logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Keputusan dan Harga Diri

Acara pernikahan yang sudah dijadwalkan menjadi berubah drastis. Seperti dua kekasih yang sudah lama tak bertemu dan dipertemukan dalam kondisi yang tidak tepat.
Azkia sendiri tak bisa membayangkan kalau lelaki yang bertahun – tahun lalu melamar dan dicintainya kemudian dikabarkan meninggal dunia. Saat itu perasaan Azkia bahkan hancur dan susah untuk mengembalikan kepercayaan dirinya.
Baru, setelah dia mulai bisa berjuang demi kehidupannya sendiri. Raka datang dan memberi harapan baru. Saat akan menuju pernikahan, pria yang sudah susah payah dilupakan itu kembali lagi.
Sesaat, Azkia kaget dengan lamunannya karena Raka sudah memberinya pertanyaan.
”Apa keputusanmu Azkia?” Raka dan Azkia serta ditemani kedua orangtua Azkia dan Ibu dari Raka, mereka bertemu di ruang dalam. Mereka berlima, sedangkan Azzam duduk bersama para tamu lainnya.
Suasana yang awalnya meriah berubah menjadi sepi senyap seperti di pekuburan meskipun banyak jiwa yang masih hidup. Mereka menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Azkia tertunduk lama, dia tak berani mengangkat kepalanya.
”Iya Nak, semua menunggu keputusanmu?” Ibu Nurma yang merupakan ibu dari Azkia menyentuh pundak puterinya itu. Dia berdoa dan berharap yang terbaik sebagai jalan pemecahan masalah yang mereka sedang hadapi.
”Jangan ragu Azkia, apapun keputusanmu kami akan menerimanya,” kini, Raka yang kembali meminta kepastian, status tak jelas adalah sesuatu yang bisa membuat seseorang terkatung-katung bahkan akhirnya tak bisa memutuskan apapun lagi ke depannya karena masih terikat masalah.
Azkia memberanikan diri mengangkat kepalanya, meskipun bergetar. Dia menatap sejenak Raka, kemudian menatap Ibu Rahmiza dan kemudian kedua orangtuanya. Tatapan mereka semua tampak menunggu, apapun keputusannya mereka akan menerimanya.
”Azkia... Azkia... ” masih agak ragu, Azkia pun mengepalkan tangannya tanpa bersiap meneruskan ucapannya, ”Mohon biarkan Azkia berpikir dan tenang dulu selama beberapa hari atau seminggu. Azkia pasti akan menentukan keputusan. Sekarang, Azkia tak bisa berpikir jernih, apalagi Azkia harus shalat istikharah terlebih dahulu.”
Semua orang disana menghembuskan napas mereka pelan, belum ada keputusan. Raka dan Ibunya berusaha tegar menarima takdir mereka. Mereka dan rombongan pengantin pria pun berpamitan kepada keluarga Azkia dan berharap menunggu informasi selanjutnya tentang apa yang akan diputuskan oleh Azkia.
Kecewa?
Tentu saja kecewa, namun semua yang terjadi di dunai ini adalah ketetapan Allah semata. Tak ada yang luput dari kejadian apapun kecuali atas kehendakNya.
Dalam perjalanan pulang itu, Raka mencoba menenangkan dirinya agar jangan sampai suudhon pada takdir Allah. Raka tidak ingin sampai memiliki prasangka buruk sehingga Raka segera mengingat karunia dari Tuhan begitu banyak yang sudah dia terima sehingga dia harus menerima apapun takdir dari Tuhannya.
Raka berusaha menghibur Ibunya, Rahmiza. Namun, Rahmiza merupakan seorang wanita yang sudah makan garam begitu banyak dalam kehidupan. Semua rasa kehidupan mungkin sudah pernah dicicipinya, dia malah yang khawatir kalau puteranya itu akan bersedih berlarut-larut.
Nyatanya, puteranya itu kini sudah besar dan bisa berbesar hati menerima sesuatu yang mengejutkan bahkan disaat hari-hari kebahagiaannya.
”Ibu yakin kamu kuat Raka, bersabarlah. Sesuatu yang terbaik untukmu akan datang, kamu tidak perlu risau dan khawatir. Jika memang Azkia bukan jodohmu, maka itulah yang terbaik,” Rahmiza menatap puteranya itu di dalam kendaraan mobil yang mereka tumpangi.
Raka menyentuh tangan Ibunya itu, dikecupnya pelan, ”Insyaallah, Raka kuat Bu. Raka sudah ibu ajari bagaimana seseorang bersabar, bagaimana seseorang bisa kuat. Mereka kuat karena bisa menahan diri, menerima takdir dengan senyuman.”
Rahmiza tersenyum, ”Rupanya kau memang sudah besar Raka.”
Senyum mereka bertemu, matahari tampak semburat sinarnya memantul dari jendela mobil. Mereka pun pulang, meski tak menuai keinginan namun mereka sadar bahwa ketetapan Allah adalah yang terbaik.
Raka menguatkan dirinya, apapun keputusan Azkia seminggu lagi, tentu saja dia juga punya keputusan tersendiri dan bagaimana masa depan akan diputuskan. Raka perlu dan wajib bertanya kepada Allah juga melalui shalatnya.
Raka menjalani hari-hari pasca kegagalan pernikahannya itu biasa saja, dia tetap berangkat ke sekolah menjadi guru. Dia berusaha tak lagi memikirkan masalah gagalnya pernikahan melainkan lebih baik fokus dalam pekerjaan dan kesehariannya, toh Allah swt selalu menjaga dan mengurusinya, jadi Raka bisa tenang.
Seminggu pun berlalu setelah gagalnya pernikahan dirinya dan Azkia. Bahkan, sudah melewati 8 hari. Namun, belum ada kabar dari Azkia dan bahkan keluarga besarnya.
Siang itu, Raka pulang lebih awal karena jam mengajarnya sudah habis. Sebelum dhuhur, Raka sudah pulang dan menemui ibunya. Rahmiza sedang menjahit baju, karena Ibunya mendapatkan beberapa orderan dari para tetangga. Untuk membiayai Raka sekolah dulu, Rahmiza selalu menjahit baju untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Raka. Raka juga sering membantu ibunya.
Kini, ketika Raka sudah selesai kuliah dan mengajar meskipun honor, Rahmiza masih menjahit namun tak sekeras dulu karena kini keperluan mereka sudah berkurang karena tak ada lagi biaya kuliah dan Raka juga sudah mulai menerima honor dari profesinya sebagai seorang guru.
Rahmiza menghentikan aktifitasnya dan memutus benang dengan gunting, dia berbalik arah kearah Raka yang sudah duduk di sampingnya. Rahmiza memutar kursi putarnya.
”Belum ada kabar dari Azkia?”
Raka terdiam, kemudian menggelengkan kepalanya pelan.
Jemari Raka saling menaut antara kepalan tangan kanan dan kirinya, ”Aku akan menghubunginya Ibu, agar semuanya jelas. Dan juga...” Raka agak ragu hendak meneruskan kata-katanya.
”Apakah ada yang hendak kamu putuskan tentang masalah ini?”
Raka mengangguk, ”Iya Ibu, Raka sudah memikirkannya matang-matang dan sudah meminta petunjuk dari Allah. Raka rasa, jika memang tak ada keputusan dari keluarga Azkia, mungkin Raka akan mundur saja.”
Rahmiza sedikit berubah wajahnya. Dia agak khawatir, ”Kenapa kau ingin mundur anakku? Bukankah kau sudah mulai menyukai Azkia?”
”Benar Ibu,” Raka menatap lurus kedua mata Ibunya itu, ”Raka tak bisa merusak kisah cinta seseorang, mereka awalnya adalah pasangan yang hampir menikah dan sudah saling lamaran. Aku tidak ingin merebut kekasih orang lain, atau bahkan menikahi seorang wanita yang dihatinya masih memiliki ikatan dengan orang lain.”
”Tapi anakku. Setidaknya, kita juga harus mendengarkan terlebih dahulu keputusan dari Azkia. Jika dia sudah memutuskan, maka kita juga bisa mengambil kesimpulan. Kita harus tahu, apakah Azkia sudah melupakan Azzam dan dia yakin untuk menjalani kehidupan bersamamu atau tidak.”
Raka mengerti penjelasan Ibunya itu, tentu saja semua ibu ingin yang terbaik untuk anak mereka, apalagi itu adalah kebahagiaannya.
”Raka akan memastikan terlebih dahulu dan mendengarkan apa keputusan dari Azkia. Dengan begitu, akan menjadi adil ketika nanti Raka memutuskan sesuatu dan menimbangnya kembali.”
Rahmiza tersenyum, dia merasa puteranya itu telah banyak berubah. Kini, dia yakin bahwa Raka memang benar-benar sudah bijak dalam menentukan setiap pilihannya. Apapun keputusan Raka nanti, dia akan mendukung dan mempercayainya.
”Benar Anakku, jika sudah ada keputusan dari Azkia, kamu dapat menimbang dengan baik dan Ibumu ini akan percaya pada keputusanmu dan akan terus mendukungmu.”
”Terimakasih Ibu, kalau begitu aku akan coba menghubungi Azkia sekarang juga.”
Raka mengambil hanphone-nya, mencari nomor telepon Azkia dan Ibunya mendengarkan di sampingnya.
Azkia tak bisa nyenyak tidur beberapa hari ini, masalah pelik sedang dihadapinya. Dihadapkan pada cinta pertamanya dan juga kegagalan pernikahan dengan lelaki yang sudah dapat mulai dicintainya karena melupakan Azzam. Untuk memilih, dia benar-benar masih bimbang, shalat istikharah pun belum bisa membuat hatinya tenang hingga sekarang.
Beberapa bulan sebelum persiapan pernikahan dengan Raka, Azkia benar-benar sudah bisa melupakan wajah Azzam. Namun, di hari pernikahan kemarin, dia benar-benar ragu dan gelisah kembali hatinya. Wajah yang sudah mulai dilupakannya tiba-tiba muncul, kenangan bersama Azzam sejak di pesantren bersama pun muncul kembali dan membayangi pikirannya.
Hatinya benar-benar gelisah.
Kedua orangtuanya juga sudah menyerahkan keputusan padanya, Azkia sudah besar sekarang tentu bisa menimbang apa yang terbaik untuk dijalaninya. Orangtuanya akan selalu mendukung apapun keputusannya.
Azkia memejamkan matanya sejenak, mencari ketenangan. Belum sempat membuka kembali matanya, handphonenya berdering.
Raka!
Azkia agak gugup mengangkat telepon itu, pasti yang akan ditanyakan Raka adalah keputusannya. Azkia pun memberanikan diri mengangkatnya, semua masalah untuk dihadapi dan bukan untuk dijauhi.
”Assalamu’alaikum...”
Suara jawaban salam terdengar dari seberang sana.
”Azkia sehat?” Raka membuka obrolannya.
”Sehat, alhamdulillah. Ibu sehat Mas?” Azkia mencoba mencairkan suasana.
Sedikit basa-basi, biasa.
”Azkia..., apakah sudah kau putuskan soal hubungan kita dan juga... Azzam?” Raka merasa tak perlu canggung lagi. Dia harus mendapakan kejelasan soal keputusan yang akan diambil Azkia.
Sebenarnya, pertanyaan inilah yang juga ditunggu oleh Azkia dan bingung hendak menjawab apa.
”Maaf mas Raka, sebenarnya... sebenarnya... saya belum bisa memutuskan persoalan itu sehingga maaf saya belum bisa memberi keputusan itu kemarin,” bibir Azkia sedikit bergetar, entah apa yang dibayangkan Azkia mendengar responnya itu, tentu saja bicara dengan telepon jauh berbeda dengan bertemu empat mata.
”Hmm...,” suara Raka sedikit menggumam, ”Jadi begitu ya Azkia, saya paham dengan perasaan bimbangmu. Bagaimana tidak, jika aku dalam posisi dirimu, aku mungkin juga akan bimbang. Tapi, saya tak bisa menunggu Azkia dalam kebimbangan.”
Suara Raka terdiam sejenak, sepertinya ada sesuatu yang sudah akan diputuskannya.
”Maksud mas Raka bagaimana? Saya agak bingung.”
”Begini Azkia,” Raka mengucap bismillah lirih, ”Jika memang Azkia masih memiliki perasaan dengan Azzam, dan masih belum bisa melupakannya. Saya, Raka Zulkarnaen menyatakan mundur dari proses khitbah yang sudah terjadi. Saya akan ikhlas jika Azkia memilih Azzam dan menikah dengannya,” Raka paham, cinta mereka sudah lama terjalin, dan dirinya baru satu bulanan berkenalan dengan Azkia.
”Tapi Mas Raka, sebenarnya saya benar-benar bingung dan belum menemukan keputusan soal ini. Bagaimana....”
”Tidak apa-apa Azkia,” Raka menghentikan kebimbangan Azkia, ”Saya ikhlas, Azkia tak bisa menikahi seseorang sedangkan di hatinya masih mengingat lelaki lain. Untuk itu, saya mundur dan saya akan sepenuhnya mendoakan yang terbaik untuk Azkia. Sampaikan maaf kami kepada keluarga besar Azkia, semoga silaturahim kita tetap berjalan dengan baik.”
Hening. Azkia pun terdiam.
Keduanya dalam keheningan menyadari, bahwa skenario terbaik urusan manusia adalah di tangan Allah swt.
Entah apa yang akan dilakukan Azkia selanjutnya yang jelas dia merasa lega dengan pelepasan Raka soal pernikahan mereka. Artinya, Azkia bisa memikirkan untuk masa depannya lewat waktu yang diberikan.
Azkia sendiri merasa bingung, di satu sisi tidak enak dengan Raka dan di satu sisi tiba – tiba lelaki yang dicintai hidup dan mati tiba – tiba kembali.
Raka menutup pembicaraan itu, menyampaikan salam pada keluarga Azkia. Telepon di tutup, Rahmiza berdiri melihat puteranya yang duduk sambil mematikan telepon itu.
Mata mereka beradu, dan dari sorot mata itu mereka mencoba saling menguatkan. Ibu dan anak itu ibarat satu darah, apa yang disorot oleh mata tentu langsung dipahami apa maksudnya.
Rahmiza pun tak berani berkata dalam, dalam diamnya dia memahami bagaiman Raka dan bagaiman kedewasaannya. Kini, semua tergantung pada Raka, Rahmiza sudah sangat percaya penuh pada anaknya tersebut.

Komentar Buku (50)

  • avatar
    Agus Wibowo

    nice story

    24/06

      0
  • avatar
    UdinBurhan

    mana nih kelanjutannya?

    23/05

      0
  • avatar
    Aipupun Punikawati

    bismillah mudh" dapet banyak aamiin ya rabbal alamiin

    20/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru