logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

episode 6

"Ga, kalo boleh kepo nih ye, elu pindah sekolah itu karena apa sih?"
Bel istirahat berbunyi sudah lima menit yang lalu. Dan dalam rangka supaya lebih akrab dengan teman satu kelompok belajar, Rendy dan Iksan mengajak Saga keliling sekolah.
Tapi, mendengar pertanyaan yang telontar dari bibir Rendy membuat dia sedikit berpikir. Sebuah alasan. Tidak mungkin Saga berucap yang sebenarnya kalau ia sedang mencari seseorang. Mereka bisa lebih kepo.
"Kayanya sekolah lo yang ada di Bandung itu gak kalah bagus juga deh, sodara gue ada yang sekolah disana soalnya." Iksan menyahut sebelum Saga membuka suara.
Memang, SMA Angkasa termasuk dalam jajaran sekolah bergengsi di Bandung. Tarafnya mungkin sama dengan SMA Taruna Bangsa.
"Nah loh, sekolah favorit juga tuh. Kaga mungkin juga tampang-tampang elu kena D.O."
Saga menyugar rambutnya santai. "Ya kaga lah, kali gue abis D.O bisa masuk sini, ke IPA lagi. Gue cuma ngikut bokap aja, ya gitulah doi kena mutasi pekerjaan gitu, dipindah kesini lah, daerah Jakarta."
Dan itu kedengarannya masuk akal.
"Njir.. ama bokapnya maen doi-doi-an!" Rendy tertawa kecil sambil memukul pelan lengan Saga.
Pemuda itu hanya tertawa.
"Kids jaman now kali ah," Iksan geleng-geleng kepala. "ya kita-kita sih, welcome aja ya ada temen baru yang mau gabung. Asal asik dan sejalan aja udah, tetep maen dah.."
"Yomski, thanks ya, lu pada emang pren banget dah."
Saga yang berjalan di tengah merangkul bahu Rendy dan Iksan kuat-kuat sambil mengacak-acak rambut mereka. Persis kawan lama.
Sementara di sudut lain, Agatha nampak tengah bertelfonan dengan seseorang. Sambil berdiri di samping sebuah pilar yang besar dan menatap teriknya halaman depan sekolah.
"Nak, papi mohon.. sekali, cuma satu aja permintaan papi. Kamu tolong lah bersikap lebih baik sama Farel. Papi udah utang budi banyak sama ayahnya. Papi gak enak.."
Suara berat dari di dalam ponselnya membuat Agatha menghela napas panjang. Ini pasti gara-gara Farel sudah mengadu kepada Bagaskara--ayahnya, lalu beliau menyampaikan kepada papi Agatha. Mudah ditebak.
Karena ini sudah sering terjadi.
"Papi.. tolong ngertiin aku juga dong, aku tuh gak suka sama Farel, pi. Dia tuh tengil banget, kasar. Papi tega emang sama aku, hah?"
"Itu mungkin cuma perasaan kamu aja, Sayang. Coba lah kamu sedikit lebih.. anggep dia, jangan terlalu cuek.. papi yakin kok Farel itu baik."
Rasa-rasanya persis dijodohin, dan sama orang yang salah pula. Memang benar, sebelumnya Armand tidak pernah mengatakan hal itu secara langsung tapi Agatha sudah menduga pasti papinya menginginkan ia jadian sama Farel. Hanya Farel saja.
Dan semuanya gara-gara hutang budi. Ya, miris. Agatha sebagai barang barternya, supaya Armand merasa sudah membalas budi, alias membayar kebaikan Bagaskara. Dimana dulunya telah berjasa membantu menyelamatkan perusahaan papinya itu saat diambang kebangkrutan.
Padahal, setengah saham perusahaan milik Armand kini sudah berpindah nama. Bagaskara Atmaja. Kenapa Agatha masih harus melunasinya?
"Udah ya, nak.. papi ada meeting sama klien. Pokonya sekali lagi pesen papi, tolong kamu baik-baikin Farel. Papi malu ditegur terus sama om Bagas.."
Dan, sambungan terputus setelah itu. Agatha mendengus kesal sembari menyimpan ponselnya ke saku rok, dalam hati merutuki papinya yang suka memaksa. Memaksa cinta, Farel. Mungkin Agatha harus lebih kalem lagi menjalani kehidupannya ini.
"Woy! Sendirian aja!"
Datang-datang, Rendy langsung menepuk pundak Agatha dan membuatnya sempat jantungan.
"Ngapain sih, Ren! Ngagetin aja!" dan ia melihat ada Saga dan Iksan juga di samping kiri dan kanannya.
"Yaelah.. gue kali yang mesti nanya, lo ngapain sendirian disini? Pake bengong lagi, lu lagi ada masalah?"
Melihat tiga cowok di sekitarnya itu, Agatha terdiam sejenak. Rasanya sedikit canggung membahas masalah keluarga, apalagi dengan adanya Saga. Meskipun Agatha sebenarnya juga tidak terlalu memikirkan itu.
"Ah, engga, gue ga kenapa-kenapa, gaada masalah apa-apa. Slow."
Iksan mengangkat sedikit dagu sambil menyandarkan sebelah sikunya di pundak Rendy. "Yakin lu, Tha? Baik-baik aja? Bukan karena Farel atau.. yang lain? Ini temen lu semua loh,"
Memang, satu sekolah juga tahu. Farel ngejar-ngejar Agatha, tapi Agatha selalu acuh tak acuh. Di sisi lain dia juga ingin bercerita tapi disana ada Saga, dan Agatha tidak mau kalau cowok itu ikut mengetahui permasalahan dalam hidupnya.
Walaupun Saga sendiri sebenarnya sudah tahu sejak mendengarnya langsung dari mulut Farel tadi pagi.
Sekarang Agatha nampak bingung.
"Kalo lo mau cerita sama Rendy sama Iksan, tapi engga sama gue.. bilang aja, gue bisa pergi kok." Saga tersenyum sekilas, berniat angkat kaki dari ubin yang dia pijaki. Karena dia memang harus tau diri, kehadirannya masih menjadi hal yang baru untuk Agatha.
"Eh eh eh.. lu mau kemana?" dan Rendy langsung menahan.
"Maen pergi-pergi aja lu, Ga! Jangan nethink dulu lah, Atha gak kaya gitu kok," Iksan ikut meluruskan pikiran Saga. "yakan, Tha?"
Dan Agatha juga beralih menatapnya. Sementara Saga masih terdiam, dalam hati ingin mengetahui tentangnya. Cewek yang dari pertemuan pertama sudah membuat Saga penasaran.
"Ehm, yaudah sambil ngebakso aja yok. Laper gue,"
Setelah itu mereka berlalu ke satu sisi halaman sekolah, dimana tempatnya lumayan teduh. Persis dekat dengan parkiran. Disana ada penjual bakso yang memang sudah mendapat ijin dari kepsek untuk berdagang disitu.
Saga, Agatha, Rendy, dan Iksan duduk berjejeran di kursi berbahan plastik itu sambil menikmati semangkuk bakso mereka masing-masing dalam genggaman tangan, karena memang tidak ada meja.
"Jadi, tadi tuh, gue ditelfon sama papi." Agatha menurunkan mangkuk itu di atas roknya. "gara-gara tadi pagi gue nolak coklat yang dikasih sama Farel, dia tersinggung gitu, ngira kalo gue gak ngehargain dia. Mungkin aja, dari situ dia langsung ngadu sama bokapnya. Terus, sampe telinga papi, dan.. gue yang dicermahin."
Cowok-cowok itu juga langsung menyudahi aktivitas mereka.
"Jadi, Tha, bokap lo itu.. temenan sama bokapnya, Farel?" tanya Iksan. "terus emang kalian dijodohin gitu?"
Sempat terbesit perasaan aneh dalam diri Saga begitu mendengar kalimat kedua Iksan . Perjodohan? Dan si cowoknya adalah Farel? Laki-laki yang gak tau malu dan beraninya ngebentak-bentak cewek di depan umum? Rasanya dia tidak pantas untuk Agatha, pikir Saga.
"Ya lo tau istilah.. utang budi lah ya," Agatha mengangkat pundaknya.
"Emang budi uang berapaan kok bisa diutang?" celetuk Rendy dengan mulut bergoyang, masih asik mengunyah daging baksonya.
"Uang berapaan otak lo isinya tai!" dan Iksan langsung mendaratkan jitakannya di kepala temannya itu.
Saga dan Agatha tertawa geli melihatnya.
"Woy!! Gua lagi makan, Bego! Gausah sebut-sebut itu juga bisa gak!!"
"Alah, tetep ketelen aja bacot lo!"
"Huuuuu.."
Sebelah siku Rendy maju hendak memukul Iksan, tapi hanya gemas. Setelah itu sebenarnya Saga ingin bertanya lebih kepada Agatha, tapi ia masih terlalu takut dibilang kepo. Hingga satu.. kata bijak, atau apalah, kini terlintas di kepala Saga.
"Jadi, lo.. lo ngerasa kayak burung dalam sangkar gitu ya, Tha?"
Pas, ini bukan pertanyaan yang terlalu ke-kepo-an. Lebih tepatnya lagi, ini jalan lain yang niatnya memang kepo, tapi tidak ingin dianggap kepo. Pusing lah.
Dan Agatha kini mengerutkan alis menatap cowok itu. "Burung dalam sangkar maksud lo, Saga?"
"Iya, jadi.. sebenernya lo itu pengen bebas--bukan pengen juga sih, yang mungkin lebih tepatnya itu..butuh. Iya, lo butuh bebas, buat memilih orang.. yang lo suka, tapi.. lo dibikin terjebak, sama utang budi bokap lo itu, dimana ini menjerat elo supaya elo harus sama Farel. Harus. Orang yang engga lo suka, dan malah bikin lo ngerasa tertekan. Seperti burung dalam sangkar, lo gak dibiarin buat keluar, lepas, untuk sekedar memilih jalan lo sendiri. Orang yang lo suka."
Semua terdiam menyimak penuturan Saga. Agatha lalu mengerjap. Itu semua yang dikatakannya benar.
"Lo kok tau sih, Ga? Padahal, gue cuma nyebutin; utang budi. Ya kurang lebih sih, kaya gitu."
Saga lagi-lagi tersenyum. "Gue udah bisa nangkep maksud cerita lo, kok."
Rendy dan Iksan mengangguk beberapa kali sambil ber-ohh ria.
"Terus lo gimana, Tha? Apa lo bakal tetep di dalam sangkar itu apa.. nyoba-nyoba buat kabur.. kek," Iksan menaikkan bahu dan telapak tangan.
Mengatupkan bibirnya, Agatha menunduk. "Gue gatau. Tapi untuk sekarang, gue masih bakal tetep jalanin sebisa gue. Toh, gue juga, belum suka sama siapa-siapa. Apa alesan gue berjuang keluar dari sangkar yang ngejeret gue sekarang? Gak ada kan pasti? Yaudah,"
Benar. Karena sesungguhnya dalam hatinya Agatha menunggu Ksatria. Sosok di masa kecil yang masih menyisakan kenangan sampai sekarang. Tapi rasanya itu tidak mungkin. Karena, dimana dia berada sekarang saja Agatha tidak tahu.
"Apapun itu lo tenang aja, Tha, karena lo gak sendiri. Disini ada kita-kita yang akan selalu ada sama lo, kapanpun elo butuh bantuan. Kita bakal siap." Rendy angkat bicara.
"Yoi, Tha, lo nyuruh kita hajar Farel sekarang juga oke-oke aja, kita bakal pasang kuda-kuda dan gue siap berdiri paling.... belakang aman sih."
Iksan ngelawak. Dan dia mengangkat kepalan tangannya di kata terakhir. Kini gantian Rendy yang menjitak kepalanya. Sukses Iksan meringis meratapi kerjaan temannya itu.
"Elu mau jadi prajurit apa kacung, Bego?!! Prajurit itu di depan!! Yang di belakang kacung!!"
Saga tertawa melihat mereka, demikian Agatha.
"Kalian ada-ada aja sih," cewek itu geleng-geleng kepala sendiri.
Saga menoleh dengan kekehan kecil. Memang, duduknya di sebelah kanan Agatha."Temen-temen lo emang gak ada yang waras ya, Tha?"
"Hahaha.. iya, au dah kenapa rada-rada semua."
"KITE DENGER WOY!!"
Rendy dan Iksan langsung nyembur dengan mata melotot tidak terima. Agatha geli sendiri sambil mengaduk-aduk kuah baksonya.
"Udah, udah, makan lagi, dingin entar gak enak."
"Rasa-rasanya pengen nelen mangkuk sekalian," Rendy sudah menggigit gemas bagian atas mangkuk itu.
Saga masih tertawa. "Kayanya Rendy mau berubah jadi kuda lumping tuh, nanti mangkuk gue sekalian ya, cuy, biar kenyang?"
"Huuuuu.."
Dan, temannya itu langsung berdiri dan hampir melayangkan mangkuk baksonya kearah Saga, dengan muka dibuat-buat seperti orang marah, kesurupan. Padahal niat hanya untuk bercanda saja, entah naluri dari mana tapi Agatha tiba-tiba langsung melindungi muka Saga dengan kedua tangannya.
"Ren, lo gila?!"
Lalu, Agatha menengok ke samping, dan bertatapan dengan Saga yang sedekat itu. Cukup lama, keduanya seolah mematung. Karena mata elang Saga dari pertama bertemu selalu terasa mengunci pergerakannya.
"Ehem.. ehemm.."

Komentar Buku (32)

  • avatar
    FahriZul

    saya sangat suka

    05/07

      0
  • avatar
    NgarsoDenbagus

    ceritanya bagus

    14/06

      0
  • avatar
    SiapaGa tau

    bucin sekali

    11/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru