logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Mengigau

"Rasya, bagaimana sekolah kamu sekarang? Apa sudah dimulai pemilihan ketua OSIS baru?"
Aku memulai pembicaraan santai, ketika kami makan bersama, berlima tepatnya. Jarang-jarang kami bisa berkumpul seperti ini, jadi aku tak mau merusak suasana damai ini dengan kegusaranku.
"Baik, Yah. Seperti biasa. Cuma untuk semester kali ini, raportku sepertinya agak mengecewakan."
"Tak masalah. Asal kamu masih di peringkat tiga besar, supaya kamu bisa masuk di perguruan tinggi yang kamu inginkan. Lalu, pemilihan OSIS nya?"
Aku terus memancing Rasya agar terbiasa berbicara denganku, karena sejak dia kehilangan ibunya, baru kali ini dia bicara agak panjang dengan keluarganya.
"Mungkin bulan depan. Entah terpilih atau tidak, aku tak ambil pusing, Yah."
Tiba-tiba sendok Bahfi jatuh dan memecah pembicaraan kami. Nabila melihat sendok itu jatuh tepat di bawah kakinya.
"Maaf, Tante, aku tak sengaja."
"Tak apa. Ambil sendok lain lagi aja, ya. Ini sudah kotor."
Aku cukup senang anak-anakku sudah mau bercakap dengan Nabila, meskipun mereka masih memanggil 'tante'.
Masalah serius yang tadi, nanti saja aku akan bicara empat mata dengan Rasya. Aku harus tahu, apakah dia sudah mengkomsinya atau belum, agar aku segera mengambil tindakan.
❣️❣️❣️❣️❣️
Kulihat Rasya sedang santai di depan TV sambil memainkan ponselnya. Kudekati dan kupegang bahunya dengan tangan kananku. Dia sontak menoleh padaku dan tersenyum tipis.
"Di sekolah apa ada yang mengajakmu membolos, Nak?"
"......"
"Hati-hati dengan teman, Nak. Tidak semua teman itu mengajak pada kebaikan. Jangan sampai kebaikan yang selama ini kau lakukan, hancur lebur hanya gara-gara setitik keburukan."
"Iya, Yah."
"Tadi, ibumu menemukan sesuatu di–"
"Dia bukan ibuku, Yah!"
"Baiklah. Tante Nabila tadi menemukan sesuatu di saku celanamu."
Sengaja aku menghentikan ucapanku, karena ingin melihat reaksinya. Ternyata Rasya biasa saja, tak gugup seperti perkiraanku.
"Apa kamu pemakai, Sya?"
"Maksud Ayah apa? Memangnya tante menemukan apa?"
"Narkoba," jawabku lirih, takut satu kata ini terdengar dari luar.
Rasya langsung mengerutkan kening. mungkin sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Sebenarnya ketika aku bolos sendirian tadi, aku bertemu sama seseorang. Ngakunya sih dia butuh uang buat nebus istrinya yang habis lahiran. Aku kasihan, jadi aku kasih uang saku yang waktu itu aku bawa. Sebagai imbalan, dia memberi sebungkus obat, katanya obat pusing. Ya sudah, aku terima aja."
"Kamu beneran belum makai, kan?"
"Enggak, Yah. Cek aja itu obatnya kemarin ada tiga di bungkusnya."
"Tiga? kamu yakin?"
"Iya, tiga. Aku yakin."
"Tapi tadi di bungkusnya ada dua, Sya. Kalau bukan kamu yang makai, lalu siapa?"
Rasya hanya meninggikan bahunya sedikit, tanda ia pun juga tak tahu. Gantian sekarang aku yang mengerutkan kening. Siapa yang ngambil?
Fix, setelah bicara dari hati ke hati, Rasya akhirnya janji tak bolos lagi apapun alasannya. Tak lupa ia kuberi pesan agar jangan sampai sedikitpun memakai barang haram, karena bahayanya bisa sampai jiwa dan raga, tak akan ada habisnya.
Ketika sedang panjang lebar berpesan pada Rasya, tak sengaja kulihat di balik pintu yang sedikit menganga, sepasang mata yang mengawasi dan menguping pembicaraan kami. Melihat dari postur tubuh yang terjangkau netraku, aku yakin itu Bahfi.
"Masuklah, Nak! Kenapa kau hanya dibalik pintu?"
Kulihat dia sedikit salah tingkah.
"Ah tidak, Yah. Tadi aku cuma lewat saja. Ayah teruskan saja bincang-bincangnya, aku mau ke kamar saja."
Bahfi langsung pergi dari depan kamar, tak menunggu jawaban dariku. Aneh, biasanya dia selalu yang paling doyan nimbrung kalau ada yang ngumpul.
"Sudah malam, Ayah balik dulu ke kamar. Yang lalu biarlah berlalu. Kembalilah seperti dulu. Yang merasa kehilangan semangat bukan hanya kamu, tapi yakinlah pasti ada harapan baru."
Aku kembali ke kamar Hanum. Merasa lucu sendiri aku menasehati anakku. padahal aku sendiri masih belum bisa move on. Memandang foto cantik yang berbingkai emas di dinding, berbicara sendiri layaknya orang gila yang sedang merindu. Merasuk, bahkan sampai di palung kalbu. Kalau sudah di puncak rindu, yang bisa kulakukan hanya menghirup aroma bajumu. Seolah memeluk dan merengkuhmu. Hanya itu.
Qiroah sebelum subuh di masjid berkumandang, netra kupaksakan untuk membuka. Setengah kaget aku melihat sosok di sampingku, yang erat kupeluk. Hanum?? Apakah ini mimpi? Kukucek mata dengan tangan kiriku, karena tangan kananku sedang berada di bawah kepalanya. Ahh ternyata Nabila. Kenapa dia di kamarku? Apakah dia menyelinap? Berani-beraninya dia melakukan ini. Aku tak suka dengan caranya.
Aku menarik tanganku, dia terbangun.
"Sudah bangun, Mas? Maaf, semalam aku mendengar suara mengigau dari kamar ini, keras sekali. Tak ada yang kumintai tolong untuk membangunkan, karena semua sudah tidur. Jadi, maaf, aku sudah lancang masuk kamar ini untuk membangunkan. Ketika aku mau keluar, tanganku kau tarik, dan maaf, kau memelukku. Aku sudah berusaha melepaskan, tapi pelukanmu terlalu–"
"Sudah cukup! Aku tahu, ini hanya alasanmu saja, kan? Jika ini hanya akal-akalanmu, maaf, aku belum siap untuk melakukannya. Tak perlu kau repot-repot untuk mencari cara."
Kutinggalkan dia sendirian di kamar Hanum. Apakah kata-kataku tadi terlalu kasar untuknya? Entahlah, yang penting aku tak mau memberinya harapan, karena akupun tak tau kapan akan membuka hati ini.
Maaf Hanum, kamar kita telah dimasuki wanita lain. Bukan maksudku menodai cinta kita, namun ini di luar kuasaku. Maaf.
❣️❣️❣️❣️❣️
Minggu pagi ini aku berencana jalan-jalan pagi di sekitar rumah dengan ketiga jagoanku. Ingin kuajak Nabila juga, kasihan tadi subuh sudah kulukai dengan lisanku. Tapi, tak kutemukan ia dimanapun. Kulihat kamarnya tertutup, mungkin dia disana. Segera kuketuk pintu.
"Nabila ...."
Tak ada sahutan. Mungkin dia tidur.
Aku melangkah pergi, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
"Ada apa, Mas?"
Sambil membenahi kerudungnya yang berwarna merah, kulihat matanya sembab, namun tak mengurangi kecantikannya. Mungkin dia sangat terluka dengan perkataanku tadi. Ahh aku jadi menyesal mengatakannya.
"Aku mau keluar jalan-jalan dengan anak-anak. Kau mau ikut?"
"Tidak usah, Mas. Aku disini saja."
"Ooo ya sudah."
Aku pun berlalu dan Nabila menutup pintu kamarnya. Hati masih membatin, ingin minta maaf, tapi malu. Tak minta maaf, takut dosa. Hati perempuan sudah kusakiti. Aku pun kembali mengetuk pintu kamarnya.
Tok tok tok
"Iya? Kenapa lagi, Mas?"
"Yang tadi, aku minta maaf, ya."
"Tak apa, Mas. Gak usah dibahas lagi. Memang aku yang salah. Aku minta maaf. Sudah, ya, aku ngantuk."
"Iya," jawabku dengan lemas. Ahh jawaban Nabila semakin membuatku merasa bersalah.
❣️❣️❣️❣️
Minggu sore, waktunya aku bersiap-siap kembali ke Situbondo. Kusiapkan oleh-oleh khas Sidoarjo juga buat mertua, otak-otak bandeng dan bandeng presto.
Pintu kamar tamu terbuka, Kulihat mendung di wajah Nabila, meskipun matanya tak lagi sembab. Padahal biasanya ia selalu tampak sumringah. Aku tak ingin bertanya, karena memang aku sudah tahu penyebabnya.
Kami berpamitan pada anak-anak. Aku berpesan pada anak sulungku, supaya menjaga adik-adiknya. Tak lupa kusuruh mereka menghubungiku sesering mungkin. Tepat pukul empat, kami meninggalkan rumah kenanganku.
"Mas, nanti kalau ke rumah ibu, aku sekalian nginap disana, ya."
Tiba-tiba saja di tengah perjalanan Nabila mengatakan hal yang tak pernah terlintas di benakku dalam waktu dekat ini.
Jika Nabila pulang ke rumahnya, akan jadi aneh jika aku tak ikut menginap. Karena jarak kantor dengan rumah mertua hanya tiga puluh menit. Tapi, jika aku menginap, aku mesti akan tidur satu kamar dengan Nabila. Aku tak mau itu, sebagai lelaki normal, aku takut khilaf. Bukan aku tak mau melakukannya, hanya saja aku belum siap.
"Minggu depan saja, ya, Dek."
"........"
"Aku janji, minggu depan kita akan menginap tiga hari disana."
"Aku sudah kangen Akmal."
"Nanti kalau sampai sana, ajaklah Akmal pulang ke rumah."
Dia menggeleng pelan. Aku tahu dia sedang dilema, karena jika Akmal ikut dengannya, dia kesulitan untuk bekerja. Sepuluh hari berpisah, waktu yang cukup lama untuk menahan rindu seorang ibu pada anaknya.
"Baiklah, sehari saja, ya."
Dia mengangguk dan tersenyum. Kali ini aku yang bingung. Semoga tak ada yang curiga dengan hubunganku dan Nabila yang belum bisa menyatu.

Komentar Buku (65)

  • avatar
    RachmanAchmad

    sangat sedih

    20/08

      0
  • avatar
    MingAsmir

    cerita bagus

    17/07

      0
  • avatar
    Tantri Tantra Octaviani

    ceritanya bagus sekali, saya suka

    30/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru