logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

2. AJAKAN BERTEMU

Hari-hari berjalan seperti biasa.
Semua kegiatan yang aku lakukan sama seperti sebelumnya.
Tapi ada satu hal yang berbeda.
Yakni kedekatanku dengan Reyhan yang semakin hari semakin terasa lebih akrab satu sama lain. Tepatnya sejak kami saling bertukar nomor ponsel.
Reyhan menepati janjinya untuk tidak menghubungiku duluan jika aku tidak menghubunginya lebih dulu. Semuanya berjalan lancar dan sempurna. Sesuai dengan harapan. Meski aku harus mensave nomor Reyhan dengan nama lain, yaitu Rheina.
Setiap dua hari sekali, Bunda selalu mengecek ponselku secara rutin sehabis kami selesai makan malam. Dan jika Bunda menemui ada nomor baru yang aku simpan di kontakku, dia pasti langsung menginterogasi aku detik itu juga.
Siapa pemilik nomor baru itu?
Ada hubungan apa antara aku dengan si pemilik nomor baru itu?
Dan jika Bunda tahu kalau itu adalah nomor seorang laki-laki, Bunda pasti akan langsung menceramahi diriku dan menghapus nomor itu dari kontakku.
Bahkan tak hanya sampai di situ, Bunda juga melarang aku menggunakan sosial media. Apapun itu yang berbau dunia maya, Bunda tidak mengizinkannya.
Hidupku benar-benar terisolasi. Seperti di dalam penjara. Terkekang dan tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri terhadap dunia luar.
Jika ada yang bertanya apa aku bosan hidup seperti ini? Maka aku akan menjawab, bukan sekedar kata bosan yang aku rasakan, tapi lebih pada kata tersiksa.
Aku lelah dengan kehidupanku dan ketidakberdayaanku menghadapi sikap Bunda.
Aku lelah. Sangat lelah, bahkan.
Malam itu aku menangis terisak di telepon saat Reyhan meneleponku.
Dari suaranya, aku bisa merasakan bahwa dia sepertinya khawatir.
"Udahan dong nangisnya, aku jadi ikutan sedih nih. Coba aku ada di situ, pasti kamu udah aku peluk biar nggak nangis lagi," ucap Reyhan dengan guyonannya. Aku tersenyum tipis menanggapi kalimat itu, yang justru terasa menghangatkan relung hatiku.
"Coba bersyukur Trina. Berpikir positif, masih banyak orang di luar sana yang kepingin punya Ibu. Kepingin di sayang sama Ibunya, di kasih perhatian, ya, nggak usah jauh-jauh deh, contohnya aku. Sejak kecil hidup di panti asuhan tanpa tahu siapa ke dua orang tuaku, semua itu nggak mudah. Aku selama ini berjuang hidup sendirian, menafkahi diriku sendiri. Sekolah, mencari uang, ngamen, jadi tukang parkir, kenek Bis, apa ajalah aku jabanin asal halal, intinya aku bisa makan dan masih bisa mengecap manisnya bangku sekolah. Sesulit apapun hidupku, aku nggak merasa kalau aku ini miskin, selagi aku punya Iman di dalam hatiku dan aku bisa berdoa di setiap sujud-sujudku sama Allah. Jadi, kalau sikap Bunda kamu seperti itu, coba kamu ambil sisi positifnya, itu tandanya, Bunda kamu itu sayang banget sama kamu. Bunda kamu nggak mau kamu salah pergaulan. Makanya dia membatasi ruang gerak kamu. Pergaulan di Jakarta jaman sekarang itu keras, Trina. Kalo nggak kuat-kuat Iman, ujung-ujungnya cuma bisa merugikan diri sendiri,"
Aku tertegun mendengar deretan kalimat panjang yang baru saja dilontarkan oleh seorang Reyhan.
Jujur, ini pertama kalinya seorang Reyhan bicara seserius ini denganku. Sebelumnya dia itu bahkan lebih sering menggombaliku, mengajakku bergurau, meledekku atau mengajakku bermain tebak-tebakkan ala anak SD.
Dan yang membuatku lebih tak percaya, Reyhan yang baru saja mengungkapkan apa isi hatinya selama ini. Tentang kehidupannya. Masa lalunya.
Aku tersentuh mendengarnya. Ada sejumput perasaan bersalah dalam benakku, bahwa selama ini aku lebih sering mengeluh ketimbang bersyukur. Aku lebih sering berpikiran negatif ketimbang berpikir positif. Dan parahnya, bukan hanya pada orang lain aku kerap berprasangka buruk, tapi terhadap diriku sendiri pun aku sering seperti itu.
Aku merasa diriku ini lemah. Manja. Kuper. Meski jika aku sudah berkenalan baik dengan seseorang mereka yang telah mengenalku dengan baik justru mengatakan hal yang sebaliknya. Hanya saja, tidak banyak orang-orang yang bisa mengenalku secara baik selama ini.
Bahkan sejauh ini aku hidup, aku merasa baru bisa menjalin hubungan baik dengan dua orang saja, selain Bunda dan Bi Nani, tentunya. Dan ke dua orang itu adalah, Anggia sahabatku.
Lalu, Reyhan.
"Woy, tidur ya? Yah, berasa di dongengin kali ya, malah di tinggal tidur," pekik suara di seberang membuyarkan lamunanku.
Aku pun buru-buru menyahut. "Aku denger kok, aku belum tidur," ucapku kemudian.
"Oh masih ada toh! Kirain udah tidur, hehehe, aku tahu suara aku merdu, makanya suka bikin orang lain terbuai, apalagi kalau denger aku nyanyi, beuuuhh, kejang-kejang semua pasti yang denger suaraku," ucap Reyhan membanggakan diri.
Hmmm, mulai lagi deh, narsisnya. Aku mendelikkan mataku ke atas seraya geleng-geleng kepala. Meski masih dengan senyuman di wajahku.
Aku membetulkan posisi ponsel di telingaku, sebelum akhirnya aku pun bicara. "Penasaran deh, pengen tahu wajah kamu," ucapku to the point. Memang terdengar sedikit memalukan, tapi tak apalah daripada aku terus menerus dilanda rasa penasaran, lebih baik aku jujurkan?
"Ya udah, kita ketemu aja, gimana?" ajak Reyhan sama to the point.
Aku kaget setengah mati saat Reyhan yang tiba-tiba mengajakku bertemu ketimbang mengajak untuk bertukar foto terlebih dahulu.
"Emang kamu nggak takut kalau langsung ketemu? Kalau aku jelek gimana?" tanyaku lagi.
Reyhan tertawa. Mungkin kalimatku lucu baginya, tapi bagiku tidak. Tidak sama sekali.
"Emang kalo kamu jelek kenapa? Ada masalah? Atau mungkin kamu kali yang takut, kalau aku yang jelek?" candanya lagi sambil terus tertawa.
"Kita tukeran foto dulu, baru habis itu ketemuan, gimana?" saranku pada akhirnya. Aku yang tidak mau ambil resiko jika harus bertemu dengan laki-laki asing tanpa tahu wajahnya terlebih dahulu. Kalau dia orang jahat bagaiamana? Zaman sekarangkan sedang marak-maraknya aksil penculikan dan aksi perdagangan manusia. Intinya, aku tidak mau menyesal jika memang kami nanti harus saling bertatap muka langsung.
"Yaudah kamu kirimin dong foto kamu ke Hp ku," pinta Reyhan.
Aku mengerutkan kening. "Kita sama-sama kirim, nggak boleh curang," ancamku padanya.
"Oke cantik,"
Setelah telepon itu terputus, aku pun langsung mengirimkan fotoku padanya dan entah kenapa aku justru memilih foto terbaikku yang aku simpan di galeri ponselku. Aku yang berfoto dalam keadaan memakai gaun pesta. Saat itu aku berfoto di dalam sebuah gereja karena sedang menghadiri pesta penikahan anak dari kawan Bundaku.
Ya, aku dan Bundaku beragama kristen katolik. Hampir setiap minggu aku dan Bunda tidak pernah absen mengikuti kebaktian di gereja. Bundaku termasuk salah satu anggota yayasan aktif di gereja yang sering menyumbangkan dana untuk acara-acara sosial yang di adakan oleh gereja kami.
Bundaku adalah seorang wanita karir yang bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta sebagai Manager Personalia. Dan kelihatannya, pekerjaannya itu sangat-sangat menyita waktunya. Karena hampir setiap hari Bunda tidak pernah menyisihkan waktunya untukku. Jangankan berjalan-jalan keluar, atau sekedar shopping bareng ke mall, bahkan untuk bersantai ria di rumah, mengobrol bersama sambil menonton TV di ruang keluarga pun tak pernah. Bunda seolah tenggelam dalam dunianya sendiri. Dan tak pernah sekali pun dia mengajakku bicara dari hati ke hati. Meski, terkadang aku ingin sekali bisa melihat senyuman Bunda mengembang kepadaku, aku ingin sekali merasakan pelukan hangat Bunda di tubuhku, sayangnya, aku terlalu takut untuk mengatakan hal itu pada Bunda. Bahkan saat aku melihat tatapan Bunda di meja makan saja, aku sudah down duluan.
Tatapan Bunda mengerikan. Dan aku takut.
Payahkan?
Ponsel ku berdering. Aku pun buru-buru mengeceknya. Pasti Reyhan sudah mengirim balik fotonya padaku.
Benar, dia sudah mengirim fotonya.
Deg! Deg!
Deg! Deg!
Deg! Deg!
Wait! Kenapa aku jadi deg-deg an seperti ini? Kenapa jantungku jadi berpacu dua kali lipat lebih cepat? Padahalkan aku cuma mau melihat foto saja? Aneh!
Aku sudah membuka foto itu dengan perasaan jantung yang terus berdebar-debar.
Aku tertegun beberapa saat. Kutatap lekat-lekat gambar yang tertera di layar ponselku. Sebuah gambar yang baru saja di kirimkan oleh Reyhan padaku. Nyatanya, dia tidak hanya mengirimkan satu gambar, tapi lima gambar sekaligus. Meski, dari ke semua gambar itu pada akhirnya hanya membuat aku kesal.
Siapa yang tidak kesal mendapati gambar-gambar aneh yang dikirim Reyhan padaku. Dia mengirim bentuk wajahnya secara terpisah. Tidak utuh. Satu gambar menunjukkan bentuk hidungnya yang di close up. Lalu gambar matanya. Telinganya. Bibirnya dan yang terakhir kepala bagian belakangnya yang terhalang rambut hitam miliknya.
Aku menggeram tertahan. Jadi dia mau bermain-main denganku? Jadi aku diminta menyusun puzzle atas semua potongan gambar wajahnya itu? Sialan! Aku benar-benar emosi jadinya. Curang! Kurang ajar!
Saking jengkel aku pun mengirimkan pesan berisi seluruh uneg-uneg di dalam hatiku terhadap kelicikan Reyhan dan aku memintanya untuk mengirimkan foto dirinya yang utuh seperti aku mengirim foto asliku. Dan coba kalian tebak apa balasan yang aku terima, sungguh-sungguh sangat menyebalkan. Dengan santainya dia malah bilang.
"Sabtu besok kita ketemuan ya, di taman kota Blok M. Pagi, jam delapan, oke?"
Deg!!!

Komentar Buku (44)

  • avatar
    Wyn Wi

    seruuuuy!!!!!!

    27d

      0
  • avatar
    mochkhalifkhalif

    cerita yang sangat dahsyat

    06/07

      0
  • avatar
    atiqahnurul ainaa

    Friendship

    02/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru