logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Part 3

Madu di Pernikahan Kedua
#balasan_cantikku_sang_mantan_janda
🌟🌟🌟
Tak lama terdengar deru sepeda motor, mungkin Mas Bendu mau berangkat kerja, "Maaf Mas, hari ini aku tidak melepas kamu pergi kerja. Selamatkan suamiku dalam perjalanan Yaa Allah." bisikku dalam hati.
Aku tak menyangka dapat mertua dan ipar jahat untuk kedua kalinya. Cukup rasanya aku ditindas ketika pernikahanku yang pertama. Cukup juga sebulan lebih aku menerima sindiran, umpatan, dan sergahan dari mertua. Belum lagi ipar tidak tahu diri, dia harusnya lebih giat mencari kerja, bukan lenyeh-lenyeh seperti anak bayi di rumah.
"Yaa Rabb kuatkan hatiku untuk menghadapi mereka. Beri aku kesabaran yang lebih banyak dan jauhkan aku dari fitnah mematikan. Lindungilah keluarga kecilku yang baru seumur jagung ini Yaa Allah."
"Lio, Liodra, buka pintunya. Kamu jadi menantu tahu diri dikit. Ini rumah ibu saya bukan kamu. Ingat kamu hanya numpang di sini." pintu kamarku digedor tanpa jeda bahkan bunyinya sangat kuat, kalau bukan karena segan enggan sekali aku meresponnya.
Liodra? Kamu? Nini berani memanggilku selancang itu? Dasar anak bau kencur.
"Ada apalagi sih, Ni. Kamu bisa sopan nggak sama aku. Bagaimanapun aku lebih tua dari kamu." serangku ketika pintu sudah kubuka.
"Lancang kamu, ya. Ingat ini rumah saya, kamu cuma numpang di sini. Dasar mantan janda tidak tahu diri. Persetan dengan umurmu yang tua itu. Udah tua, pernah janda lagi." tangannya melipat di depan perut ditambah ujung bibirnya yang menyungging. Kalau tidak menghargai Mas Bendu, sudah ku mutilasi nih anak.
"Cukup ya, Ni. Aku sudah berusaha menahan hati untuk tetap menghormati kamu sebagai adik iparku. Tapi kalau kamu terus-terusan seperti ini, aku juga tidak akan tinggal diam. Terus kalau aku mantan janda, memangnya ada masalah dengan kamu" tantangku.
"Iya, sejak kamu masuk di keluarga ini saja sudah menjadi suatu bencana besar bagi kami. Hohoho, berani kamu ya sekarang nantangin saya. Lihat saja akan saya adukan pada Mas Bendu. Kita lihat saja siapa yang akan dipercaya oleh Mas Bendu, aku dan ibu atau kamu istri yang pernah menjadi janda."
"Silakan saja. Aku terima tantangan kamu, kita lihat siapa yang akan menang pada akhirnya." serangku dengan menghadiahkannya sebuah senyum tipis.
Dia mendengkus kesal meninggalkan aku yang masih berdiri di pintu kamar. Lalu berlalu keluar dari rumah. Aku tidak tahu dia kemana dan juga tidak mau tahu.
Aku menjorokan kepala sedikit keluar menyisir seluruh ruangan. Tidak tampak batang hidung ibu, mungkin dia di kamar atau sedang kelayapan seperti rutinitasnya.
Di depan kamar ada ruang tengah yang biasa kami jadikan tempat makan. Kamar Nini paling depan sejajar dengan ruang tamu. Sedangkan kamar ibu sejajar dengan dapur tetapi pintunya mengarah ke ruang tengah. Minimalis saja tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar.
Ku henyakkan pantat di bibir ranjang, bulir bening jatuh perlahan membasahi pipiku. Memang ada yang salah dengan status janda yang pernah ku sandang? Tidak ada satupun wanita yang ingin gagal dalam pernikahan.
Ku ambil gawai di dalam tas, bermaksud untuk mencari informasi lowongan kerja lewat instegriem. Mana tauan ada posisi yang cocok dengan ku. Semoga langkahku mendapatkan pekerjaan di ridhoi Allah.
Bukan bermaksud niat membalas pada mereka yang menzolimiku. Aku hanya ingin 'bercanda cantik' dengan ibu dan Nini. Lihat saja, waktu yang akan membuktikan bahwa Nini dan ibu akan bertekuk lutut di hadapanku.
🌟🌟🌟
Sepeda motor Mas Bendu menderu di halaman rumah, aku tentu sudah hafal.
"Assalamualaikum." sahut Mas Bendu, "Waalaikumsalam." akupun membalas salam suamiku, berjalan menjemputnya ke pintu depan.
Belum sempat aku meraih tangannya, dia sudah menyentakan kasar memberi kode jika Mas Bendu tak sudi ku sentuh. Dia melangkah cepat masuk ke dalam kamar. Ibu dan Nini yang sedang nonton pun dia lengahi.
Ku tutup pintu depan lalu menyusul Mas Bendu ke kamar, "Rasain lu, Lio. Hahahha." terdengar kikikan Nini. Feeling ku berkata lain, ada sesuatu yang dia lakukan.
"Mas, yuk kita makan dulu." ajakku. Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulutnya. Padahal aku tahu dia sedang berpura-pura tidur.
Lama aku menunggu sambil duduk di bibir ranjang, tak juga ada sahutan apapun. Kuputuskan untuk tidur, sengaja ku miringkan tubuh ini supaya bisa berhadap-hadapan dengan Mas Bendu, rupanya dengan sigap dia memutar posisi tidurnya yang kini memunggungiku.
Ada dua kemungkinan yang membuat dia semakin marah padaku. Ah sudahlah, besok saja ku pikirkan masalah ini. Aku juga butuh istirahat supaya lebih kuat hati menghadapi dua lucknut di rumah ini.
🌟🌟🌟
Suara alarm bersahutan membangunkan aku dari tidur. Kubuka mata perlahan, sontak aku terbelalak melihat Mas Bendu sudah sholat duluan, tanpa membangunkan ku untuk melaksanakan sholat berjamaah seperti rutinitas yang biasa kami lakukan.
"Semarah itukah kamu padaku, Mas. Tidaklah terbuka matamu untuk melihat siapa yang tersakiti oleh kejadian kemarin." keluhku dalam hati.
🌟🌟🌟
"Mas, kok kamu nggak bangunin aku?" sapaku memulai pembicaraan.
Tidak ada sahutan, malah Mas Bendu meraih gadgetnya yang diletakkan di bawah bantal. Karena tidak ada respon dari dia, aku mengambil wudhu untuk melaksanakan Sholat Subuh.
Seusai sholat akupun masih berusaha mencairkan suasana.
"Mas, kamu marah?" ucapku sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
Jangankan direspon dia malah menyentak kakinya. "Yasudahlah aku sudah berusaha, lebih baik aku biarkan saja." bisikku di dalam hati.
Aku bertolak ke dapur menyiapkan sarapan seperti biasa. Ketika ku buka kulkas tidak ada satupun stok yang bisa dimasak untuk makan siang. Hanya bumbu untuk nasi goreng yang tersedia. Setelah selesai membuat nasi goreng akupun menjemput Mas Bendu ke kamar untuk mengajaknya sarapan.
"Mas, yuk sarapan. Aku sudah bikinin nasi goreng kesukaanmu." ajakku pada suami yang sudah ready untuk berangkat kerja.
Ku raih pergelangan tangannya, lagi dan lagi dia menyentak tanpa menghiraukan pintaku, lalu berlalu keluar kamar bukan untuk menikmati hidangan sarapan yang kusiapkan di meja makan.
"Bu, Bendu pergi dulu ya. Oh iya Bu, soal gaji bulan ini nanti siang semuanya Bendu transfer ke ibu." ucapnya pada ibu. Begitu jelas apa yang dikatakan Mas Bendu pada ibunya.
Mas Bendu mau ngasih semua gajinya ke ibu? Tanpa memberitahu aku terlebih dahulu. Oke lah Mas, jika kamu mau menjadi team ibu dan Nini, aku tak apa.
Aku pikir dia lelaki yang beda, ternyata dia tidak lebih dari lelaki yang masih bersembunyi di bawah ketiak ibunya.
"Iya, Nak. Kamu hati-hati ya. Kabari saja ibu nanti kalau gajimu udah ditransfer semuanya ke ibu."
"Iya, Bu. Bendu pamit ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Bunyi deru sepeda motor Mas Bendu perlahan hilang dari halaman rumah.
"Gimana Lio? Kamu terkejut kalau gaji Bendu mulai sekarang ditransfer ke ibu?" ucapnya yang tiba-tiba muncul di depan kamarku, tidak ada wajah bersahabat yang dia perlihatkan padaku, malah wajah sinis yang dia suguhkan.
"Nggak bu. Ibu pegang saja, aku juga tidak mempermasalahkannya." jawabku tenang, tentu saja aku berusaha mengontrol emosi.
"Nah iya harus begitu kamu. Ingat ya, bagaimana pun anak laki-laki itu harus utamain ibunya ketimbang kamu. Apalagi kamu kan mantan janda yang kebetulan aja dinikahi anak ibu." gelagatnya mencibirku membuat darahku naik pitam.
Dia tak ubahnya memperlakukan aku tanpa ada rasa menghargai di benaknya. "Iya, Bu. Ada yang mau ibu sampaikan lagi?" tanyaku sembari menebar senyum tipis walaupun di dalam dadaku bergejolak membara.
Bukan jawaban yang dia berikan, dia malah menyuguhiku dengan raut wajahnya yang masam ditambah dengan ujung bibir yang menyungging.
"Semoga suatu hari nanti bibirnya benar-benar menyungging permanen Yaa Allah" doaku dalam hati.
🌟🌟🌟
Di dalam kamar aku sibuk menyiapkan semua berkas lamaran lalu mengirimnya lewat email. Ada sekitar dua puluh lamaran kerja yang ku kirim lewat email. Mereka pikir aku tidak punya banyak cara untuk tetap menjalankan keinginanku. Mereka salah, salah orang lebih tepatnya.
Jangan mentang-mentang status ku yang pernah menjadi janda diusia muda mereka seenaknya memijakku dengan cara seperti ini. Oh tidak, itu takkan pernah terjadi. Dan kamu keliru Mas, sudah membela ibu dan adikmu sendiri.
Lebih dari sepuluh berkas lamaran aku kirim lewat email. Semoga saja ada beberapa yang nyantol, begitu harapku. Lihat saja nanti sikap mereka jika aku mempunyai uang.
"Bu, kok lauknya cuma ini doang?" terdengar Nini bersorak dari dapur.
"Apaan sih, Ni heboh mulu ah." gerutu ibu.
"Makannya ibu ke sini liat nih." pintanya dengan nada kesal.
"Ya ampppuuuuuuuuuun. Liodra sini kamu." teriak ibu.
Aku hanya senyum-senyum sendiri dari dalam kamar. Biar mereka tahu rasa, makan aja tuh ikan kering, ini enggak sok-sok an makan ayam, sedangkan ngeluarin duit aja susah. Semua keperluan rumah tangga Mas Bendu yang nanggung semuanya, perintilan apapun itu.
Awalnya memang aku tidak mempermasalahkan, tapi kalau dipikir-pikir nggak etis juga rasanya ibu dan Nini terlalu memberatkan Mas Bendu.
"Liodra, buka pintunya. Kamu tuh ya, udah numpang malah enakan molor di dalam. Keluar kamu." hardik ibu dari balik pintu kamarku gedorannya begitu keras hingga membuat gendang telingaku sakit.
Aku sengaja tidak menyahut, biar saja dia sampai puas berteriak dan menggedor pintunya.
"Lio, buka pintunya. Awas saja kamu, nanti ibu lapor ke Bendu sikap kamu yang kurang ajar ini." ancamnya.
Tak lama kemudian aku membuka pintu, dengan menyandang handuk di tangan pura-pura mandi sore, tentu saja tadi dengan sigap ku ganti baju piyama seolah-olah memang aku selesai mandi.
"Ada apa Bu? Aku lagi mandi tadi." jawabku polos, aku melunak bukan berarti takut, tapi aku sedang menyiapkan jebakan batman untuknya
"Kamu nggak masak? Tahu diri dikit napa, kalau numpang itu siapin juga makanan buat ibu dan Nini jangan tidur gratis saja kamu di sini." erangnya, mata membulat, hidung kembang kempes seperti harimau mau menerkam kucing.
"Astagfirullah, Buuuu. Gimana aku mau masak, 'kan duit sisa kemarin juga ibu minta. Aku nggak pegang uang lagi. Eh tapi Bu, bukannya Mas Bendu udah transfer duit ke ibu tadi siang, yaa beli aja dulu lauknya lewat gofooott Bu." jelas ku memberi ide.
"Belum ditransfer sama Bendu duitnya, pasti kamu 'kan yang larang. Nggak usah sok polos kamu." tuduhnya menunjukku ke arahku dengan telunjuk gempornya.
"Ya, makan aja dulu apa yang ada Bu." jawabku tak lupa ku suguhkan senyum tipis mata menyipit supaya dia lebih jantungan melihat reaksiku.
Dia menghela nafas kesal lalu bertolak menuju dapur. Piring dan sendok terdengar beradu kencang, semoga saja piringnya pecah, sumpahku.

Komentar Buku (51)

  • avatar
    NoepRoslin

    👍👍👍

    08/01

      0
  • avatar
    Nur Ashikin Nasir

    hmm itsokay

    13/07/2023

      0
  • avatar
    MohamadNazlia

    terbaik

    01/04/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru