logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Misteri Asrama Putri

Misteri Asrama Putri

Vhie Aveiro


Perkenalan Lelembut

Gedung bekas kolonial belanda yang berlantai dua ini dinamai "Ven de Burgh" terdapat dua bangunan, asrama putri dan putra, yang masing-masing berjarak kurang lebih tiga ratus meter. Dengan pagar besi yang menjulang tinggi, membatasi gedung asrama yang sekilas nampak seperti kastil tua Pensylvania.
Di tengah-tengah jarak yang membelah dua asrama, terdapat beberapa bangunan kecil yang dipakai sebagai markas para pengurus dan tempat kebutuhan asrama, sedangkan sisanya digunakan sebagai ruang makan serta dapur besar untuk memasak makanan bagi para penghuni asrama.
Pengurus asrama sendiri, terdiri dari beberapa orang, dua diantaranya mengepalai asrama putra dan putri. Dan yang lainnya mengurus perlengkapan, kebersihan serta maintenance teknik gedung.
***
Segerombol siswi berjalan beraturan. Langkah serentak serta baris yang begitu rapi, memperlihatkan betapa aturan di sekolah mereka sangat dijunjung tinggi.
Maka dari itu, banyak para orang tua yang ingin menyekolahkan anak-anaknya di sekolah ini.
Langkah mereka terhenti pada pagar besi yang menjulang tinggi dan dalam keadaan tergembok. Jauh di hadapan mereka berdiri dengan kokoh sebuah gedung tua. Hawa dingin menyeruak bulu kuduk para siswi, beberapa diantaranya saling berdekatan karena rasa takut yang menyelinapi tengkuk mereka.
Gedung tua dengan cat berwarna putih yang sudah memudar termakan usia, tampak megah. Tembok-temboknya banyak yang terkelupas hingga menyembulkan kerangka bata merah yang menjadi tulang dasar tangguhnya asrama itu berdiri.
Seorang pria renta yang sudah bungkuk datang dari dalam, menghampiri para siswi yang sudah berdiri di depan pagar dengan wajah yang resah.
"Tumben digembok, Pak Lasiman?" tanya Lala, gadis tinggi semampai bermata coklat, yang memimpin barisan para siswi berambut pendek.
Peraturan sekolah yang mengharuskan mereka berambut pendek, semata-mata karena keamanan dalam mengerjakan laboratorium praktikum yang selalu bersinggungan dengan bahan-bahan kimia steril.
Pak Lasiman tergopoh, tangan yang tremor memperlambat gerakannya memutar anak kunci dalam gembok besar yang memborgol pagar tinggi itu.
"Ayo, cepat, Pak!" bentak Ivon di barisan belakang. Mereka tampak kelelahan, adapula yang sudah berjongkok untuk sekedar meregangkan otot kaki yang sudah dipaksa berjalan sejauh lima ratus meter dari sekolah ke asrama.
"Nggih, Non," jawab Pak Lasiman dengan suara seraknya.
Pak Lasiman, seorang pengurus asrama yang sudah renta. Sebenarnya ia sudah masuk masa-masa pensiun, namun karena kegigihannya mengurus asrama serta alasan yang paling kuat lain ialah keadaannya dirinya yang hanya sebatang kara di dunia ini, maka ia mengabdikan diri di sini. Hingga pihak asrama dan sekolah menjadikan Pak Lasiman sebagai juru kunci asrama putri.
Decitan pagar yang berkarat, membuat perasaan mereka lega. Hawa suram melambai di telinga mereka, bulu roma yang selalu tertegak menjadi santapan sehari-hari ketika memasuki areal asrama.
Bugh!
Lala menghempaskan tas ransel yang sedari tadi bercokol di punggungnya. Ia merebahkan diri pada kasur bagian bawah ranjang susun kamarnya.
Dalam satu kamar terdiri dari lima ranjang susun bertingkat dua. Puluhan kamar yang tersedia, hanya beberapa saja yang dihuni. Entah kenapa, banyak yang tahu dan tak mau tahu tentunya. Namun, bagi para siswi penghuni asrama, tidaklah penting untuk mengetahui klausul mengapa kamar lain tak dihuni ataupun tak boleh dihuni.
"La, kamu mau mandi? Bareng, yuk!" pinta Ivon.
Lala menggeleng. Netranya tertaut pada langit-langit kamar, menyebabkan Ivon mengernyitkan dahi. Tak mengerti apa yang ada di pikiran Lala.
"La, stres kamu!" Ivon menepuk kaki Lala.
Kemudian, Ivon-gadis berperawakan imut—itu melingkarkan handuk di leher serta membawa gayung yang berisi peralatan mandi.
Ivon menuruni lantai anak tangga yang berkeramik putih gading. Letak kamar mandi asrama berada di lantai dasar, terdiri dari beberapa ruang. Satu diantaranya adalah kamar mandi besar yang biasa mereka sebut KMB. Dan yang lain hanya bilik kamar mandi dengan kloset di dalamnya. Ada pula yang hanya berisi bak air khusus mandi saja.
Sore menjelang magrib menjadi waktu sibuk para gadis. Mandi, bersih-bersih kamar hingga mencuci baju.
Lala berjalan menuju tempat khusus untuk men jemur pakaian. Tampaknya ia menjadi yang paling akhir menuntaskan pekerjaan yang menyebalkan bagi sebagian para gadis, yaitu mencuci pakaian.
Tempat jemuran ajaib, tempat yang dituju Lala. Tempat itu seperti lapangan terbuka, semilir angin yang hangat serta panas yang dikeluarkan oleh tembok bata berat putih menjadi andalan untuk men jemur pakaian. Karena, dalam hitungan jam saja, pakaian mereka pasti akan kering.
Percaya atau tidak percaya, banyak yang membuktikan. Namun, dibalik faedah yang terkandung, tempat itu juga terkenal akan keangkerannya. Dibatasi secara langsung oleh semak belukar dan ilalang yang tinggi tepat di belakang asrama, banyak para penghuni asrama yang merasakan hal aneh di sana, seperti dicolek, ditiup maupun disentil di anggota tubuh mereka.
Lala yang sedang menjemur pakaiannya, merasakan hal serupa yang santer terdengar di penjuru asrama. Ia mempercepat gerakannya dan lekas meninggalkan tempat itu, untuk kemudian mengambilnya kembali kala pagi menyingsing.
Debaran jantung yang tak menentu, mengiringi hentakan langkah kaki Lala di koridor asrama yang terdengar jelas oleh teman-teman Lala di dalam kamar.
"Ada apa, La?" tanya Debi, teman kamar sebelah Lala menyembulkan kepalanya di pintu kamar.
Lala yang hendak meletakkan sandalnya di rak, menoleh sumber suara itu dengan sedikit kaget.
"Ah, kamu, Deb. Bikin jantungku mau copot saja. Sialan!"
Debi terkekeh, mimik wajah Lala yang pucat membuat ia melambaikan tangan pada teman satu kamarnya.
Keluarlah Wita dan Aruni. Serempak menertawakan Lala. Di saat yang bersamaan, beberapa orang yang merupakan kakak kelas Lala keluar kamar. Mereka menghuni kamar pojok tepat di ujung koridor.
Si kakak kelas berkacak pinggang, mereka tentunya merasa terganggu dengan gelak tawa adik kelasnya itu.
Secepat kilat, Lala dan teman-temannya langsung masuk ke kamar masing-masing dan menutup pintu.
Selang beberapa jam, sebuah teriakan terdengar keras. Lala terperanjat, buku pelajaran yang ada dipangkuannya terhempas karena ia bangun tiba-tiba untuk mencari tahu asal teriakan itu.
"Aruni?" Ivon menerka. Lala mengangguk, menyetujui tebakan Ivon. Lantas mereka berdua langsung beranjak menuju kamar Aruni.
Aruni tampak melotot, tubuhnya kejang-kejang. Wita dan Debi memegangi tangan Aruni dengan kencang, ketakutan merambati para gadis yang berada di sekitar Aruni. Hawa dingin melesak ke seluruh penjuru kamar, hingga Aruni makin menggeliat kuat sampai-sampai cekalan tangan Wita dan Debi hampir terlepas.
"Aaarrggh! Auuuu! Auuuu!" teriak Aruni.
Lala dan Ivon yang bingung harus berbuat apa, akhirnya meminta bantuan kepada kakak kelas.
Mereka pun datang, walau hanya empat orang. Aruni dapat pulih kembali, setelah Bella—kakak kelas—menyemburkan air yang sudah didoakan ke wajah Aruni.
"Ini kesurupan namanya, Dik. Kalau bisa kalian jangan ada yang melamun atau pikiran kosong. Isi dengan sholawat dan dzikir, atau belajar pelajaran juga bisa membantu. Di sini jangan ada yang macam-macam, karena karma dibayar instan."
Penuturan dari Bella, kakak kelas yang masih menghuni asrama itu, membuat bergidik Lala dan teman-temannya. Betapa tidak, Bella dengan segala kebenciannya dengan adik kelasnya, masih mempunyai sisi lembut dan positif.
"Ya, beginilah. Kalau tidak pintar-pintar mengelola hati dan pikiran, takkan bisa betah. Seperti halnya temanku, hampir tiga tahun, hanya empat orang ini saja yang tersisa di asrama ini."
"Kenapa bisa begitu, Kak?" Ivon bertanya, namun Bella segera beranjak dan menyudahi percakapan itu.
"Lho, tunggu, Kak." Lala menepuk pelan bahu Bella.
Bella yang sudah merasa banyak bicara pada adik kelas, memilih untuk bungkam. Ia tak dapat menceritakan semua yang terjadi di asrama ini. Walaupun sebenarnya Lala dkk, harus mengetahuinya.
"Hantu Jembalang," bisik Bella akhirnya kepada Lala, sang adik kelas.
Mata Lala terbelalak, tak mengira jika Aruni ternyata kesurupan hantu jembalang. Yakni hantu yang menunggu suatu tempat, seperti asrama ini.
Bersambung

Komentar Buku (161)

  • avatar
    Dodi Cahyono Eko

    ceritanya sangat bagus...jadi ingat anak yang lagi mondok di pesantren..dia tinggal di asrama yg menurut ceritanya ada hal2 berbau horor..

    01/09/2023

      0
  • avatar
    Mobile Legendss

    that was awesome and nice

    2d

      0
  • avatar
    Afiq Fif

    best sangat

    3d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru