dan Sindy semakin merasa penasaran, sehingga melontarkan banyak pertanyaan beruntun padaku.
“Jangan-jangan kamu suka dia ya?” Sidik Rara curiga.
“Ayo ngaku, kenal di mana?” Lanjut Rara.
Aku pun kesal dengan pertanyaan menyebalkan, sejak kapan suka sama lelaki aneh itu. Karena merasa dicurigai, aku akhirnya jujur menceritakan kejadian pagi tadi. Setelah mendengar ceritaku, mereka menyarankan untuk mendatangi alamat yang Dika beri waktu itu. Aku mengiyakan saran mereka. Setelah perkuliahan selesai, bergegaslah aku ke alamat itu. Tetapi mengapa alamatnya asing bagiku. Aku berhenti di pinggir jalan, pas juga waktu itu ada beberapa orang yang lewat tepat di depanku.
Aku menanyakan kepada mereka tentang alamat itu, dan untunglah mereka mengetahuinya. Kata mereka alamat ini tidak jauh dari sini. Aku pun bersyukur ternyata aku tidak tersasar. Tetapi berdasarkan pengetahuan mereka, jalan itu menuju hutan, dan hanya ada satu rumah di sana. Dalam pikiranku, terlontar pertanyaan, “Apakah rumah yang di maksud mereka adalah rumah lelaki aneh itu?” dalam tanya itu akupun segera pergi meninggalkan mereka dan menuju ke alamat tadi.
Sesampainya di alamat tersebut, benar aksa disajikan dengan panorama hutan belantara. Melihat keadaan yang tidak memungkinkan mobil bisa masuk ke dalamnya, akupun memberanikan diri untuk berjalan kaki. Di sepanjang jalan hati deg-degan karena takut ada hal yang berbahaya. Maklum anak ibu yang selalu dimanja jadi tidak pernah main ke hutan. Sungguh rasanya saat itu aku ingin kembali dan tak ingin meneruskan perjalanan, aku takut. Tetapi karena tekad yang kuat aku tetap teruskan perjalanan, dengan langkah yang penuh hati-hati.
Setelah lumayan jauh masuk hutan, akhirnya aku bertemu sebuah rumah tua. Hatiku terasa bahagia pasti ini rumahnya.
Rumah itu seperti gubuk tua yang hampir roboh, namun di setiap sela rumahnya sungguh bersih tak seperti gubuk biasanya. Ku dekati rumah itu, belum sempat mengucapkan salam, keluarlah seseorang wanita parubaya membuat diriku terkejut. Aku memperkenalkan diri pada wanita tua itu.
“Permisi bu, perkenalkan nama saya Dinna Meikasih. Ibu boleh panggil saya Dinna. Saya teman kampusnya Dika,” kenalku dengan sopan.
“Iya nak Dinna, perkenalkan ini ibunya Dika, ” jelasnya dengan nada lembut.
Ternyata wanita parubaya itu adalah ibunya Dika. Dia pun mempersilahkanku untuk masuk ke dalam rumahnya. Setelah duduk aku disuguhkan secangkir teh hangat yang sungguh nikmat. Lalu ibu Dika menanyakan ada keperluan apa aku datang ke rumahnya.
“Nak Dinna, Dika lagi tidak ada di rumah, mungkin ada yang bisa ibu bantu?” tanyanya padaku.
“….Ti..ti..tidak ada bu, Dinna pamit ya bu," langsung pergi meningalkan rumah itu.
Ibu Dika pun merasa aneh denganku. Sementara Aku pergi dengan rasa kecewa. Sejujurnya ingin kusampaikan yang sebenarnya, bahwa aku mau meminta ganti rugi mengenai mobilku yang bengkok itu, tetapi setelah melihat keadaan rumahnya yang memprihatinkan hati ini tak tega, bibirku terbungkam. Kurasa ini sudah takdirnya. Meski aku masih kesal dengan Dika, tapi ibunya tidaklah bersalah. Aku tak bisa egois. Aku harus berani menerima resiko. Jikalau nanti ayah dan ibu memarahiku aku pasrah (Ucapku dalam hati).

Komentar Buku (74)

  • avatar
    MardianaRina

    Dina hidup itu roda terus berputar kadang diatas kadang juga dibawah.. Hmm beruntung ada Dika jadi hidup lebih bwrwarna ya Dina

    04/02/2022

      10
  • avatar
    MeilandaIndah

    Mantab, ceritanya seru

    22/08

      0
  • avatar
    WiyantoKusumo

    bagus

    11/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru