logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Part 26

KUKEMBALIKAN SUAMIKU PADA SAUDARANYA
#26
Tak terasa sudah satu bulan aku berada di kota kelahiranku. Gugatan cerai telah kudaftarkan, panggilan sidang pertama juga sudah kuhadiri seminggu yang lalu.
Aku merasa beruntung karena Mas Herman tidak datang pada sidang pertama, sehingga hakim memutuskan untuk lanjut ke sidang ke-2 pada waktu yang akan ditentukan.
Sempat terbersit rasa kesal ketika tahu nominal biaya perceraian yang harus kubayar. Dalam hati aku bergumam, siapa yang menyakiti, siapa pula yang keluar uang. Namun kekesalanku itu segera kutepis jauh-jauh. Kuteguhkan kembali niatku untuk berpisah. Uang bisa dicari, saat ini yang terpenting adalah kebahagiaan dan ketentraman hati.
Soal Mas Herman, jangan ditanya. Meskipun orangnya tak muncul, tetapi telepon darinya setiap hari selalu mengusikku. Jika telepon tidak kujawab, maka chat WA nya yang selanjutnya masuk ke ponselku. Sudah tak terhitung berapa puluh pesan yang ia kirimkan, semua hanya kubaca tanpa kubalas.
[Mela, kumohon kembalilah, Mel]
[Mel, Mas minta maaf]
[Mela sayang, tidakkah kamu kangen rumah kita? Rumah sepi nggak ada kamu dan anak-anak]
[Mel, tolong jangan minta cerai. Aku janji akan menuruti semua yang kamu mau. Akan kuserahkan semua gajiku padamu. Semua uang kamu saja yang pegang, kamu yang atur, asal kamu mau kembali]
Aku tertawa membaca pesan terakhirnya. Kemarin-kemarin kemana aja, Mas? Giliran sudah ditinggal baru mau sadar. Memang, terkadang kita baru menyadari betapa berharganya seseorang setelah kita kehilangan dia. Sayang sekali, Mas, kesadaranmu sudah terlambat!
Aku juga merasa sadarmu tidak dari hati. Terbukti sampai saat ini kau tidak pernah meminta maaf atas perbuatanmu yang sering menyakiti Reno. Padahal itulah penyebab utama aku meninggalkanmu. Seandainya saja kamu tahu, yang diinginkan seorang istri dalam sebuah pernikahan bukan hanya materi, melainkan bagaimana suaminya menghargai dan melindunginya sebagai wujud rasa cinta.
"Dek Mela, Dek Mela ... Dek!" Aku terkesiap.
Saat aku mendongak, kulihat seorang pria berkepala plontos sedang tersenyum padaku. Ia pemilik toko besar di seberang jalan raya yang menjual bahan-bahan bangunan. Seingatku hampir setiap hari Beliau makan di sini. Segera kupasang wajah ramah dan menawarinya sesuatu.
"Nggeh, ngresakne menopo, Pak? Dhahar?" (Iya, mau apa, Pak? Makan?)
Sebisa mungkin ku atur nada suara. Aku selalu mengingat pesan Ibu. Jika melayani pembeli laki-laki, suara tidak boleh terlalu lembut, tidak boleh kemayu, tidak boleh banyak senyum apalagi bercanda yang tidak ada gunanya, bicara seperlunya saja.
"Kok, melamun saja, Dek? Ada yang dipikirkan, to?" tanya pria paruh baya yang kabarnya sudah punya dua istri itu, sembari tetap berdiri dan mengelus-elus kulit kepalanya yang mulus.
"Monggo pinarak, Pak! Bapak badhe ngresakaken nopo?" Tanpa menjawab pertanyaannya, aku kembali bertanya. (Silakan duduk, Pak! Bapak ingin apa?)
"Aku mau makan, Dek! Seperti biasanya, ya! Sayur sop, perkedel, sama ayam kecap, jangan lupa sambelnya! Soalnya sambel Dek Mela ini enaknya tiada dua, tiap hari aku sampai terbayang-bayang sama yang nyambel. Eh, sama sambelnya!"
Lelaki yang kutaksir berusia antara 40-45 tahun itu terkekeh di akhir kalimat. Aku hanya menanggapi dengan senyum tipis sekilas, sembari menyiapkan pesanannya.
Pada jam-jam setelah sarapan, warungku sedikit lengang. Walaupun begitu tetap kusyukuri karena masih ada pembeli. Ada beberapa orang dari desa sebelah membeli lauk, juga Bapak-Bapak ojol yang mampir untuk makan. Biasanya nanti pada saat istirahat makan siang akan kembali ramai, lalu sekitar pukul 14.00 aku sudah tutup.
"Mas! Ternyata kamu di sini. Kenapa, sih makan di sini terus?! Kayak di rumah nggak pernah dimasakin!"
Aku yang sedang membuatkan minuman untuk si Bapak spontan menoleh, tampak seorang perempuan muda sedang berdiri di samping pelangganku itu. Wajahnya masam dan menampakkan kemarahan. Sedangkan yang dimarahi tidak menggubris sama sekali, ia tetap menyuap nasinya dengan tenang.
"Mas!" Mungkin karena merasa diacuhkan, perempuan itu menggebrak meja. Duh, ikut kaget aku!
"Jangan ribut di sini, bikin malu! Kamu kalau mau makan, duduk, lalu pesen!" Terdengar bentakan si Bapak.
"Ogah! Paling juga enakan masakanku di rumah!"
"Ya, sudah, kalau nggak mau. Pulang sana!" bentak pria itu lagi. Perempuan dengan alis bertato itu menghentakkan kakinya kesal, sejurus kemudian berbalik pergi setelah sebelumnya melirikku tajam.
"Dia itu istriku, Dek," ucap si Bapak setelah selesai makan. Aku menanggapi dengan mengangguk. Tangan pria itu meraih tisu lalu mengelap mulutnya. Jika dilihat dari perbedaan umur keduanya, kemungkinan besar perempuan tadi istri muda si Bapak.
"Cantik, Pak," jawabku tulus.
"Cantik, sih, cantik. Tapi cerewetnya itu, Dek, ampun!"
"Terus emosian, bikin aku nggak betah di rumah."
"Terus masakannya juga nggak enak."
"Terus bisanya cuma ngabis-ngabisin duit, Dek! Sedikit-sedikit ke salon, perawatan inilah, itulah, pusing aku dibuatnya!"
Mendengarnya, aku sedikit jengah. Istri sendiri kenapa digibahin, Pak? Kan, Bapak yang memilih dia jadi istri. Ya, harus diterima semua kekurangannya, sebagaimana Bapak menyukai kelebihannya. Kalau ada perilaku istri yang tidak berkenan di hati, ya, diingatkan dan dibimbing, bukan malah dijelek-jelekkan. Ucapku, tetapi tentu saja hanya di dalam hati.
Curhatan si Bapak terhenti ketika Siti teman masa kecilku memasuki warung. Tampak ia mengangguk sopan pada pria paruh baya itu lalu memesan nasi beserta lauk-pauk dua bungkus.
"Nggak masak, Sit?" tanyaku ramah sambil melayani pesanannya.
"Nggak, Mel. Aku lagi nggak enak badan. Pusing dari pagi, mual juga."
"Wah, jangan-jangan kamu hamil, Sit?"
Tersipu Siti menjawab, "Iya, kemarin aku cek pakai tes pack hasilnya memang positif."
"Wah, selamat, ya!"
Aku ikut senang mendengarnya, temanku itu memang sudah lama menikah tetapi belum dikaruniai momongan. Sekarang penantian Siti dan suaminya, terjawab sudah.
"Jangan capek-capek, Sit! Banyak istirahat, jangan kerja yang berat-berat," saranku padanya, Siti mengiyakan.
"Ehm, Mel. Beberapa hari yang lalu, suamiku cerita katanya ketemu kamu di pengadilan agama. Kamu beneran mau cerai, Mel?"
Deg!
Bersamaan dengan jantung yang berdetak lebih cepat, kurasakan wajahku memanas. Sejenak kulirik si Bapak yang belum juga beranjak meninggalkan warung. Terlihat pria plontos itu sedang mengutak-atik ponsel, semoga dia tidak mendengar pertanyaan Siti tadi.
Mataku beralih pada temanku itu lalu mengangguk sekilas. Suami Siti memang bekerja sebagai tenaga administrasi di pengadilan agama. Kami sempat bertemu dan bercakap-cakap saat aku menghadiri sidang pertama minggu lalu. Jadi tidak mungkin aku mengelak dan membohongi Siti.
"Jadi benar apa yang aku dengar dari orang-orang, Dek ... kamu ini janda?" tanya Bapak plontos sesaat setelah Siti meninggalkan warung. Rupanya pria itu diam-diam menguping.
Kuhirup napas panjang lalu menghembuskannya kasar. Sebenarnya aku tidak suka jika ada orang asing yang mengusik kehidupan pribadiku. Namun aku sadar, saat ini harus pandai-pandai menjaga sikap. Apalagi sekarang aku berjualan, bisa-bisa warungku sepi pembeli jika aku bersikap jutek.
"Masih proses, Pak. Belum ketuk palu," jawabku lirih.
"Ah, gampang itu. Kalau ada uang semua pasti beres, ngurus apapun jadi cepet," jawabnya sembari menggesekkan jempol dan jari telunjuknya. Baru saja hendak membuka mulut untuk berbicara lagi, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Bibir pria itu mendecak sebal setelah membaca nama yang tertera di layar.
"Iya, halo ...."
"Iya—iya, aku pulang. Dasar bawel!" sungutnya lalu mematikan panggilan.
"Aku pulang dulu, Dek. Bojoku ngamuk. Ini, ambil aja kembaliannya!" Si Bapak mengulurkan selembar uang lima puluh ribu.
"Ndak usah, Pak. Ini ada, kok, kembaliannya," tolakku halus, buru-buru kuambil uang kembalian, kemudian mengangsurkannya pada si Bapak.
"Sudah ... ambil aja, buat anak-anak!" jawabnya seraya mengedipkan sebelah mata kepadaku. Sejurus kemudian deru motornya sudah menjauh.
Gusti Allah, sepertinya setelah ini jalanku akan semakin terjal. Mohon kuatkan hamba, bisikku lirih. Belum juga sepenuhnya status janda kusandang, namun aku sudah mulai mengalami berbagai kejadian tidak enak. Tatapan nakal dari para pembeli laki-laki, dan tatapan tak suka dari para perempuan.
Sebegitu hinakah seorang janda di mata mereka? Seandainya mereka mengerti, tidak ada satupun perempuan di dunia ini yang ingin menjadi janda. Semua kaum hawa pasti ingin rumah tangganya baik-baik saja. Punya suami yang baik, perhatian, saling cinta, lalu menua bersama. Namun realita yang terjadi kadang tak sesuai ekspektasi.
Demi masa depan anak, banyak wanita bertahan dalam pernikahan yang sakit. Akan tetapi jika anak yang tersakiti, haruskah masih bertahan?
🌺🌺🌺🌺

Komentar Buku (255)

  • avatar
    MiaSamiati

    aku sangat menyukai drama ini bisa jadi inspirasi kita ke depannya terimakasih

    21h

      0
  • avatar
    RosseItta

    ada sambunganya kah? atau hanya sampai 30?

    23d

      0
  • avatar
    Nur Azilah

    bagus kak❤

    30/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru