logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Hidup selalu Berputar

Raka seperti biasa pada akhirnya. Dia mulai bisa melupakan kejadian kegagalan dalam pernikahannya. Hari – harinya berjalan seperti semula kembali seperti mengajar di sekolah, kemudian mengajar ngaji ketika sore.
Bagi Raka, hidup itu harus berjalan. Kadang seseorang mendapatkan kebahagiaan dan kadang harus mendapatkan ujian dalam hidupnya. Itulah kehidupan pada intinya dimana seseorang akan selalu dihadapkan pada ujian. Jika lulus, maka itu akan membuat seseorang semakin bijak.
Hari-hari biasa kembali, matahari seperti biasa terbit dan terbenam. Raka menjalani rutinitasnya kembali. Di sekolah, Raka Zulkarnaen terkenal guru yang periang, dengan siswa yang disebut ABG itu dia sangat supel dan juga bahkan kadang digoda oleh siswi-siswi.
Raka cukup populer diantara para siswa dan siswi karena kedekatan emosional yang dibangun oleh Raka kepada semua murid.
Raka juga mengajar mengaji beberapa siswa ketika sekolah usai, beberapa orang meminta les BBQ atau Bimbingan Baca Quran.
Mirisnya, kebanyakan anak SMA yang sekolah nyatanya masih terbata-bata membaca kitab sucinya. Hanya sedikit dari mereka yang memang sudah punya basic agama baik atau dari keluarga yang taat ibadah yang lancar membaca Quran. Tak heran, Raka mengajar beberapa siswa mengaji masih pada level iqro.
Kebiasaan mengaji Quran akan selaras dengan hasilnya. Apa yang dilupakan seseorang meskipun saat kecil mengaji namun semenjak mulai remaja lupa dan tak memegang dan membaca Kitab suci, maka bacaannya akan tersendat-sendat dan bahkan bisa menjadi lupa. Oleh karena itu, kebiasaan untuk mengaji harus diupayakan sehingga bacaan Quran seseorang bisa menjadi benar.
Tak mengapa, Raka pun sabar mengajari mereka, karena kemauan yang kuat juga akan mudah membuat seseorang cepat bisa dan paham.
Sebenarnya, beberapa guru yang masih gadis juga ada beberapa dan mereka ada yang menaruh hati pada Raka, apalagi mendengar pernikahannya gagal, ada yang merasa masih memiliki kesempatan.
Sinta, guru PNS disana bahkan memang menaruh hati karena akhlak Raka yang baik dan supel pada siapapun. Sinta melihat Raka adalah sosok yang baik untuk jadi imam karena selalu baik pada siapapun dan menolong siapapun yang meminta bantuan. Selain itu, Raka juga terkenal pintar mengaji dan agamis meskipun bukan guru agama namun pemahaman agamanya tinggi.
Raka kembali ke ruang guru, ada berkas yang perlu dipersiapkan karena sebentar lagi sekolah akan mengadakan akreditasi. Banyak data yang diperlukan untuk melengkapi syaratnya. Ruang guru terlihat ramai, termasuk ada bu Sinta, ada juga bu Indah yang sedang menghadap laptop untuk mengetik dan mengedit sesuatu.
Raka duduk di bangkunya, ada air minum disana, teh sudah disiapkan oleh TU. Raka pun meminumnya dan mengucapkan basmallah.
Setelah minum ada kelegaan yang menyusuri tenggorokannya, rasanya haus tadi langsung terobati.
Sejenak, Raka terdiam kembali. Dia teringat bahwa setelah keputusannya mundur dari pinangannya pada Azkia. Azkia dan keluarga datang ke rumahnya dan meminta maaf, atas ketetapan hati Azkia juga meminta maaf dan meminta doa karena dirinya dan Azzam sepakat untuk meneruskan hubungan mereka.
Saat itu, Raka pun mengangguk dan menjelaskan dia ikhlas untuk semuanya karena semua sudah diatur oleh Tuhan melalui takdir yang sudah dituliskanNya.
Namun, di hati terdalam juga kekecewaan pasti ada namun manusia haruslah melangkah seperti matahari yang tak peduli di hujat atau dipuji orang karena sinarnya, namun dia tetap berpijar memberi kemanfaatan kepada dunia.
”Pak Raka...” suara lembut dari belakang Raka. Suara bu Indah, ”Data untuk seluruh siswa sudah lengkap ya Pak?”
Raka membalikkan badannya, ”Sudah bu Siska, sudah saya simpan di flashdisk, saya akan pindahkan segera ke komputer sekolah,” Raka sedikit kaget, lamunannya tadi pun langsung buyar.
Bu Indah masih sedikit melihat wajah Raka, memang tampak tulus namun ada sedikit gurat yang dirasanya.
”Bapak baik-baik saja kan?”
Suara Indah itu lagi-lagi membuyarkan lamunan Raka sejenak, ”I.. Iya Bu, gak papa kok,” Raka tersenyum pada bu Indah. Jilbab hitam bu Indah berkibar, lesung pipi wanita itu terlihat, manis juga. Raka langsung mengalihkan pandangannya.
”Jika tak enak badan, pak Raka bisa istirahat di rumah dulu,” kini, suara bu Siska juga bersimpati pada Raka. Raka sadar, pasti berita heboh pernikahannya semua sudah tahu, dan mereka mencoba menghiburnya.
”Tidak apa-apa bu Siska, mungkin sedikit lelah saja,” Raka memasukkan flashdisk ke komputer sekolah. Dia mengcopy dan paste ke data yang dibutuhkan ke pihak sekolah untuk persiapan akreditasi sekolah yang sebentar lagi akan dilaksanakan.
Raka selesai menyalin data, dia pun pamitan pada kedua guru muda itu dan izin hendak ke belakang. Sepeninggalnya Raka, masih terdengar bisik-bisik kedua guru itu tentang nasib Raka yang gagal menikah. Mereka bercanda jika peluang masih ada.
Raka sempat mendengar bisik itu saat pergi, dia kini tak terlalu memperdulikan perkataan orang soal kegagalan pernikahannya.
Raka juga sudah mendengar beberapa guru bahkan ingin menjodohkan Raka dengan kenalan atau keluarganya. Seolah semua bersimpati pada pak Raka, namun Raka juga memiliki hari-harinya sendiri. Rugi kalau kita malah lemah dengan masalah yang sudah terlewat, kita harus menatap masa depan agar masa depan menjadi cerah, begitu tekad Raka.
No problem no strong, dan Allah juga tidak akan membebani hambaNya melebihi kemampuan hamba tersebut. Tuhan begitu memahamip hambanya sehingga akan memberikan ujian sesuai dengan kemampuannya. Bismillah, Raka mantap menjalani setiap kehidupannya.
Brakk!
Kertas berceceran dari map yang tumpah dibawa oleh seorang wanita. Raka bertabrakan dengan seorang wanita berhijab krem.
”Maaf, maaf,” Raka berulangkali meminta maaf, dia pun sigap mengumpulkan kertas yang bercecer dan melihat sekilas wanita yang juga memungguti lembaran kertas itu.
Wajah itu sempurna, bagai batu pualam tertimpa sinar mentari, wajah bersih dan manis. Raka segera beristighfar dan menundukkan pandangannya, beberapa lembar kertas sudah dikumpulkannya dan diberikan kepada wanita tersebut.
”Tidak apa-apa Pak, maaf mungkin saya yang ceroboh karena terburu-buru,” wanita itu menerima kertas dari Raka dan memasukkannya kembali dalam map.
”Eh maaf Pak, Bapak guru disini juga ya?” Wajah wanita itu begitu sempurna saat wajahnya menghadap lurus. Hati Raka bergetar dan dia mengalihkan pandangan lagi.
”I.. iya, saya guru honor disini Bu. Apa Ibu ada perlu sesuatu?”
Wanita itu tersenyum, ”Iya, saya sedang pemberkasan di sekolah ini. Insyaallah saya akan menjadi guru baru disini lewat jalur tes CPNS kemarin. Sekarang penjadwalan untuk pemberkasannya. Apakah kepala sekolah masih ada di tempat?”
Raka mengerti sekarang, ”Ibu kepala sekolah sudah pulang, namun jika hendak mendapatkan cap bisa langsung ke TU. Di ruang guru masih banyak beberapa guru, ibu silakan masuk saja di ruangan guru sebelah situ,” Raka menjulurkan tangannya menunjuk ruangan guru.
”Oya, terimakasih ya Pak. Oya, nama bapak siapa, kita belum kenalan. Nama saya Iffah Inshira, biasa dipanggil Iffah,” senyum Iffah kembali terukir, siapa saja bisa terpesona dengan senyuman indahnya. Bahkan, matahari pun ikut iri dengan pesona senyuman tersebut.
”Baiklah bu Iffah, saya Raka Zulkarnaen. Kedepannya kita bisa bekerjasama dalam mendidik para siswa disini.”
Keduanya saling tersenyum dan berpamitan. Angin sepoi berhembus menerpa kulit dan menembus pori manusia, seperti itu pula rasa manusia yang merasuki hati. Raka melangkah meyakinkan dirinya, optimis menjalani hidup, itulah ketakwaan. Raka semakin semangat.
Gugur satu, tumbuh seribu... begitu keyakinan Raka sekarang.
@@@
”A... Ba.... Ta...,” suara Fadil kecil tengah mengaji Iqro di masjid bersama Raka, sore hari Raka juga menyibukkan diri untuk mengajar TPA di masjid. Sudah lama masjid Nurul Islam itu tak diisi mengaji, semenjak tak ada lagi guru ngaji 4 tahun lalu. Raka pun memberanikan diri bermusyawarah dengan takmir dan memulai mengajar ngaji.
Tidak setiap hari, hanya senin sampai kamis saja. Jumat, sabtu dan ahad libur. Agar tak merasa bosan dan jenuh.
Fadil telah selesai satu halaman, giliran yang lain. Mereka mendapatkan giliran dan antre, yang sudah selesai mengaji biasanya akan berlari di halaman masjid dan bermain dengan gembira. Mereka berlarian, berkejaran, bermain apa saja dan yang belum mengaji masih berjejer lurus menghadapi Raka.
Meski ribut, Raka tak mengapa. Ramainya suara anak-anak lebih baik daripada masjid juga sepi dari jamaah.
Biasanya setelah mengaji semua dan dapat giliran, Raka akan sedikit memberi nasehat. Mereka berkumpul melingkar, Raka biasanya menceritakan soal kisah Nabi, atau kisah teladan Islami agar mereka bisa mengambil pelajaran dan bisa meniru akhlak yang baik dari cerita tersebut.
Kali ini, Raka menceritakan soal raja Zulkarnaen dan penasehatnya Nabi Khidir, keduanya orang yang shalih sehingga menolong salah satu suku saat perjalanan mereka dengan membuat benteng hebat, benteng Ya’juj dan Ma’juj. Benteng itu kekuatannya luar biasa, pembuatannya canggih sehingga dapat mengurung Ya’juj dan Ma’juj dan benteng itu selain kuat juga diberi kekuatan oleh Allah dengan kekuatan yang diusahakan dengan zikir para pasukan Zulkarnaen.
Para santri kecil itu melongo dengan cerita Raka. Kisah yang melegenda dan diceritakan dalam Kitab Suci.
Menolong orang lain dan cerdas memikirkan cara menolong orang lain. Maka dari itu, seorang muslim harus cerdas dan pintar dengan rajin membaca, rajin belajar dan rajin membantu orangtua. Jangan bermalas-malasan.
Begitu pesan Raka pada mereka.
Hari sudah mulai petang, pukul 05.30. Mendekati waktu maghrib itu, Raka menyiapkan para murid TPA berdoa. Mereka pun kompak berdoa dan acara ngaji itu pun ditutup oleh Raka. Mereka pun berhamburan untuk pulang, seperti burung yang terbang di pagi hari mencari rezekinya, para bocah ini berhamburan untuk pulang ke rumahnya.
Ada satu orang murid TPA yang masih duduk di serambi masjid, menunggu dijemput. Semua murid sudah pulang, Raka melihat bocah itu, Fadil. Raka pun mendekatinya dan duduk bersamanya.
”Belum dijemput Fadil,” sapa Raka ramah.
”Iya Ustadz, tidak biasanya Ibu belum jemput.”
Raka tersenyum, ”Tunggu sebentar lagi, Ustadz akan temenin sampai Ibunya Fadil datang ya.”
Fadil pun tersenyum dan tak merasa kesepian lagi. Sambil menunggu, Raka mengajari Fadil membaca dan menulis huruf. Hal ini tentu akan membuat Fadil jadi lupa bahwa dirinya belum dijemput.
Raka mengajari Fadil agar dapat menulis tulisan dengan rapi sehingga bisa lurus dengan baik antara satu huruf ke huruf lainnya. Rapi dalam menulis akan membuat orang lain dalam membaca tulisan kita menjadi mudah dan tentu saja orang tidak akan bosan melihat tulisan kita.
Beberapa menit kemdian, sebuah motor dari kejauhan terlihat dan memasuki masjid. Seorang wanita dengan gaun panjang, jilbab merahnya berkibar di ujungnya dan motor itu berhenti di depan Raka dan Fadil.
”Assalamu’alaikum,” Senyum wanita itu mengembang.
Raka dan Fadil menjawab salam, Raka sendiri kaget saat melihat wanita itu. Apakah itu adalah Ibunya Fadil, tak mungkin. Masih sangat muda, bahkan wajahnya terlihat familiar.
”Kak Raka sehat?” Sapa wanita itu.

Komentar Buku (50)

  • avatar
    Agus Wibowo

    nice story

    24/06

      0
  • avatar
    UdinBurhan

    mana nih kelanjutannya?

    23/05

      0
  • avatar
    Aipupun Punikawati

    bismillah mudh" dapet banyak aamiin ya rabbal alamiin

    20/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru