logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Ada yang Baper

Hari ini Rayya sedikit berbeda. Ia kemudikan mobilnya dengan bersemangat. Sukses memaksa Nadya pasang badan untuknya, ia memiliki secercah harapan untuk menolak keinginan papanya. Yang ia butuhkan hanyalah keberanian mengutarakan isi hatinya pada Faisal, pria yang tak lagi terjangkau olehnya. Duh, bagaimana caranya ya? Rayya tidak bisa menebak isi hati Faisal.
Sepanjang jalan Rayya mereka-reka apa yang akan ia katakan nanti pada Faisal. Haruskah ia utarakan perasaannya yang terpendam? Atau sekedar menjadikannya tameng sesaat? Bagaimana kalau ia menolak?
‘Ah sudahlah, coba saja dulu,' monolognya dalam hati. Ia memutar mobilnya memasuki area parkir. Sebuah mobil hitam menyalipnya membuat Rayya berhenti sejenak dan menunggu mobil tadi terparkir sempurna.
Butuh dua menit hingga pintu mobil hitam terbuka. Seorang gadis cantik dan seksi muncul dari kursi penumpang. Rayya tidak heran melihat Tiara keluar dari mobil yang berbeda dengan kemarin. Tiara terkenal selalu diantar atau dijemput oleh pria berbeda-beda. Berbagai gosip miring tentangnya beredar di kalangan mahasiswa. Entahlah, Rayya dan kedua sahabatnya tidak tahu kebenaran gosip-gosip itu. Mereka malas mengurusi hidup orang.
Mobil itu masih di sana, tidak ada tanda-tanda mobil itu akan pergi. Rayya tidak bisa menunggu. Lima menit lagi ujian berlangsung. Ia memarkir mobilnya dengan pelan di samping mobil tadi, toh mobil itu masih bisa keluar.
Rayya menutup pintu mobil setelah ia turun. Tiba-tiba ia merasakan tubuhnya tertarik. Johan, lelaki yang dipuji-puji papanya menarik tangan kirinya.
“Halo, Cantik,” katanya dengan seringai yang paling dibenci Rayya. Diapit di antara dua mobil membuatnya sulit bergerak.
“Lepaskan! Beraninya kau menyentuhku.” Rayya berkata dengan marah. Ia memukul wajah Johan dengan kunci mobil di tangan kanannya. Sial, serangannya hanya membuat lelaki itu mencengkram tangannya lebih kuat.
“Kau perempuan paling angkuh yang pernah kutemui. Aku akan meruntuhkan keangkuhanmu di malam pertama kita. Tunggulah, Sayang.” Wajah liciknya membuat Rayya muak.
“Bermimpilah! Sampai kapan pun aku tidak sudi menikahi laki-laki sepertimu.” Rayya terus berontak. Johan mencengkram tangannya dengan kuat.
Bugh!
Johan mengaduh dan terhuyung ke samping hingga membuat tangan Rayya terlepas, tepat ketika bogem mentah mendarat ke wajahnya.
“Faisal.”
Rayya terkejut sekaligus senang dengan kemunculan Faisal. Lelaki itu menatap tajam ke arah Johan yang masih terkejut karena serangan yang tiba-tiba.
“Kau tidak tahu sopan santun pada wanita, hah?” tanyanya dengan telunjuk mengacung ke arah Johan. Tubuhnya kini menutupi tubuh Rayya, persis saat mereka kecil dulu, melindungi Rayya yang mungil dari keusilan kakak kelas.
“Ayo!” Faisal memutar tubuhnya, tak ingin membuang waktu dengan Johan. Ia menarik tali tas Rayya membuat gadis itu mengekorinya.
Tindakan Faisal membuat wajah Rayya bersemu. Pikirannya melanglang buana. Berjalan sedekat itu dengan Faisal sungguh ujian yang berat. Susah payah ia menetralkan detak jantungnya yang berdetak layaknya pacuan kuda. Faisal hanya menarik tali tas salempangnya, tapi bagi Rayya rasanya seperti pria itu menarik tangannya. Ia tak lagi memperhatikan langkahnya, pasrah mengikuti tarikan Faisal.
Pikirannya semakin kacau. Ingatannya kembali ke masa lalu, masa ketika Faisal menarik tangannya karena tidak sabar menunggunya yang berjalan seperti siput. Masa ketika mereka bermain kejar-kejaran di taman sekolah, dengan dua anak kecil tertawa-tawa mengikuti dan menangkap mereka.
Eh sebentar, ada yang salah. Rayya bukan mengenang masa lalu, tapi membayangkan masa depan yang tak pasti. Hentikan Rayya! Pikiranmu kejauhan.
“Aduh."
Faisal mendengar suara Rayya, bersamaan dengan terlepasnya tali tas dari tangannya.
“Kamu nggak papa, Ayy?” tanya Faisal pada Rayya yang mengusap dahinya. Rayya melirik plang penanda gedung. Tersangka utama yang membuat jidatnya membiru dan membuyarkan lamunan manisnya yang beracun. “Maaf, aku pikir kamu liat plangnya tadi. Kamu ngelamun ya?” Faisal bertanya, tanpa ampun menangkap basah Rayya yang salah tingkah.
“Nggak, aku cuma nggak fokus.” Bohong. Gengsi dong ketahuan melamun. “Makasih sudah menolongku tadi,” katanya kemudian, berusaha menyembunyikan rasa gugup.
“Jangan dipikirkan. Aku sudah bilang akan selalu membantumu.” Kata Faisal yang selalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
Jangan dipikirkan, katanya? Bagaimana mungkin? Faisal ingat janji masa kecilnya. Bagi seorang gadis yang menaruh harap, Rayya jelas menganggap ini sebuah isyarat.
“Faisal, aku....” Rayya menggantung kalimatnya. Bingung harus memulai dari mana. “Aku... ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Baiklah, sudah kepalang tanggung. Lagipula Faisal tampaknya sudah memberi sinyal. Setidaknya begitulah yang Rayya pahami.
Seseorang menyenggol bahu Faisal membuatnya tersentak, “Woi, ngapain ngobrol di sini? Ujian, oi!” Seketika Rayya dan Faisal tersadar, mereka sudah telat.
“Ayy, ngobrolnya nanti aja ya. Ntar aku kabarin.” Faisal bergegas meninggalkan Rayya yang mematung. Ah, ia salah memilih waktu.
“Kalian pacaran?” Sayup-sayup Rayya mendengar pria itu bertanya pada Faisal.
“Jangan ngaco. Pacaran itu dosa.” Kata Faisal sambil memukul bahu temannya.
‘Iya, pacaran itu dosa. Maunya nikah aja,' batin Rayya sambil mesem-mesem. Otakmu, Ayy. Perlu dibenerin.
Sadar semakin telat, Rayya bergegas dan masuk ruangan kelas pertama. Seorang perempuan berbaju biru muda tampak serius mengawasi peserta ujian.
“Assalamualaikum, maaf telat Bu. Boleh saya ikut ujia?" tanyanya lalu berjalan mendekati Ibu Pengawas. Wanita itu menatapnya sejenak lalu menyerahkan dua lembar kertas.
“Terima kasih."
Rayya menerima kertas ujian dan segera berbalik bermaksud mencari posisi duduk. Langkahnya langsung terhenti saat menyadari wajah-wajah di depannya sedang menahan tawa.
Rayya tersenyum canggung dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Hehe salah kamar,” katanya menyadari kesalahannya. Segera ia berbalik dan mengembalikan kertas pada Ibu Pengawas yang tersenyum jahil. Rayya ke Iuar ruangan diiringi tawa yang meledak.
Rayya akhirnya bisa bergabung dengan teman-temannya di ruangan yang seharusnya. Ia mengabaikan wajah penasaran Lisa dan Dian dan berusaha konsentrasi pada kertas ujian. Tapi apa daya, wajah Faisal memecah konsentrasinya. Apalagi terbayang tentang janji temu mereka. Sesekali ia tersenyum seolah kertas ujian di tangannya adalah surat bersampul merah jambu.
“Astagfirullah, belum halal,” katanya tiba-tiba saat menyadari tingkah konyolnya. Tanpa sadar ia menggeleng-gelengkan kepalanya membuat teman-teman sekelasnya mengernyit heran. Salah seorang menempelkan telunjuknya di dahi dengan posisi miring sambil nyengir, dibalas pelototan oleh Rayya.
Ponselnya berdenting tanda pesan masuk. Dari Faisal. “Aku tunggu di taman samping masjid.” Rayya tersenyum girang. Ada yang berbunga tapi bukan taman.

Komentar Buku (67)

  • avatar
    NoepRoslin

    Ceritanya sungguh menarik..🥰🥰

    18/09/2023

      0
  • avatar
    LanchangVonica

    bagus

    06/03/2023

      0
  • avatar
    HandayaniSri

    bestt sekali

    05/03/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru