logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Sungguh Terlalu

"Hu–hutang?" Terbata-bata aku mengucap satu kata itu.
"Iya, hutang! Sudah seminggu ini Yoga selalu janji-janji untuk membayar!" Pria botak itu berkata dengan nada kesal.
"Bisa tolong panggilkan si Yoga? Kami mau bertemu langsung dengannya!" Kali ini pria berjaket bicara.
Aku yakin Mas Yoga ada di dalam, tapi terlalu takut untuk keluar. Hutang apa pula yang ia punya kepada kedua pria ini?
"Mas! Buka pintunya! Ini Diah!" teriakku sambil memutar-mutar handel pintu. Tak ada jawaban dari dalam. Apa dia pura-pura tidur?
"Mas, buka pintunya! Kalau tidak, Diah dobrak saja!" ancamku. Suara derap langkah samar terdengar dari dalam.
Ceklek.
Pintu terbuka. Wajah Mas Yoga menyembul dari dalam.
"E–eh, Di. Sudah lama?" tanyanya basa basi. Aku tak menjawab pertanyaannya itu.
"Nah, ini dia orangnya. Bapak-bapak, silahkan tagih hutangnya. Saya mau masuk dulu!" ujarku kepada kedua pria yang sejak tadi menunggu. Mata Mas Yoga melebar.
"Heh, Yoga! Kamu mau bayar hutang tidak, hah? Sudah seminggu kamu cuma janji-janji terus!" Melotot mata pria berkepala plontos. Aku memperhatikan dari dalam. Bagaimana pun juga, aku harus tahu hutang apa yang dimiliki suami pengangguranku itu.
"Ma–maaf, Kang! Saya belum ada uangnya! Kalau ada sudah pasti saya bayar, nanti malah saya tambahin uangnya. Saya kan, sudah janji!" Suamiku terdengar sangat takut. Nyalinya seakan menciut. Padahal biasanya, kalau denganku Mas Yoga sangat ketus. Dasar.
"Halah! Kamu kalau menang judi sesumbar. Merasa sok hebat. Ngatain kami beg* segala macem. Pas kalah, tidak bisa membayar! Masa cuma tiga ratus ribu saja tidak ada uang! Cepat bayar sekarang!" Si Bapak berkacak pinggang. Kumisnya yang melengkung sampai bergoyang-goyang. Aku seketika teringat Pak Raden. Ingin tertawa, tapi takut dosa.
Namun, mendengar apa yang diucapkannya, aku langsung mendekati.
"Apa, judi?! Mas, main judi?" Aku benar-benar tersulut emosi. Mas Yoga terdiam, tak mau memandangku sama sekali. Jelas-jelas dia merasa terpojok sekarang.
"Iya, Mbak. Minggu lalu dia taruhan dengan kami, tapi tidak membawa uang. Biasanya dia memang selalu menang, walaupun tidak bawa uang, ya gak apa-apa. Hanya saja, minggu lalu dia kalah!" Wajah Mas Yoga yang memucat ditunjuk-tunjuk. Aku merasa sedikit kasihan, tapi langsung kutepis perasaan itu.
Bergetar dadaku mendengar penjelasan kedua orang pria itu. Mas Yoga benar-benar sudah keterlaluan.
"Keterlaluan kamu, Mas! Sudah berapa sering kamu main judi, Mas? Jawab yang jujur!" tanyaku sambil menatap tajam ke arahnya. Tangan Mas Yoga menggaruk-garuk kepala, seperti orang kutuan.
"Ba–baru du–dua kali, Di!" jawab Mas Yoga tergagap.
" Wahhhh, bohong, Mbak! Bohong! Sudah sering dia main dengan kami! Jangan percaya! Minggu kemarin saja sudah dua kali. Belum lagi minggu kemarin-kemarinnya lagi!" ujar bapak berkepala licin berapi-api sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya Allah, Mas!" jeritku sambil memegang kepala yang rasanya pening seketika. Sungguh tak habis pikir, kenapa Mas Yoga melakukan permainan haram itu.
"Pokoknya, sekarang kami mau uang kami! Tiga ratus ribu! Bayar sekarang juga, Yoga!" Pria berjaket mulai tak sabaran.
"Di ... tolong, Di! Bayarin dulu, Mas kan, gak ada uang .... Tolongin suamimu ini, Di." Mas Yoga memelas sambil memegang tanganku. Suaranya dibuat selembut mungkin.
"Tak sudi Diah, Mas! Lagi pula Diah gak ada uang! Dari mana bisa dapat tiga ratus ribu saat ini juga?" Aku berbohong. Takkan aku keluarkan sepeser pun untuk membayar hutang judinya.
"Terus gimana, dong? Kamu mau kami hajar saja, Yoga? Mau, hah?" Pria botak menarik kerah baju suamiku. Mas Yoga berusaha melepaskan diri melihat tinju yang mengepal di depan wajahnya. Pasti sakit sekali jika terkena bogem bapak itu, karena jarinya penuh dengan cincin batu akik.
Kepalaku berdenyut-denyut. Bisa berabe juga kalau mereka sampai baku hantam.
"Sudah, sudah, Pak! Begini saj, silakan ambil barang apa yang bisa dijual di rumah saya ini. Itu ada TV, bawa saja! Silakan bapak-bapak jual!" perintahku. Biar Mas Yoga tidak keterusan, ia harus diberi pelajaran. Kalau aku lembek dan menuruti maunya terus, pasti akan tuman.
"A–apa, TV? Jangan, Di! Nanti Mas mau nonton apa di rumah? Kan bosan, kalau gak ada hiburan!" Mas Yoga malah merengek. Memuakkan sekali. Baguslah kalau dia bosan. Siapa tau bisa terinspirasi untuk cari kerjaan.
"Mas gak mau bayar hutang? Kalau begitu, hajar saja suami saya ini, Pak!" Aku pura-pura untuk menggertak.
"Di! Tega kamu!"
Kedua pria itu mulai maju lagi mendekati Mas Yoga.
"Ya sudah! Bawa saja! Bawa TV itu! Argh!" teriak Mas Yoga. Nyalinya benar-benar menciut.
"Oke, Mbak. TVnya kami bawa, meskipun sudah butut. Paling juga harganya cuma berapa! Suaminya dijaga Mbak. Kalau gak punya modal, gak usah sok-sok an main taruhan!" Mereka menggotong TV itu keluar, lalu menaruhnya di atas motor. Tak lama, mereka meninggalkan pekarangan kami.
"Jangan datang lagi ke sini kalian! Awas ya!" teriak Mas Yoga setelah kedua pria bertampang preman itu pergi. Baru berani dia. Padahal tadi sudah seperti kerupuk melempem.
🌷
Aku duduk di ruang tengah yang sekarang terasa lebih kosong, karena TV sudah diangkut oleh mereka. Di rumah ini benar-benar sudah tak ada lagi barang berharga. Jangankan perabotan mahal, mesin cuci dan kulkas pun aku tak terbeli. Dulu, Mas Yoga selalu bilang kalau barang-barang itu belum terlalu penting untuk dimiliki. Aku hanya menurut. Tanganku terlipat di dada sambil menatap Mas Yoga tajam.
"Jadi, itu hobimu di luaran sana, Mas? Berjudi?" ucapku penuh penekanan. Lelaki yang kuajak bicara, masih acuh tak acuh. Tingkahnya seperti tak bersalah.
"Sudahlah, Di. Tak usah ngajak berdebat. Lagi pula, Mas sudah tidak melakukannya lagi!" Mas Yoga berkilah.
"Mas berhenti karena tak punya uang, dan tidak bisa membayar! Dasar memalukan! Mas tau kan, kalau berjudi itu haram? Uangnya Mas pakai untuk apa, hah?" Aku memberondongnya dengan pertanyaan.
"Ya untuk beli rokok, beli pulsa, makan di luar! Kamu kan, gak pernah kasih Mas uang lebih! Coba kalau kamu kasih, Mas gak akan sampai berjudi!" timpalnya panjang lebar. Alasan macam apa itu. Apa aku tidak salah dengar?
Aku mengelus dada, mencoba menyabarkan diri.
"Mas sadar, dengan yang baru saja Mas ucapkan? Seolah-olah, menafkahi Mas adalah tanggung jawabku! Ingat Mas, kamu seorang lelaki, seorang kepala keluarga, seorang imam! Kenapa Mas sampai tersesat begini? Dan lagi, makan uang dari hasil berjudi, apa Mas sudah tidak takut azab?" Suaraku bergetar menahan emosi.
Kutarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
"Diah sudah berulang kali mengingatkan untuk cari kerja! Mas malah berjudi dan malas-malasan! Mau dibawa ke mana rumah tangga kita ini, Mas?" cecarku tanpa ampun.
"Sabarlah sedikit! Mas akan kerja lagi secepatnya! Tak usah terus mendesak. Jangan jadi istri durhaka yang terlalu perhitungan! Anggap saja ini ujian dari Tuhan untuk kita!" Matanya mendelik berucap seperti itu.
Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa. Ucapannya terdengar seperti kata mutiara. Ujian, katanya?
"Ujian, Mas? Iya, iya, benar, ujian. Tuhan memang benar-benar sedang menguji kesabaran Diah saat ini. Bertobatlah, Mas! Cepatlah sadar!" Aku menghentakkan kaki dan berlalu ke kamar.
Kuambil tas di atas lemari. Beberapa lembar baju kutarik lalu masukkan ke dalam tas dengan sembarangan. Lebih baik aku menginap saja si rumah Mas Azka malam ini. Kalau di sini terus dan melihat wajah Mas Yoga, rasanya aku akan terus-terusan emosi. Salah-salah, aku bisa khilaf. Jangan sampai.
"Sedang apa kamu?" tanya Mas Yoga yang berdiri di pintu kamar.
"Diah mau menginap di rumah Mas Azka malam ini!" jawabku ketus.
"Menginap? Kenapa? Kamu masih marah sama Mas? Gak usah lebay, Di! Masa cuma begitu saja, kamu mau langsung pergi?" Enteng sekali ia berbicara. Masih belum sadar juga salahnya di mana.
"Lebay? Iya, memang Diah lebay!" Kuterobos badannya yang menghalangi jalan.
"Di, jangan begini. Mas minta maaf! Beneran, Mas gak akan berjudi lagi!" bujuknya.
"Bukan masalah judi saja, Mas! Sekarang saatnya Mas introspeksi diri! Coba ingat-ingat, apa saja kesalahan Mas. Diah mau menginap, tak tahu kapan pulang!" Aku bersiap naik ke motor.
"Di, jangan begitu! Nanti Mas makan apa? Mas gak ada uang! Rokok juga sudah habis, Di." Wajah Mas Yoga terlihat cemas. Hanya perut saja yang dia pikirkan!
"Di dalam kaleng dekat meja TV, ada uang recehan! Kalau mas masih mau makan, besok cari kerja! Kalau tidak, terserah. Diah pergi dulu. Assalamu'alaikum!" Aku menstarter motor.
"Di, tunggu Di! Jangan begitu! Diiii!" Tak kugubris lagi teriakan Mas Yoga. Ya Allah, sabarkan aku!
🌷
Sebelum ke tempat Mas Azka, kusempatkan untuk menjenguk Cici. Tak lupa kubeli beberapa cemilan dan beras untuk mereka. Walau bagaimanapun masalahku dengan Mas Yoga, aku masih berhubungan baik dengan ipar dan mertua.
Rumah papan milik Bapak yang mereka tempati, tampak semakin reot. Beberapa papan yang menjadi dinding, sudah mulai lapuk. Atap seng yang sudah menghitam karena karat, terlihat bolong kecil di sana sini. Tak terbayangkan bagaimana kondisinya jika hujan deras.
Kulihat Utari sedang memetik daun ubi di pekarangan. Melihat kedatanganku, wajahnya langsung semringah.
"Assalamu'alaikum, Ri!" ucapku.
"Mbak Diah! Wa'alaikumsalam. Masuk, Mbak!" ajaknya sambil membuka pintu.
"Bapak sama Cici, mana?" Kuedarkan pandangan ke dalam rumah. Lantai tanah yang ditutupi karpet rombeng itu, tampak bersih tersapu. Utari memang rajin.
"Bapak tadi ikut tetangga mancing. Kalau Cici lagi tidur, Mbak!" Utari menggelar tikar di lantai. Di rumah ini bahkan tak ada kursi kayu sekali pun.
"Cici masih demam?" tanyaku. Kalau masih, akan kubawa berobat ke bidan.
"Ahamdulillah, Cici sudah gak demam kok, Mbak," jawabnya.
"Ohh, sukurlah kalau begitu. Ini Ri, ada oleh-oleh sedikit." Aku menyerahkan kantong plastik hitam besar kepadanya.
"Wah, apa ini Mbak? Kok banyak sekali?" Mata Utari melebar saat membuka kantong itu.
"Camilan untuk Cici, sama ada beras sedikit." Aku tersenyum.
"Ya Allah, terima kasih, Mbak! Maaf Mbak, Tari gak punya gula dan teh. Mbak mau minum?" tawarnya.
"Gak usah, Mbak gak lama kok. Mau ke tempat Mas Azka," jawabku cepat.
"Ooh, iya Mbak. Anu ... Mas Yoga gimana kabarnya, Mbak? Tari gak berani main ke tempat Mbak Diah, soalnya Mas Yoga sering marah-marah." Utari tertunduk.
Aku mendesah. "Ya begitulah, Ri. Dia masih betah menjadi pengangguran. Malah sekarang suka main judi."
"Main judi? Ya Allah. Yang sabar ya, Mbak Diah!"
Aku mengangguk. Tak kuceritakan semua permasalahan rumah tangga kami. Biarlah menjadi rahasia saja.
"Oh ya, suamimu apa sudah ada kabarnya?" Aku tiba-tiba teringat Parman, suami Utari.
Utari terdiam sesaat sebelum menjawab.
"Ada, Mbak ... tapi, kabarnya dia di sana ...." Ia tampak tak mampu melanjutkan kata-kata. Matanya tampak berkaca-kaca.
"Kabarnya apa, Ri?" Aku penasaran.
Tiba-tiba, tangisnya pecah.
🌷🌷🌷

Komentar Buku (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru