logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

6. Didera Sepi

Entah sudah berapa minggu mereka menempati hunian barunya. Sejak awal, Raffi tidak ambil cuti. Itu tidaklah penting, pikirnya. Lain lagi jika memang pernikahan yang ia jalani adalah pernikahan yang sesungguhnya dan dengan orang yang ia cintai. Bukan pernikahan layaknya permainan seperti ini.
Persetan dengan pengantin baru, bodo amat dengan rumah baru, yang ia tahu hanyalah ia akan terus hidup dengan orang yang tidak ia cinta sama sekali, seberapapun usaha yang sudah ia lakukan. Dan itu sama sekali jauh dari kata 'baik'.
Dia juga tidak ambil pusing dengan rengekan Sally yang masih ingin ditunggui. Takut sendirian di rumah, katanya. Ia tahu semestinya Sally juga butuh sedikit adaptasi dengan keadaan baru, tapi kembali lagi, ia tidak mau tahu.
Meninggalkan Sally di rumah sendirian tetaplah hal yang menjadi pilihannya.
"Aduuuh ...." Sally mengerang kesakitan.
Badannya sakit, remuk seperti habis kena amukan warga sekomplek. Dan ini karena ulah suaminya.
"Udah. Tiduran aja dulu." Kata Raffi dengan entengnya.
"Nggak kira-kira!"
"Mau nambah lagi? Heum?" tantang Raffi.
Sally langsung mengggelengkan kepala. Ia tahu permainan Raffi yang sedikit 'egois'.
"Ya sudah, aku mandi dulu. Takut terlambat."
Raffi bangun dari ranjang nyamannya, menyelimuti tubuh polos sang istri. Setidaknya masih ada sedikit perhatian. Ia berjalan keluar menuju kamar mandi. Tak seperti kamar Sally, kamar tidur di semua rumah ini terpisah dari kamar mandi.
Sambil memandang Raffi menutup pintu kamar, Sally tersenyum miris dengan air yang tiba-tiba turun setelah menggenang di pelupuk matanya.
"Aku bahagia. Aku puas, dan hal ini bukanlah masalah besar."
Ia berusaha meyakinkan hatinya jika ia memang bahagia. Entah, bahagia dan masalah besar apa yang dimaksud, sampai ia harus menjalani Denial Syndrome di usia pernikahan yang masih terhitung jari. Hanya ia dan Tuhan yang tahu.
***
Pagi yang kesekian kali Sally tanpa Raffi. Ia mencoba sedikit bermain di dapur, menerapkan resep-resep yang sempat suaminya ajarkan. Ia baru tahu jika suaminya adalah seorang Sous Chef.
Dengan profesinya, tentu saja Raffi sangat lincah dan piawai di dapur, meski sekarang jabatan pekerjaan itu tak lagi murni turun tangan langsung dalam memasak.
Setelah urusan dapur selesai, ia gunakan waktu sendirinya untuk beberes rumah. Menyapu rumah yang menurutnya luas ini sungguh membuat dirinya lelah. Sebenarnya bukan luas, hanya saja karena ia harus melakukannya sendiri, jadi terasa begitu berat.
Sally menyandarkan punggungnya di sofa. Kesepian, itulah yang ia rasakan. Biasanya pagi-pagi seperti ini sudah ada di butik bersama Bella. Melayani pelanggan yang datang dengan senyumnya yang paling manis dan bergurau dengan Bella adalah sesuatu yang ia rindukan pagi ini.
Sayang, itu hanya masa lalu. Sesuai yang disarankan Raffi, ia harus merelakan butiknya. Daripada dipegang orang tanpa terlibat langsung di dalamnya, Sally lebih memilih menjualnya. Ia harap, di tangan pemilik yang baru, butik tersebut bisa lebih maju.
"Ah, membosankan." Sally berkeluh kesah sendiri.
Memang, ia lebih suka menyendiri daripada harus di tengah-tengah keramaian. Tapi jika harus benar-benar kesepian tanpa sesuatu yang bisa ia kerjakan, itu sungguh menjemuka.
Mau membunuh waktu dengan membaca novel pun ia tak bisa. Tidak ada buku kategori novel di sini. Semua buku bacaan Raffi tidaklah jauh-jauh dari masakan dan beberapa buku umum dari berbagai kategori.
Novel online? Tidak! Ia tidak pernah suka menghabiskan waktunya hanya untuk memantengi benda persegi panjang bersinar tersebut.
Sepertinya ia harus menghubungi Raffi untuk membawakannya beberapa buku bacaan yang ia suka. Ya, itu adalah ide yang bagus.
"Iya?"
"Bisa minta tolong?"
"Apa?"
"Belikan novel dan komik."
"Di rumah, kan, banyak buku. Baca itu saja. Itu lebih bermanfaat buatmu."
"Tapi aku maunya nov--"
Telepon terputus. Bahkan ia belum sempat menyebutkan kriteria, genre serta pengarang buku yang ingin ia beli.
Sebegini kejamkah Raffi? Apa yang dilihat orang tua Sally dari seorang Raffi?
Ia benar-benar kesepian, putus asa. Jiwa manjanya serasa diambil paksa akibat perjodohan ini.
Lelah, ia menyenderkan punggungnya di meja kerja Raffi. Matanya mulai lelap, kantuk pun melanda. Pelan tapi pasti, jiwanya sudah melayang ke alam mimpi.
Hingga satu gebrakan memaksa kesadarannya kembali.
"M-Mas Raffi?"
Sally tergagap, bangun dari tidurnya. Menyadari Raffi sudah berdiri di depannya. Langsung saja Sally menjabat tangan Raffi, kemudian beranjak untuk membuatkan teh untuk suaminya.
"Sally," panggil Raffi tiba-tiba.
Sally pun menoleh dengan senyum manisnya.
"Jangan pernah lagi menyentuh meja kerjaku. Apalagi sampai tertidur."
Lenyap sudah senyum merekah itu.
Tumpukan buku novel yang Raffi bawa pun tak mampu membuat senyumnya kembali hadir. Ia terlanjur terjatuh dengan ucapan Raffi, merasa baru kali ini ada yang memperlakukannya begini.
***
Hampa. Itulah kata yang pas untuk menggambarkan perasaan Sally saat ini. Ikan-ikan yang menggigiti jari dan telapak kakinya seolah tahu jika tuan putrinya sedang didera sepi. Jika saja mereka bisa bicara, pasti akan dengan senang hati menemani tuan putri kesepian ini.
Ia menggerakkan kakinya, menciptakan percikan air yang membuat ikan-ikan tersebut sedikit menjauh, kemudian mendekat lagi.
Ditaburnya pelet ikan dan melihat mereka dengan semangat menari mengibaskan ekor kipasnya dan memperebutkan makanan yang ia lempar. Indah sekali. Sally tersenyum, tak lama kemudian murung lagi.
Dalam kesendiriannya ia merenung, harus seperti inikah hidupnya? Belum sempat menikmati masa muda, ia dipaksa menikah. Dijodohkan dengan seorang Raffi yang begitu sempurna.
Sempurna? Tentu saja! Setidaknya itu yang orang-orang pandang, tanpa tahu kepedulian Raffi terhadapnya di ranjang.
Dengan kaki yang masih tersisa basahan air, ia kembali masuk rumah. Mengambil air wudhu, sholat dua raka'at dan melantunkan beberapa ayat dari kitab yang terdiri dari 114 surat. Bukankah membaca Al-Qur'an adalah salah satu obat hati termanjur?
Maha benar Allah dalam segala firmannya. Sally mengakhiri ritualnya dengan mengelus perut yang masih berbalut mukena, merayu Sang Pencipta agar secepatnya meniupkan nyawa agar sepinya tidak berangsur lama.
Cepat hadir di sini, Sayang.
***
Di keheningan malam, ketika kebisingan sama sekali tak terdengar, mata Raffi sudah tertutup dan hanya meninggalkan Sally yang masih terjaga. Sally memandang langit-langit dengan nanar. Perasaannya gelisah, tapi tidak bisa menjabarkan penyebab kegelisahannya.
Rasanya seperti menyimpan beban yang begitu berat. Tapi apa beban itu? Ia tidak tahu. Raffi orang yang baik, bertanggung jawab, dan memang butuh proses bagi mereka untuk menumbuhkan benih-benih cinta. Sebuah hal yang wajar, bukan?
Seharusnya ia bahagia, kan, mendapat suami seperti Raffi? Lantas, apa lagi yang menjadi pikiran Sally? Apakah sebuah kepuasan batin yang tidak terpenuhi? Masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal ini.
Hatinya menjerit, merindukan kehidupan sebelum ini terjadi. Banyangan keluarganya datang silih berganti di pikiran Sally.
Ia rindu ayah yang selalu menuruti kemauannya, rindu bunda yang yang tak pernah lelah membangunkan paginya, juga kejahilan Nayra yang kadang membuat Sally ingin menjatuhkan air mata. Ia merindukan mereka semua.
-------------------------------------
Bagaimana nasib Sally selanjutnya? Pantengin terus, ya.
=====
Shalys Chan
www.shalyschan.com
=====

Komentar Buku (63)

  • avatar
    LinataSelvi

    sangat bagus

    3h

      0
  • avatar
    SiwokOland

    tidak membuat bosan karena ada sisi lucunya

    13d

      0
  • avatar
    Kadek

    sangat bagus

    17d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru