logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Antara Hati dan Sahabat

Honda Jazz itu belum meninggalkan parkiran kampus. Siapa pun yang berada di dekatnya akan tahu seseorang sedang menangis di dalam sana. Rayya masih tergugu, bahunya tampak berguncang dan tangannya tanpa henti menarik tisu didepannya. Ia masih tidak percaya Lisa tega mempermainkan hatinya.
Pintu mobilnya diketuk dari luar. Rayya membuka kuncinya agar Dian bisa masuk. Ia menghambur ke dalam pelukan Dian, menumpahkan sesaknya di sana.
“Aku gak nyangka, Di. Tega banget Lisa sama aku,” adunya pada Dian.
“Sabar, Ayy, kita belum tau alasan Lisa melakukan ini,” hibur Dian mengusap punggung sahabatnya.
Rayya melepas pelukannya, “Kamu belain Lisa?” tanyanya seolah Lisa tak pantas dibela. Dua lembar tisu ditarik lagi dari wadahnya untuk mengelap ingus yang meleleh, Dian bergidik jijik.
“Aish, bukan gitu, Ayy, kita kan belum tahu alasan dia nyembunyiin hal sebesar ini. Kamu lupa ya siapa Lisa? Dia bukan tipe orang yang menjalin hubungan dengan sembarang lelaki.”
“Faisal bukan sembarang lelaki, Di.” Rayya semakin tergugu.
‘Yah, salah ngomong lagi deh,' batin Dian.
“Faisal lelaki pilihan abahnya, hubungan mereka lebih dari sekedar ustadz dan santri. Apalagi Faisal sering mampir ke rumah Lisa, gimana mungkin Lisa ngaku gak kenal?”
Dian menyadari sesuatu, “Tunggu, jadi kamu tadi ketemu Faisal?” tanyanya yang dibalas anggukan. “Itu juga alasan kamu telat masuk tadi?” Rayya lagi-lagi mengangguk.
“Aku mau ngomong ke dia soal rencana Papa, tapi, belum sempat bicara aku sudah patah hati duluan.” Isakan Rayya masih terdengar meski tak sekeras tadi.
Dian menggenggam tangan kiri Rayya, “Sudahlah, Ayy. Mungkin memang Faisal bukan buat kamu.”
“Siapa lagi yang aku harapkan selain Faisal?” Dian diam sejenak.
“Jodoh itu rahasia Allah, Ayy. Bisa jadi kamu dapat yang lebih baik dari Faisal.”
“Sejak kapan kamu bijak begini?” kata Rayya sambil kembali mengusap matanya yang sembab.
“Aku memang bijak, Ayy. Cuma selalu ketutupan sama kegalakan kamu.” Dian terkekeh yang membuat Rayya malah melayangkan cubitan. Tapi setidaknya seulas senyum hadir di bibirnya.
“Gitu dong, jangan nangis terus ah. Mana Rayya yang gak bakal nangis karena cowok?” Dian terus mencoba membuat Rayya tersenyum.
“Aku bukan nangis karena cowok, Di. Tapi karena Lisa tega banget sama aku.”
“Udah lupain aja, aku sudah ngasih dia pelajaran,” kata Dian sambil mengibaskan tangannya.
“Kamu apakan dia?” tanya Rayya penasaran.
“Aku cuma buat dia membayar semua makanan di meja tadi, heheh.”
“Gila kamu, Di. Itu banyak loh kamu pesan tadi. Kamu tahu, kan Lisa jarang bawa uang lebih. Gimana kalo duitnya gak cukup?” Rayya tahu betul kebiasaan si Ratu Hemat itu.
“Itu gak seberapa, Ayy. Paling juga nanti dia pulang jalan kaki, kecil bagi dia mah,” kata Dian sambil menjentikkan jari tengahnya. Rayya hanya geleng kepala.
“Eh, aku duluan ya. Motor mau dipake Jum’atan.” Dian membuka pintu. “Kamu hati-hati nyetirnya. Jangan nangis lagi, ntar gak bisa liat jalan, trus nabrak, koit, bisa-bisa Faisal diambil beneran ama Lisa.” Mulutmu, Dian! Kejam!
“Eh, doamu jelek banget. Sana turun, hush...hush....” Rayya mendorong Dian hingga keluar.
“Becanda, Ayy. Udah, jangan nangis pokoknya! Senyum!” kata Dian dari balik pintu.
“Hem,” Rayya hanya berdehem.
“Senyum dulu! Aku mau liat.” Dian memaksa. Rayya menarik kedua sudut bibirnya hingga menampakkan deretan gigi putihnya.
“Itu baru bener,” Dian mengangkat jempolnya lalu menghilang ke parkiran motor.
Kembali Rayya berteman sepi. Menyandarkan kepalanya ke kursi dan memejamkan matanya sejenak. Merangkai kepingan kenangan kebersamaannya dengan Lisa, sahabat yang ditemuinya pertama kali saat ospek. Mencoba mencari letak kesalahannya hingga Lisa tega mempermainkannya.
Suara lantunan ayat suci menggema dari masjid kampus. Rayya memalingkan wajahnya ke arah masjid, ada Faisal sedang mengobrol dengan seseorang di teras. Rayya mendesah, lelaki idamannya kini semakin tak terjangkau.
Tak ada gunanya berlama-lama di sini, ia menyalakan mesin mobil dan meninggalkan parkiran. Ia memutar kemudi ke arah kanan, menemukan punggung seseorang yang dikenalinya, berjalan menembus gerimis. Lisa. Perkiraan Dian tidak meleset, Lisa kehabisan uang membayar semua makanan dan minuman di meja kantin tadi.
Rayya melewatinya begitu saja. Dari pantulan kaca spion dilihatnya Lisa berjalan menunduk, bahunya bergerak naik turun dan tangannya mengusap matanya yang berair. Gadis itu menangis.
Rayya menghentikan mobilnya, menunggu Lisa melewatinya. Namun, Lisa tak menyadari dan terus berjalan, mengabaikan mobil Rayya. Masih menunduk. Kembali Rayya menjalankan mobilnya pelan dan berhenti tepat di samping Lisa. Gadis itu berhenti, mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah pintu mobil. Jendela kaca bergerak turun menampakkan Rayya yang menatap lurus ke depan.
“Rayya,” bisiknya. Tapi ia bergeming. Menimbang, apakah Rayya memintanya masuk? Ia bahkan tak menoleh. Lalu suara samar terdengar dari arah pintu pertanda Rayya membuka kuncinya.
Dengan ragu Lisa meraih gagang pintu dan membukanya. Ia masuk dan duduk di samping Rayya yang masih menatap ke depan. “Terima kasih,” katanya lirih. Rayya masih tak menoleh. Perlahan mobil bergerak.
Kebisuan sejenak melingkupi mereka. Rayya sama sekali tak memalingkan tatapannya. Pun tak mengucap sepatah kata, hanya tangan kirinya yang menggeser kotak tisu agar lebih dekat dengan Lisa.
“Aku minta maaf, Ayy, aku benar-benar minta maaf,” Lisa memecah kesunyian, meminta maaf disela tangisnya. Dihapusnya lagi air matanya yang menganak sungai.
“Aku tidak mengenal Faisal secara pribadi meskipun ia sering ke rumah dan bertemu Abah. Tiap kali aku mengantarkan minum, Abah selalu menjemputnya dari balik tirai.” Rayya hanya menyimak, tatapannya masih lurus ke depan.
“Sampai liburan semester lalu, setelah Faisal pulang dari rumah, Abah memintaku menikah dengannya.” Kini pipi Rayya kembali basah setelah tadi mengering. Tidakkah itu pertanda dirinya kalah? Lisa punya segalanya. Satu-satunya kelebihan Rayya adalah harta, tapi Faisal bukan Ielaki yang memilih wanitanya karena harta.
“Tapi aku menolaknya.” Mobil berhenti melaju. Rayya akhirnya menatap Lisa.
“Aku menolaknya, Ayy. Aku tidak mau merusak persahabatan kita karena lelaki.” Lisa menatap mata Rayya. “Kau percaya padaku?” tanyanya kemudian.
“Apa kau mencintainya?” Pertanyaan Lisa dibalas pertanyaan oleh Rayya. Lisa diam sejenak.
“Aku menjaga hatiku untuk orang yang pantas, Ayy,” jawabnya kemudian.
“Bisa jadi itu Faisal,” kata Rayya skeptis.
“Aku sudah menolaknya, Ayy. Abah mungkin akan coba membujukku. Tapi aku janji akan mencari cara untuk menolak, aku janji!” kata Lisa mantap.
“Jangan menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan,” Rayya menatap Lisa sambil menggeleng.
“Ayy, aku....”
“Turunlah, Lis!” pinta Rayya. Ia bersandar di kursinya dan kembali menatap lurus ke depan.
“Ayy, apa kau membenciku?” Rayya diam.
“Ayy, aku nggak mau jadi rivalmu. Kita sudah sahabatan dua tahun. Kamu mau persahabatan kita putus karena laki-laki? Kita bahkan belum tau apa Faisal memilih salah satu dari kita.” Itu benar, tidak ada yang tahu isi hati Faisal. Abah Zaki pun belum meminta lelaki itu menjadi menantunya. Lalu apa yang mereka ributkan?
“Dia akan memilihmu, Lis.” Bersaing dengan Lisa membuat Rayya merasa insecure.
Kini bulir bening mengalir lebih banyak dari mata Lisa. “Apa yang harus aku lakukan, Ayy?”
“Kemarilah!” Rayya membuka kedua tangannya dan menerima Lisa dalam pelukannya.
“Jangan menyembunyikan apa pun lagi, kecuali jika itu aib.” Lisa mengangguk.
“lya, maafkan aku. Tidak semestinya aku merahasiakan ini. Kamu gak marah lagi, kan?” Lisa melepas pelukannya dan menatap Rayya.
“Satu lagi, jangan lagi menyebut nama Faisal di depanku!” Lisa kembali memeluk Rayya dengan erat, kepalanya mengangguk lemah.

Komentar Buku (67)

  • avatar
    NoepRoslin

    Ceritanya sungguh menarik..🥰🥰

    18/09/2023

      0
  • avatar
    LanchangVonica

    bagus

    06/03/2023

      0
  • avatar
    HandayaniSri

    bestt sekali

    05/03/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru