logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Tak Tahu Malu

Mas Yoga tampak sangat salah tingkah. Aku masih menatapnya tajam. Tak tahan, langsung saja kutanyakan padanya.
"Ada apa dengan kamar kita, Mas? Kok berantakan sekali? Bukannya tadi pagi Diah baru berberes. Sprei juga baru diganti?" tanyaku bertubi-tubi.
Mas Yoga semakin terlihat gelisah. Ia melangkah masuk ke kamar. Tangannya dengan cekatan merapikan sprei dan selimut. Bantal yang tadi terjatuh, sekarang sudah berada di tempat semestinya. Seumur pernikahan dengannya, baru kali ini kulihat ia merapikan ranjang kami.
"Mas, kok gak jawab?" desakku.
"Eh, tadi ... Mas tidur, mimpi buruk. Gak sadar, kasurnya jadi berantakan. Nah, sekarang sudah rapi!" jawabnya sambil menepuk-nepuk kasur tipis itu.
"Lah, tadi katanya olahraga. Sekarang tidur? Mana yang benar sih, Mas?" Aku meletakkan tas, lantas mengambil handuk.
"Ya, sebelum olahraga tidur dulu. Sudah lah! Gak usah diperpanjang. Kasurnya juga sudah rapi! Cerewet kamu!" ketus Mas Yoga sambil berlalu keluar. Aku mengekor di belakangnya menuju ke kamar mandi.
Lima belas menit kemudian, kutemui Mas Yoga terduduk di kursi rotan sambil menyantap sesuatu.
"Mmm, ini kue cokelatnya enak! Mas suka, kamu beli di mana?" Mulutnya sampai penuh dengan potongan brownies. Aku meneguk ludah. Potongan kue dengan berbagai topping itu sungguh menggugah selera.
Tentu saja enak, brownies yang tadi diberikan Bu Widya asalnya dari toko roti terkenal. Tertulis jelas merk Sarah Bakery di kotaknya itu.
"Itu dikasih sama omanya Angel. Mas jangan habiskan, dong! Diah juga mau!" Kurebut kotak itu dari pangkuannya. Isinya sudah habis setengah lebih. Entah suamiku itu rakus atau lapar.
"Heh, jangan pelit! Kamu gak beliin Mas sate, kan? Gantinya ya, kue ini! Nanti Mas sisakan kamu 3 potong!" Tangannya cekatan merebut kembali kotak yang sudah kupegang, lalu memasukkan lagi sepotong brownies ke mulutnya.
Aku beristighfar. Rakus, pemalas, dan kasar. Begitulah gambaran dari suamiku sekarang. Ya Tuhan, apakah aku benar-benar salah memilih jodoh?
*🌷*
Esoknya, aku baru saja akan menyapu halaman, saat Bu Ipah, pemilik kontrakan datang.
"Met pagi, Mbak Diah!" ujarnya sambil sambil masuk ke halaman.
"Eh, Bu Ipah. Met pagi. Ada apa ya Bu, masih pagi sudah ke sini?" tanyaku sedikit heran.
"Hmm, gini Mbak Diah. Kan hari Senin kontrakannya jatuh tempo, ya! Tapi, Mbak Diah bisa gak bayarnya hari Sabtu atau Minggu? Soalnya saya mau bayar arisan!" ujar Bu Ipah tanpa beban.
Aku mendesah.
"Sebenarnya saya belum tau kapan gajiannya, Bu! Tapi, InsyaAllah saya usahakan. Kalau sudah gajian, langsung saya bayarkan ya Bu!" Aku mencoba memberi pengertian padanya.
"Oh, gitu ... Ya sudah, yang penting ingat! Kalau bisa sebelum hari Senin! Jangan lupa itu, apalagi kalau sampai telat. Saya usir kalian!" Ia berkacak pinggang.
"Iya, Bu. Tenang aja, saya janji gak akan telat bayarnya!" Aku menjawab optimis. Semoga saja hari ini atau besok sudah ada uangnya. Kalau sampai hari minggu belum gajian, aku terpaksa berhutang lagi pada Mas Azka, kakak kandungku yang tinggal di kelurahan sebelah.
"Ngomong-ngomong, suamimu mana? Sudah kerja lagi?" tanya Bu Ipah setengah berbisik.
"Belum, Bu. Masih menganggur. Memangnya kenapa?" tanyaku penasaran.
"Gak kenapa-napa sih, cuma penasaran aja. Soalnya akhir-akhir ini saya lihat tukang jamu yang namanya Lastri itu, sering mampir ke sini kalau siang. Saya pikir suamimu sudah kerja lagi, makanya minum jamu terus. Biar badannya kuat!" Penjelasan Bu Ipah sontak membuatku terkejut.
"Ah, yang bener, Bu? Kok saya gak pernah ketemu sama tukang jamu itu?" Aku benar-benar tak tahu apa-apa.
"Lah, ya wajar aja. Kan tukang jamunya datang pas Mbak Diah lagi pergi ngajar!" Mata Bu Ipah mengerling ke arah kontrakan, mungkin takut Mas Yoga mendengar.
"Ooh, gitu ya Bu! Pantesan saya gak tahu." Jantungku berdebar-debar tak karuan.
"Ya udah, saya pulang dulu kalau gitu. Jangan lupa uang kontrakannya ya!" Bu Ipah melenggang ke luar pagar.
"Iya, Bu! Tenang aja!" Aku tersenyum.
"Ohh ya, satu lagi. Hati-hati sama si Lastri itu. Soalnya saya dengar-dengar, dia jualan jamu tapi suka genit sama suami orang!" bisik Bu Ipah sebelum benar-benar pergi.
*🌷*
Aku masuk ke kamar dengan perasaan tak menentu. Sementara, Mas Yoga masih tertidur pulas, padahal sekarang sudah jam sembilan pagi. Jangankan untuk salat subuh berjamaah, kubangunkan saja susah sekali.
"Mas, Mas, bangun!" Aku mengguncang tubuhnya pelan.
Ia hanya menggeliat sebentar, lalu terlelap lagi. Benar-benar, lelaki satu ini. Alih-alih memikirkan untuk mencari kerja, bangun saja selalu kesiangan.
"Mas, bangun! Sudah siang!" Kali ini aku berteriak kencang di telinganya.
Badannya terlonjak, matanya langsung terbuka. Ia melotot ke arahku.
"Kamu apa-apaan, sih! Masih pagi begini sudah ribut!" hardiknya lantang.
"Masih pagi, katamu, Mas? Sekarang sudah jam sembilan! Ayam saya sudah mencakari tanah mencari cacing! Sampai kapan Mas mau seperti ini! Kok betah sekali jadi pengangguran!" Aku menjawab tak kalah lantang.
Lelaki yang bergelar imamku itu, lama-lama dibiarkan malah jadi tak tahu diri. Bukannya malu karena istrinya menjadi tulang punggung, ia malah keenakan.
Mas Yoga mendengkus kesal, lalu turun dari ranjang. Sambil terus menggerutu, ia lantas duduk di ruang tengah.
"Rokok Mas habis, kamu belikanlah dulu, Di! Terus, kopinya mana?" titahnya tanpa rasa berdosa sedikit pun. Aku mengelus dada.
"Uang Diah tinggal dua puluh lima ribu, Mas. Masih harus mengisi minyak motor lagi! Sampai kapan Mas mau begini, carilah pekerjaan! Malu, Mas!" Aku terus mencoba untuk menyadarkannya.
"Ck, sudah Mas bilang, tunggu panggilan dari pabrik itu lagi! Kamu itu gak sabaran banget!" jawabnya tak mau kalah.
"Mau nunggu sampai kapan, Mas? Nunggu yang tidak pasti. Coba lihat teman-teman Mas yang dulu juga dipecat, mereka juga sudah bekerja yang lain, Mas. Gak seperti Mas, yang cuma mengandalkan keringat istri!" sentakku.
Wajahnya berubah merah padam. Mungkin marah atau malu, aku tak peduli.
"Kamu, gak ikhlas selama ini?" desisnya, menatapku tajam.
"Diah ikhlas, tapi kalau begini caranya, Diah capek, Mas!" Aku terhenyak.
Lalu kami saling diam. Dada Mas Yoga kembang kempis. Dadaku pun rasanya sesak sekali.
"Tadi, Bu Ipah ke sini. Menagih uang kontrakan," ucapku lirih.
Mas Yoga masih acuh tak acuh. Tangannya berlipat di dada. Tak ada tanggapan sedikit pun darinya.
"Mas dengar, tidak? Atau telinganya sudah lama gak dibersihin?" sindirku.
"Ya terus, kenapa?" jawabnya ketus. Astaghfirullah.
"Ya terus, uangnya belum ada, Mas! Diah minta tolong carilah pekerjaan, tak usah pilih-pilih! Kemarin mas ditawari kerja panen sawit sama Juragan Halim, malah gak mau!" Aku mulai tersulut emosi.
"Pokoknya Mas mau tunggu panggilan kerja dari pabrik. Panen sawit itu kerjanya berat. Nanti badan Mas linu-linu. Sekarang anggap saja Mas sedang cuti! Titik!" sentaknya, sungguh tak masuk akal.
"Mana ada cuti sampai berbulan-bulan seperti ini, Mas? Kalau Diah tidak kerja, kita berdua sudah mati kelaparan!" balasku sengit.
"Sudah, diamlah Diah! Bikin sakit kepala saja! Sana, cepat siap-siap berangkat ngajar!" Tangannya ia kibas-kibaskan seperti mengusir ayam. Aku tak beranjak. Seenaknya saja ia menyuruhku pergi seperti itu.
"Dan lagi, kata Bu Ipah, Mas sering beli jamu? Uangnya dari mana?" Aku baru teringat perkataan Bu Ipah tadi.
Wajah Mas Yoga tiba-tiba menjadi pias. Ia langsung terdiam dan pura-pura melihat jendela. Apa-apaan dengan tingkahnya itu. Aneh.
"Mas! Mas punya uang, sering membeli jamu? Jawab mas!" selidikku.
"Hmm, ya gak ada uangnya! Mas ng–ngutang, kok. Nanti bayarnya kalau kamu gajian!" Ia berkata tanpa malu. Habis sudah rasanya kesabaranku. Rasa hormat yang dulu begitu besar, perlahan-lahan terkikis karena sikapnya.
"Tak tahu malu!" ujarku, lantas berlalu ke kamar mandi.
*🌷*
Hari sudah pukul sepuluh, aku segera bersiap-siap untuk ke rumah Angel. Dentingan piring terdengar dari dapur, sudah pasti Mas Yoga sedang makan. Hari ini aku hanya membeli sawi dan empat ekor ikan asin saja. Beras masih ada sedikit lagi, berjaga-jaga jika besok tak ada uang.
Dengan langkah gontai aku keluar kamar. Tak lupa kupastikan penampilanku sudah rapi, di depan cermin kecil yang tergantung di ruang tengah.
"Mas, Diah mau berangkat!" pamitku. Meskipun marah, aku selalu tak lupa berpamitan.
"Hmm, ya berangkatlah! Jangan lupa kalau sudah gajian, beli oleh-oleh!" kata Mas Yoga tanpa melihatku. Ia masih sibuk mengunyah dengan mulut penuh.
Baru saja aku akan menyalakan motor, ketika sesosok ringkih sampai di depan kontrakan kami sambil menuntun sepeda tua.
"Loh, Ayah?" Ayah mertuaku datang dengan napas tersengal. Keringat mengucur di pelipisnya yang mengkilap diterpa sinar matahari pagi.
"Asslamu'alaikum, Di!" ucapnya begitu masuk ke halaman.
"Wa'alaikumsalam, Yah!" Segera kusambut dan cium tangannya yang keriput.
"Ada apa, Yah? Mas Yoga ada di dalam! Mari masuk dulu, Yah! ajakku.
"Tidak usah, Di. Ayah gak bisa lama-lama!" Ia terlihat kesusahan berbicara. Sekali-kali ia mengipasi badannya dengan tangan.
"Ooh, ada apa, Yah?" tanyaku sedikit khawatir.
"Anu ... maaf, Di. Ayah mau minta beras, sedikit saja kalau ada? Sejak kemarin sore Ayah belum makan. Utari belum gajian dari tempat kerja cuci gosoknya. Cici juga rewel, sejak kemarin demam ...." Suaranya lirih dan bergetar.
Ya Allah! Mataku langsung berkaca-kaca.
🌷🌷🌷

Komentar Buku (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru