logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Tukar Tambah Suami

Tukar Tambah Suami

Axenna


Bab 1 Mencurigakan

"Diah pergi dulu, Mas. Assalamu'alaikum!" Aku berpamitan kepada Mas Yoga, suamiku, yang sedang merokok sambil menikmati kopi. Kakinya ia selonjorkan di atas meja kayu yang sudah sedikit lapuk dimakan usia.
"Ya, ya! Pergilah! Jangan lupa, pulang nanti Mas dibeliin sate, ya!" pesannya tanpa beban. Asap rokoknya memenuhi ruangan kontrakan sempit kami. Rokok sebungkus yang kubelikan kemarin sore, tampak tinggal setengahnya.
Aku menghela napas. Lagi-lagi ia memesan sesuatu, tanpa mau tahu aku memegang uang atau tidak. Hanya memikirkan perutnya saja. Padahal tadi pagi aku sudah memasak untuk sarapan dan makan siang, meskipun hanya dengan lauk dan sayur seadanya.
"Diah belum gajian, Mas. Kalau Mas ada uang, Diah pakai dulu," pintaku. Uang yang kupegang tinggal selembar berwarna biru. Itu pun aku masih harus membeli minyak motor dan memikirkan untuk makan besok.
"Ah, kamu tuh! Sama suami kok perhitungan. Awas saja nanti kalau Mas sudah dipanggil kerja lagi!" Mas Yoga bersungut-sungut.
Sudah lima bulan ini dia menjadi pengangguran. Pabrik sepatu tempatnya bekerja melakukan PHK besar-besaran terhadap setengah jumlah total karyawan. Sialnya lagi, mereka semua di-PHK tanpa uang pesangon sama sekali. Sejak saat itu, Mas Yoga hanya tinggal di rumah saja. Sedangkan aku, yang hanya seorang guru les private tetap terus bekerja.
"Diah bukan pelit, Mas! Memang sekarang belum waktunya gajian! Lagi pula tadi Diah sudah masak kok!" Aku sangat kesal dengan ucapannya. Seolah-olah aku adalah orang yang sangat pelit.
Sebagai seorang suami, harusnya dia merasa malu. Setelah berhenti bekerja, Mas Yoga tak pernah mencoba mencari pekerjaan pengganti. Dengan dalih menunggu panggilan lagi dari pabrik lama tempatnya bekerja dulu. Entah sampai kapan ia akan seperti ini. Hari-harinya ia habiskan di rumah dengan bersantai. Sekali-kali bermain kartu bersama teman-temannya di pos ronda sampai larut malam. Semua kebutuhan hidup, termasuk membayar kontrakan, kini menjadi tanggung jawabku.
"Ck, sudahlah! Cepat berangkat sana! Bikin kesal saja!" usir Mas Yoga. Tanpa berkata-kata, langsung kustarter motor matik butut kesayanganku.
*🌷*
Kususuri jalanan yang mulai padat dengan hati gundah. Seminggu lagi, kami harus membayar kontrakan. Pemilik kontrakan itu terkenal sangat cerewet, telat sehari saja, mulutnya sudah berkoar ke mana-mana. Semoga saja, dalam minggu ini aku sudah gajian. Kalau dihitung-hitung, sudah tiga minggu lebih aku mengajar di tempat yang baru.
Motorku melaju pelan, memasuki kawasan perumahan elite. Rumah-rumah megah berjejer, tak ada satu pun bangunan model lama terlihat. Di setiap rumah, pasti terparkir minimal satu mobil. Konon katanya, di sini banyak rumah artis atau pun wanita simpanan pejabat. Setelah tepat berada di depan sebuah rumah dua tingkat bercat warna putih yang bernomor 34 C, aku berhenti.
"Met pagi, Pak Harno!" sapaku, kepada tukang kebun rumah tersebut yang tengah menyirami bunga-bunga tulip.
"Eh, Mbak Diah! Selamat pagi! Sebentar, saya bukain gerbangnya!" Dengan cekatan tangan Pak Harno mengeluarkan seuntai kunci dari kantung celana. Tubuh tuanya yang ringkih tampak sedikit kesulitan saat mendorong gerbang yang tinggi dan besar itu. Kutaksir, umur Pak Harno mungkin sama dengan umur mendiang bapakku, jika saja ia masih hidup.
"Makasih ya, Pak! Saya permisi ke dalam dulu!" Aku pamit sambil mendorong motor masuk ke halaman.
"Sama-sama, Mbak Diah! Monggo!" Pak Harno lalu meneruskan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda.
Halaman di sini sangat luas dan asri. Pohon-pohon bonsai tertata apik dan selalu dipangkas. Bunga warna-warni menghiasi hampir setengah bagian taman. Di tengah-tengahnya, sebuah kolam berisi ikan mas koi juga terawat dengan baik. Sementara di bagian kanan rumah, berdiri megah sebuah garasi luas. Pernah tak sengaja aku melihat, di dalamnya terparkir 3 buah mobil.
Setelah memarkirkan motor di sebelah pohon mangga, aku berjalan menuju rumah megah itu.
*🌷*
"Assalamu'alaikum!" Aku mengucap salam di depan pintu yang terbuka. Sesosok anak perempuan berambut cokelat segera menyambut. Matanya seketika berbinar.
"Waalaikumsalam. Ye ye ye! Bu Guru Diah sudah datang!" soraknya riang sambil melompat-lompat kecil. Aku tertawa. Angel, muridku yang berusia empat tahun, selalu senang tiap kali aku datang.
"Oma, Oma! Bu Guru sudah datang!" Angel berteriak kencang memanggil wanita pemilik rumah yang ia sebut Oma.
Tak lama, seorang wanita berusia 60-an turun dari lantai dua. Wanita yang masih terlihat cantik meskipun di usia lanjut itu tersenyum.
"Eh, Mbak Diah! Sudah datang, ya. Monggo, silahkan ke ruangan belajar sama Angel!" titahnya lembut penuh wibawa.
"Inggih, Bu. Saya pamit ke sana sama Angel, ya!" Aku segera menggandeng tangan gadis kecil yang sedari tadi sudah tak sabaran menarik-narik bajuku.
"Bu Guru, hari ini Angel mau menggambar, ya!" pintanya penuh semangat.
"Boleh, tapi nanti belajar angka dan nama-nama hewan dulu!" Aku mengusap lembut kepalanya.
"Okey, Bu Guru!"
*🌷*
Tak terasa, sudah dua jam aku belajar sambil bermain bersama Angel. Si imut cantik itu juga sudah tampak kelelahan. Kami baru saja selesai merapikan alat-alat belajar dan mainannya yang segudang.
"Bu Guru, Angel haus! Ayo kita minta tolong Bik Inah bikinkan minum!" titahnya sambil menarik tanganku. Aku terkekeh. Tingkahnya lucu sekali, seperti bos kecil saja. Namun, dia bukan anak yang menyebalkan meskipun manja. Malahan, ia sangat sopan dengan orang-orang di sekitarnya.
Di ruang tamu, kutemui Bu Widya sudah duduk sambil menatap ke taman. Rambutnya yang mulai memutih tampak bersinar, diterpa sinar matahari yang lolos dari sela gorden.
"Sudah selesai, Mbak Diah?" tanyanya, ketika melihatku dan Angel mendekat.
"Inggih, Bu! Baru saja!" jawabku.
"Mari duduk dulu, Bik Inah sudah sediakan jus mangga!" Di meja sudah terhidang jus dan cemilan lainnya.
"Angel juga mau dong, Oma!" Anak cantik itu bergelayut manja di pangkuan Bu Widya.
"Boleh, sini Oma tuangkan." Dengan telaten ia menuruti permintaan sang cucu. Aku sangat senang melihat keduanya. Sangat akur dan sama-sama cantik.
"Saya minum ya, Bu!" pamitku sebelum menenggak minuman yang menyegarkan itu.
"Silakan Mbak Diah, tak usah sungkan. Cemilannya dimakan, ya!"
Aku mengangguk. Dulu, di awal-awal mengajar, aku sangat sungkan. Setiap hari selalu dihidangkan dengan makanan dan minuman seperti ini. Setiap pulang pun kerap dibekali dengan sesuatu. Aku selalu berusaha menolak, tetapi itu justru membuat Bu Widya marah. Katanya tidak boleh menolak rejeki. Akhirnya, sekarang aku mulai terbiasa.
"Bagaimana dengan Angel, Mbak Diah? Dia mau belajar, atau nakal terus?" tanya Bu Widya sambil menatap cucu semata wayangnya. Angel langsung tertawa, menampilkan gigi-gigi kecilnya yang putih bersih.
"Angel pintar kok, Bu. Sekarang sudah tau nama-nama hewan pemakan tumbuhan dan pemakan daging!" jawabku bangga.
Bu Widya lalu tertawa kecil.
"Terima kasih, lho, Mbak Diah. Sudah sabar sekali membimbing Angel. Selama ini sudah beberapa orang pernah mengajar di sini, tapi selalu tidak betah. Baru seminggu mengajar sudah resign. Entah karena alasan apa, saya tidak tahu. Tapi tampaknya, dengan Mbak Diah, Angel kerasan."
Aku merasa tersanjung dengan penuturan Bu Widya.
"Angel anaknya penurut kok, Bu. Malah menurut saya aneh, kalau ada yang tidak betah bermain dengannya!" ucapku dengan tulus. Memang begitulah faktanya.
Sementara itu, anak yang sedari tadi kami perbincangkan, sekarang sudah terkantuk-kantuk sambil memeluk omanya.
"Lah, ini anaknya malah sudah mau ketiduran!" Bu Widya terkekeh melihat cucunya yang sudah mulai memejamkan mata. Aku pun ikut tertawa.
"Ya sudah, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu!" Aku langsung beranjak dari tempat duduk.
"Oh, iya, sekali lagi terima kasih Mbak Diah! Besok datang lagi, ya! Dan ini, tolong dibawa, untuk cemilan di rumah!" Bu Widya dengan cekatan menyerahkan sebuah bungkusan kepadaku. Ya Allah, lagi-lagi dia membekaliku dengan sesuatu. Aku selalu merasa tak enak.
"Ibu selalu repot setiap saya mau pulang!" ujarku dengan perasaan malu.
"Tidak, kok! Saya malah senang kalau Mbak Diah mau terima!" Wanita berwibawa itu tersenyum lagi.
Akhirnya aku terima bungkusan plastik berwarna putih itu, lalu segera pamit pulang.
*🌷*
Hujan mulai turun rintik-rintik, sedikit kupercepat laju motor agar sampai ke rumah. Kumasuki pekarangan yang jauh berbeda dengan milik Bu Widya. Kontrakan kecil kami, hanya satu meter setengah saja jaraknya dari jalan.
"Assalamu'alaikum!" ucapku sambil memutar gagang pintu. Terkunci. Tumben sekali, tak seperti biasanya. Tak ada jawaban dari dalam.
"Mas, Diah pulang!" teriakku. Mungkin Mas Yoga sedang tidur. Kuketuk pintu sekali lagi.
"Mas, buka pintunya! Diah pu—!"
Ceklek!
Pintu terbuka. Mas Yoga berdiri di depan pintu dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Napasnya sedikit tersengal.
"Eh, Diah. Su–sudah lama pulangnya?" tanya Mas Yoga sedikit tergagap, sambil menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya.
"Belum, baru saja!" jawabku singkat. Aku menatapnya heran. Sementara Mas Yoga kelihatan seperti salah tingkah.
"Mas habis ngapain? Kok gak pake baju? Ngos-ngosan gitu?" Kulongokkan kepala ke dalam. Pintu belakang terbuka lebar.
"Oh, anu, itu ... tadi mas lagi olahraga. Jadinya kepanasan, soalnya udah lama gak gerakin badan!" Mas Yoga mulai menggerak-gerakkan badannya ke kanan dan ke kiri. Terlihat canggung sekali.
Aku mengangguk. "Ya sudah, Diah mau langsung mandi. Soalnya keringatan!" Aku langsung menuju ke kamar.
Namun, ada yang aneh. Kasur terlihat sangat berantakan. Satu bantal tergeletak di lantai, sementara sprei yang baru tadi pagi kuganti serta selimut, terlihat kusut tak karuan. Mas Yoga tampak menggaruk-garuk kepalanya. Aku menatap tajam. Apa yang sudah dilakukannya di rumah selama aku pergi?
🌷🌷🌷

Komentar Buku (58)

  • avatar
    rianasue

    Best ceritanya

    12/08

      0
  • avatar
    Yono Saputra

    Sangat bagus

    11/08

      0
  • avatar
    1User

    tooo

    16/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru