logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Hantu Rambut Panjang

Lala mendengkus kesal, pelajaran kimia kali ini membuatnya pusing. Ditambah periode bulanan yang sedang ia alami, membuatnya sedikit mual dan tidak mood.
Sekolah menengah atas "Tunas Muda" ini termasuk sekolah yang tertua di kota. Dengan angka kelulusan seratus persen bisa menembus PTN ternama, banyak orang tua yang tak segan mendaftarkan anaknya di sini. Meskipun harus diasramakan, agaknya bukan menjadi masalah untuk para orang tua yang mengetahui bagusnya kualitas sekolah ini.
Instruktur praktikum sudah hadir di laboratorium, Lala dan Ivon yang kebetulan satu kelas, bersiap untuk melaksanakan praktikum kimia.
"La, kamu tahu sebenarnya Pak Lasiman hilang di mana?" tanya Ivon sembari menuangkan zat kimia ke dalam tabung kaca.
"Nggaklah, Von. Ngaco aja kamu, wong kamu aja yang punya mata batin nggak tau, gimana aku? Eh, tadi, sih, aku dibisikin ama Kak Bella. Tau gak, apa?" cerocos Lala. Ia meletakkan dengan pelas beker glass yang berisi cairan kimia berwarna merah.
"Halah, palingan pengancaman. Biar kita nggak usah kowar-kowar masalah ini sampai di sekolah 'kan? Tebak bener gak omonganku?" Ivon menunjuk hidungnya, memang gadis imut nan bantet ini mempunyai percaya diri yang maksimal. Itu kenapa Lala suka berteman dengannya, karena kepribadian Ivon yang terbuka.
"Salah!" Lala mendekatkan mulutnya di telinga Ivon, sehingga Ivon terkekeh karena kegelian.
"Ivon, Lala. Kalian jangan becanda. Ini laboratorium. Apa tugas kalian sudah selesai?" ujar Pak Surya. Instruktur praktikum kimia, yang terkenal akan kegantengannya. Banyak siswi-siswi yang kagum akan paras yang rupawan serta kecerdasannya dalam mengajar praktikum.
"I-iya, Pak Sur. Belum selesai, nih Lala gangguin saja." Pinggang Ivon menyenggol Lala, kemudian Lala membalasnya dengan mencebikkan mulutnya.
Satu angkatan kelas satu terdiri tiga kelas, Ivon dan Lala di kelas 1-1. Debi dan Aruni di kelas 1-2, sedangkan Wita dan Rista di kelas 1-3. Masing-masing kelas didominasi oleh perempuan, sisanya hanya beberapa saja laki-laki per kelas. Maka dari itu, asrama putra gedungnya lebih kecil dari asrama putri.
Jam 17.00 merupakan waktu pulang sekolah. Para siswa sudah bersiap-siap untuk meninggalkan ruang kelas.
"Von, gimana kalau kita nggak pulang ke asrama dulu," ajak Lala.
Ivon menautkan alisnya. Lala sudah tentu mengerti bila temannya itu takkan paham apa yang ia maksud.
"Aku mau diskusiin sesuatu ama kalian, nggak enak kalau di asrama. Lagian, aku udah bilang ama temen-temen lainnya. Yuk, ah. Keburu malem."
Lala menggandeng Ivon, mereka berjalan meninggalkan kelas dan menunggu di bawah pohon jamblang dekat sekolah.
Wita dan Rista muncul, mereka berdua melambaikan tangannya pada Lala dan Ivon. Disusul belakangnya, Debi dan Aruni.
Mereka berenam duduk di kursi panjang di bawah pohon jamblang yang saat itu sedang berbuah. Tampak di tanah banyak buah jamblang ranum berwarna ungu gelap yang berjatuhan, serta sebagian ada juga yang penyek karena terinjak.
"Kita ngapain, sih, di sini, La?" tanya Debi.
Lala berkacak pinggang. Kemudian balik menanyai teman-temannya itu. "Menurut kalian?"
Ivon menyeringai, ia tahu betul sebenarnya apa maksud Lala. Pastilah tak jauh dari pembahasan soal Pak Lasiman yang menghilang tadi pagi.
"Ah, iya, kira-kira ke mana, ya, hilangnya Pak Lasiman?" Wita melontarkan tanya pada yang lainnya. Sontak dijawab dengan menaikkan pundak oleh Debi dan Rista.
"Kamu sendiri, tahu gak?" sindir Debi yang duduk bersebelahan dengan Aruni yang sedari tadi diam termenung. Aruni pun menggeleng.
"Begini, teman. Kita harus membentuk nama geng buat kita berenam. Walaupun sebenarnya kita nggak bisa apa-apa untuk mengungkap sebab hilangnya Pak Lasiman, setidaknya membantu dalam pencarian agar dapat diketemukan kembali, tidak salah 'kan?" tutur Lala.
Debi mengacungkan jarinya." Kita sudah terbentuk, La. Hanya perlu memberi nama, ya, gak? Yang lain setuju tidak? Dan, sekaligus menunjuk ketua geng serta tugasnya."
"Setuju!" sahut Rista berapi-api. Akhirnya mereka berenam sepakat memberi nama kumpulan mereka dengan julukan "Geng Kapak" yang artinya, siap membantai siapa pun yang mengusik.
Mereka sepakat menunjuk Lala sebagai ketua geng. Serta menjabarkan visi dan misi mereka selama di asrama dan sekolah.
Janji untuk selalu setia kawan, di saat suka maupun duka. Selalu jujur, pantang menyerah dan harus giat belajar supaya lulus bersama-sama. Itulah tujuan secara garis besar yang di sampaikan serta disetujui oleh semua anggota geng.
"Baiklah, selama aku menjabat ketua Geng Kapak ini, aku harus mendaulat yang lain untuk melaksanakan tugas sesuai jabatan masing-masing." Lala berorasi.
Setelah rapat paripurna Geng Kapak selesai, mereka berenam kembali ke asrama melalui jalan yang berbeda dari biasanya. Di tengah perjalanan, Lala dkk berpapasan dengan gerombolan laki-laki penghuni asrama putra.
Netra Lala terfokus pada sosok laki-laki yang berada di barisan depan. Wajahnya yang tampan, membuat hati Lala bergetar. Lala memandangi hingga langkahnya terantuk kerikil kecil hingga hampir terjatuh. Beruntung di belakangnya ada Debi yang dengan sigap memegangi tas ransel Lala, agar tertahan.
"Duh, yang baru lihat cowok ganteng aja, sampe segitunya," ejek Debi. "Lagian, aku tahu siapa dia, yang kau lihat itu, La." Debi membuat Lala mundur selangkah untuk menyejajarkan posisi dengan Debi.
Lala tahu, Debi tipe cewek yang tomboy, selain berkumpul dengan geng kapak, di sekolah Debi juga berkumpul dengan para cowok, sehingga sudah barang tentu, mereka kenal siapa Debi.
"Ardi, namanya. Dia sekelas denganku," tukas Debi. Lala tersipu, wajahnya terlihat merona. Namun, Debi tak memedulikan tersipunya Lala, begitu pun dengan temannya yang lain.
Jalan menuju asrama yang diambil, memanglah lebih jauh karena harus memutar dan melewati asrama putra. Namun, para gadis dikejutkan oleh sesosok wanita berperawakan gemuk, sedang mengendap-endap di belakang asrama putra. Ia nampak membawa kantong plastik besar berwarna hitam. Entah apa isinya.
Berniat untuk menghampirinya, Lala melangkahkan kakinya mengarah ke wanita itu, tapi lengannya ditarik oleh Ivon.
Ivon mengisyaratkan untuk membiarkan saja apa yang dilakukan oleh wanita itu.
"Itu, Bu Erlin." Kata Aruni. Sontak yang lain terkejut. Apa yang dilakukan Bu Erlin di sana? Lalu apa itu yang dibawanya? Apa hal itu terkait dengan hilangnya Pak Lasiman? Tanda tanya besar menganga di pikiran para gadis Geng Kapak.
Mereka akhirnya melaju kembali untuk bisa sampai di asrama. Lalu mengatur strategi untuk segera mengungkap kejanggalan di balik misteri Pak Lasiman.
Tengah malam. Lala dan Ivon bergerak. Mereka melakukan aksi hanya berdua saja. Ivon menghampiri pondok Pak Lasiman, memeriksa keadaan kamar yang sering dipakainya untuk beristirahat. Sedangkan Lala, ia memperhatikan gerak-gerik Bu Erlin. Namun, sayangnya malam itu Bu Erlin tak ada di kamarnya, sepertinya ia sedang pergi ke suatu tempat. Terlihat beberapa barang-barangnya yang masih berserakan.
Klontang! Suara kaleng susu ditendang oleh Bu Erlin. Ia baru datang dengan bersungut-sungut.
Lala dan Ivon terperanjat, seketika mereka berdua bersembunyi di tempat yang aman. Tak lama kemudian, Bu Erlin mengamati sekitar, agaknya ia merasakan keganjalan. Namun, karena sudah lelah, ia memutar tubuhnya, lalu duduk di depan pondoknya dan memijat-mijat kaki serta lututnya yang dempal itu.
"Ah, capek sekali. Tahu begitu, aku buang saja di sungai. Bukan malah di sawah." Bu Erlin mengeluh. Lantas wanita itu melepas sandalnya dan masuk ke kamarnya.
Lala yang mendengar ucapan Bu Erlin sudah menyimpulkan sesuatu pada pikirannya. Ia terngiang, bahwa Pak Lasiman tua renta yang memegang kendali kunci asrama. Pasti Bu Erlin secara tidak langsung ingin merebut posisi utama itu.
Sesampainya di kamar. Lala menceritakan analoginya setelah mendengar keluhan Bu Erlin. Ivon pun berpikiran sama, apakah betul yang dimaksud Lala adalah Bu Erlin pelakunya?
Sekelibat sesuatu hitam beterbangan di atap kamar Lala.
Lala terperangah, dan menyipitkan mata untuk melihat dengan jelas apa yang terbang itu.
Ivon yang sudah mendengkur, membuat Lala bergidik ngeri. Dengan cepat, Lala menyerukan doa sebisanya untuk mengusir sesuatu yang aneh itu.
"Hei, kamu! Pergi!" Rista menyadari akan kehadiran makhluk yang mengganggu Lala itu. Beberapa saat makhluk hitam itu pergi melalui celah jendela kamar.
"Apa itu tadi, Ris? kukira kau sudah tidur." Lala mendekati Rista yang masih berdiri dengan berkacak pinggang. Mata Rista yang masih tajam memandangi jendela itu, tak berkata apapun.
"Aargh!" Rista memegangi dadanya. Ia merasa lemas, karena sudah berusaha berkomunikasi dengan makhluk itu.
"Yuk, sini istirahatlah." Lala membopong temannya yang berperawakan kurus itu.
"Hati-hati kamu, La. Sebelum masuk ke kamar, apa yang kamu lakukan dengan Ivon? Karena makhluk itu kiriman seseorang. Entah siapa, aku tak tahu." Rista menerangkan. Lala masih bungkam, walau dadanya bergemuruh karena ketakutan yang menghinggapi dirinya. Ia merasa tak perlu menceritakan dulu pada Rista.
"Nanti saja kuceritakan, Ris. Sekarang kamu istirahat saja, aku pun sudah ngantuk," bujuk Lala sembari melingkupi Rista dengan selimut.
"La, tadi itu hantu berambut panjang. Biasanya ia budak para pengguna ilmu hitam. Waspadalah!" ujar Rista. Tak berselang lama, ia tertidur.
Bersambung

Komentar Buku (161)

  • avatar
    Dodi Cahyono Eko

    ceritanya sangat bagus...jadi ingat anak yang lagi mondok di pesantren..dia tinggal di asrama yg menurut ceritanya ada hal2 berbau horor..

    01/09/2023

      0
  • avatar
    Mobile Legendss

    that was awesome and nice

    2d

      0
  • avatar
    Afiq Fif

    best sangat

    3d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru