logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Kau Membohongiku?

Bocah berambut ikal itu setia menunggu di gerbang, matanya terus mengawasi jalan raya, menunggu sebuah sedan putih bercorak merah tiba. Matanya berbinar dan senyumnya mengembang ketika mobil yang ditunggu muncul dari ujung jalan.
Seorang gadis kecil dengan pita rambut berwarna ungu turun dari mobil. Gigi putihnya berderet rapi saat tersenyum ke arah si Bocah Ikal. Berlari dengan ceria membuat tas punggung boneka merah mudanya bergerak naik turun. Rok lipit merah hatinya melebar mengikuti langkah kakinya. Tangan kanannya langsung disambut oleh bocah lelaki yang menantinya dari tadi. Keduanya berjalan sambil bergandengan melintasi koridor sekolah. Sesekali tertawa bersama.
“Oi minggir... minggir ... Romeo dan Juliet mau lewat!” teriak seorang kakak kelas yang badannya jauh lebih tinggi dari kedua bocah yang digelari sebagai pasangan legendaris itu. Sekelompok murid yang berkumpul tertawa gaduh.
“Suit... suit...” timpal yang lainnya.
“Duh... romantisnya, hahaha.” Murid lelaki lainnya, dengan kacamata tebalnya ikut bersuara.
Rayya kecil hanya menatap galak, menggigit bibir bawahnya dan mengangkat tinjunya. Tidak paham apa yang membuat mereka selalu saja usil. Sementara Faisal kecil mengeratkan genggamannya dan menarik Rayya kecil untuk segera berlalu dari tempat itu. Tingkah lucu mereka jadi tontonan menarik kakak-kakak kelas yang usil.
Hingga mereka beranjak ke kelas yang lebih tinggi, keduanya semakin paham mengapa selalu menjadi bulan-bulanan murid-murid yang lebih tua. Mereka masih lengket, ke mana-mana selalu bersama, tapi tanpa bergandengan tangan, sebab pasti akan jadi bahan guyonan teman sekelas.
Kilasan demi kilasan peristiwa masa kecil mereka kini memenuhi pikiran Rayya. Kenangan manis yang ia sangka dapat terulang kembali pupus sudah. Tak kan ada genggaman tangan, tak kan ada bahu tempatnya bersandar.
Butuh beberapa menit hingga ia bisa meredam sesak di dadanya. Menyendiri di tepi kolam, memandangi ikan-ikan yang berenang tanpa beban. Lima kali panggilan tak terjawab dari Dian. Hingga ia bangkit dan berjalan lesu, bagai prajurit yang kalah di medan perang.
Gadis berlesung pipit itu terus melangkah, melawan perih di hatinya yang hampa. Hingga kini tiba di kantin. Kedua sahabatnya tampak asyik dengan piring gado-gado mereka. Ditariknya kursi lalu duduk. Matanya tak lepas dari Lisa yang memandangnya heran.
“Lama banget, Ayy, aku sampai kelaparan,” protes Dian yang diabaikan oleh Rayya. Ia tak perduli dengan makanan di atas meja.
“HP-mu kenapa, Lis?” tanya Rayya pada Lisa. Menahan gumpalan amarah dalam dadanya.
“Rusak, semalam gak sengaja kecebur. Kamu nelpon aku?” jawab Lisa sebelum memasukkan sesendok gado-gado ke dalam mulut. Rayya menggeleng.
“Kamu di suruh pulang hari ini, abahmu sakit.” Kalimat yang membuat Lisa berhenti sejenak dan menatapnya.
“lya, aku tahu. Linda sudah ngabarin sebelum HP-ku rusak. Eh, dari mana kamu tahu? Orang rumah belum punya nomor barumu.” Sendoknya kembali terisi.
“Dari Faisal.” Jawaban Rayya menghentikan aktivitas Lisa.
Urung mengangkat sendok berisi makanan dengan bumbu kacang itu, Lisa kini menatap Rayya yang juga menatapnya tajam. Jelas sekali, gadis di depannya sedang menahan sesuatu.
“Ayy, aku....” Bingung, bagaimana Lisa akan menjelaskan situasi ini? Mereka bersahabat sejak pertemuan pertama, tapi Rayya harus mengetahui sesuatu dengan cara yang tak ia mau.
“Kamu apa, hah? Tega kamu, Lis. Selama ini kamu seolah tidak mengenal Faisal. Teganya kamu bermain di belakangku. Sahabat macam apa kamu?”
Rayya menumpahkan rasa kecewanya tanpa jeda. Dian yang baru saja memasukkan kerupuk ke mulutnya berhenti mengunyah dan menatap bingung dua orang di depannya. Rayya mungkin galak, tapi tak pernah seberat itu nadanya. Suaranya serak.
“Bukan begitu, Ayy. Aku memang gak kenal dengan Faisal.” Kata Lisa membela diri. Percayakah Rayya?
“Jangan bohong kamu. Aku nggak nyangka ya. Kamu tau, kan gimana perasaan aku ke Faisal. Bisa-bisanya kamu menusukku dari belakang.”
Air mata itu kini tumpah. Di banding cintanya yang tak sampai, rasa kecewanya akan sikap Lisa jauh lebih menyakitkan. Ia merasa dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Janji mereka untuk saling terbuka nyatanya hanya sekadar janji.
“Ayy, dengerin aku dulu. Aku sama sekali gak berniat menusukmu dari belakang, Ayy.”
“Lalu apa? Jujur saja, Lis! Faisal orang yang kamu sebut pilihan abahmu, kan?” Lisa bergeming. Haruskah ia jujur?
“Jawab, Lisa!” Kini suara Rayya naik satu oktaf. Dian yang sadar situasi mencoba menenangkan Rayya dengan mengusap lengannya.
“Ayy, sabar. Pelankan suaramu. Malu diliat orang.” Kata Dian setengah berbisik. Ditatapnya orang sekitar yang sibuk dengan gawai atau mengobrol asyik.
“Suruh teman pengkhianatmu itu berkata jujur!” kata Rayya balik menatap Dian tajam.
Nasibmu, Dian. Situasi apa pun, selalu jadi korban kekesalan Rayya.
“Lis, benar apa kata Rayya?” tanya Dian pada Lisa yang hanya mematung. Tak tahu harus menjawab apa.
“Lisa!” Kini giliran Dian yang mendesak jawaban dari Lisa. Lisa mengangguk pasrah.
“Keterlaluan, jahat kamu, Lis!” Rayya menghakimi Lisa di sela isak tangisnya. Telunjuknya menuding wajah Lisa.
“Kamu tau, Lisa. Aku sudah menganggapmu saudaraku. Bodohnya aku menceritakan semua mimpiku padamu. Kamu mau tau rasanya? Sakit, sakit sekali, Lisa.” Kalimat terakhir Rayya sebelum berlari membawa dadanya yang sesak.
Gadis itu terus berlari menuju mobilnya tanpa peduli tatapan aneh orang di sekitarnya. Dikecewakan dua orang sekaligus sungguh menyisakan Iuka yang dalam. Dua sahabat yang ia sayangi, menyembunyikan sesuatu di belakangnya. Bagaimana ia tak terluka?
Lisa masih di kursinya. Air matanya tumpah. Akankah persahabatan mereka berakhir dengan hati yang patah?
“Aku tidak tahu harus memihak siapa, tapi kamu memang seharusnya tidak melakukan itu pada Rayya.” Dian memecah kesunyian di meja itu. “Aku kecewa sama kamu, Lis.” Dian meninggalkan Lisa yang sesenggukan di kursinya.
Tangis Lisa kini makin kencang, bahunya berguncang, tisu di hadapannya kian menipis. Sekarang bukan hanya Rayya yang meninggalkannya. Dian pun meninggalkannya dengan meja penuh makanan yang belum dibayar. Masih pula mendapati wajah pemilik kantin yang tak bersahabat.

Komentar Buku (67)

  • avatar
    NoepRoslin

    Ceritanya sungguh menarik..🥰🥰

    18/09/2023

      0
  • avatar
    LanchangVonica

    bagus

    06/03/2023

      0
  • avatar
    HandayaniSri

    bestt sekali

    05/03/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru