logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5

Malamnya Sari menginap di rumah ibu mertuanya. Ia dan Feri beserta kedua putranya tidur di kamar Fahri. Adik iparnya sendiri sementara tidur di kursi ruang tamu. Sedang ibu mertuanya tidur di kamarnya sendiri. Ia sebenarnya berharap ibu mertuanya akan mengajaknya tidur bersama. Baginya hal itu menandakan kedekatan seorang mertua dengan menantunya. Entah kapan bisa menjadi kenyataan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Suami dan kedua putranya sudah tertidur sejak tadi. Ia melihat seharian ini Aldi dan Aldo cukup senang berada di rumah neneknya. Mungkin karena ada pamannya yang tak bosan mengajak mereka bermain. Malam ini mereka berdua tidur di atas tempat tidur. Sedang ia dan Feri tidur di bawah beralaskan kasur tipis.
Sari masih sulit memejamkan mata. Padahal tubuhnya terasa cukup lelah karena aktivitas seharian tadi. Mungkin pikiran yang membuat ia sulit tertidur. Dari tadi ia hanya melamun memikirkan seluruh rangkaian kejadian siang tadi. 
Mendadak dirinya merasa ingin buang air kecil. Segera ia beranjak ke luar kamar. Dibukanya pelan-pelan pintu kamar agar tidak menimbulkan suara gaduh yang dapat membangunkan kedua putranya.
Kamar ini terletak berhadapan dengan ruang makan. Sedang kamar ibu mertua berada di dekat ruang tamu.
Segera ia berlalu ke arah dapur menuju kamar mandi. Selesai menuntaskan hajat, ia segera melangkah untuk kembali ke kamar. Namun, melewati ruang makan dilihatnya Fahri tengah berdiri di depan kulkas sambil meneguk air minum. Ia terkejut. Ia mengira adik iparnya telah tertidur sejak tadi.
"Belum tidur, Ri?" tanyanya basa-basi.
"Belum, Mbak. Mbak sendiri belum tidur?" tanyanya sambil menutup pintu kulkas.
"Belum ngantuk tadi. Mbak balik kamar dulu ya," ujarnya buru-buru ingin balik ke kamar. Ia merasa risih kalau harus berlama-lama mengobrol berduaan dengan adik iparnya di saat yang lain tengah tertidur.
"Sebentar, Mbak!" Baru saja dirinya ingin melangkah, Fahri memanggilnya. Ia pun kembali berbalik ke arah pemuda yang usianya hanya terpaut satu tahun di bawahnya itu.
"Ya, ada apa?" tanyanya sedikit mengerutkan kening.
"Mm ... maaf, Mbak. Aku cuma mau meminta maaf atas sikap ibu tadi siang. Aku harap Mbak jangan ambil hati akan sikap ibu," terangnya merasa prihatin.
Ia menarik napasnya, lalu tersenyum pada adik iparnya. "Gak apa-apa. Mbak gak mikirin kok," ucapnya membesar hati pemuda itu.
Fahri tersenyum tipis. Ia pum kembali pamit untuk kembali ke kamar.
Di kamar ia belum juga bisa memejamkan mata. Apalagi mengingat kejadian barusan. Ia merasa bersyukur memiliki saudara ipar yang baik. Untung Fahri tidak mewarisi sifat ibunya. Begitu pula dengan suaminya. Entah, mungkin mereka mewarisi sifat almarhum ayah mertuanya yang tidak sempat ia kenal.
Ayah kandung suaminya sudah lama meninggal sebelum mereka menikah. Namun, jika dilihat dari fotonya yang tergantung di dinding, tampak almarhum adalah orang yang baik. Wajah almarhum ayah mertuanya banyak tercetak di wajah suaminya. Sedang Fahri lebih mirip ke ibu mertuanya. Untungnya kakak beradik itu tidak mewarisi sifat ibu mertuanya.
Keesokan harinya seusai sarapan dan membantu ibu mertua beres-beres, Sari dan Feri memutuskan untuk mencari sendiri kontrakan tanpa bantuan bu Mira. Dengan mengendarai motor, mereka mengajak Aldi dan Aldo sekalian berniat jalan-jalan pagi.
Dari info yang mereka dapat dari tetangga sekitar,  kabarnya ada rumah petak kosong yang tengah disewakan, Letaknya di ujung jalan dekat jalan raya. Tidak terlalu jauh jaraknya dari rumah ini mereka. Mereka pun bergegas menuju lokasi untuk melihatnya. Mereka berharap semoga rumahnya sesuai dengan keinginan ibunya.
Sesampainya di lokasi, mereka melihat deretan rumah petak bercat kuning yang memanjang ke dalam. Semua ada sekitar enam rumah. Deretan rumah petak itu berada dalam satu halaman dan memiliki pintu gerbang sebagai pengaman. Dari pertama melihat rumah ini, keduanya sudah langsung jatuh hati. Mereka pun membuka gerbang yang tidak dikunci itu.
"Assalammualaikum," sapanya kepada seorang wanita kisaran usia 40-an yang sedang duduk-duduk di teras di rumah petak yang pertama.
"Waalaikumsalam." wanita itu menjawab.
"Maaf Bu, mau tanya. Katanya di sini ada kontrakan kosong yang mau disewakan?" tanya Sari padanya.
"Ada. Itu yang paling ujung," jawab wanita itu sambil mengangkat dagunya menunjuk ke arah yang dimaksud. "Baru kosong sekitar dua minggu lalu," tambahnya lagi.
"Alhamdulillah," ia berucap dalam hati. Mereka lalu menanyakan tempat tinggal pemilik rumah untuk meminta kunci. Ternyata wanita itu adalah saudara dari pemilik rumah dan dipercayai untuk mengelola kontrakan ini.
Setelah menerima kunci darinya, mereka pun segera melihat kondisi rumah. Sama seperti rumah yang mereka sekarang, rumah kontrakan ini bagian dalamnya terdiri dari tiga petak yang memanjang ke belakang. Satu ruang tamu, ruang tengah, dan dapur. Kamar mandi berada di area dapur.
Setelah merasa cocok Sari menanyakan harga sewanya per bulan. Saat menanyakan harga sewa, jantungnya berdebar. Berharap harganya tidak terlalu mahal dan terjangkau oleh mereka.
Ternyata harga sewa rumah tersebut lebih mahal dua ratus ribu dari rumah yang mereka tinggali saat ini. Sari dan Feri merasa maklum, rumah ini kondisinya memang lebih bagus. Ruangannya pun sedikit lebih luas. Tambahan lagi, ada pintu gerbang yang menjaga privasi penyewa di dalamnya.
Setelah keduanya berdiskusi sebentar, akhirnya mereka sepakat untuk pindah ke rumah ini sekitar minggu depan. Kebetulan minggu depan Feri sudah gajian. Ia pun memberikan seratus ribu sebagai uang muka.
Saat tengah bertransaksi, dari dalam keluar seorang gadis berwajah cukup cantik. Usianya sekitar 19-20 tahun. Namun, yang membuat Sari merasa risih gadis itu keluar hanya memakai tank top dan celana selutut. Memperlihatkan  lengannya yang putih mulus dan dadanya yang seksi. Reflek, dirinya melirik suaminya. Feri tampak salah tingkah, tapi pria itu segera membuang pandangan ke arah lain.
"Ada penghuni baru, Bu?" tanya gadis itu pada wanita di sampingnya. Sepertinya mereka ibu dan anak. Wajahnya agak mirip satu sama lain. Ia lihat gadis itu melirik suaminya.
"Iya. Ini mereka nanti pindahnya baru minggu depan," jawab ibunya terlihat biasa saja. Tidak risih melihat pakaian anak gadisnya. Yang membuat Sari kesal, gadis itu tak berhenti memandangi suaminya dan terlihat tidak mempedulikan kehadiran dirinya. Sari memutuskan untuk segera pamit kepada mereka dan memberi kode pada suaminya untuk segera pergi dari situ.
Di perjalanan balik ke rumah ibu mertuanya ia terus memikirkan kejadian tadi. Baru saja urusan mencari rumah kontrakan selesai, kini datang masalah baru yang sepertinya bakal berpotensi menjadi masalah yang cukup besar di kemudian hari.
Bagaimana tidak, minggu depan mereka akan pindah ke rumah itu dan tinggal berdekatan dengan gadis tadi. Dirinya menjadi resah dan bingung. Haruskah ia membatalkannya dan mencoba mencari kontrakan yang lain. Sedang posisi rumah tadi yang paling dekat dengan rumah ibu mertua dan hanya rumah itu yang kosong.
Ia perhatikan sejak dari rumah tadi suaminya tampak diam saja. Entah apa yang dipikirkannya. Ia berharap bukan gadis tadi penyebabnya. Ia meyakini kesetiaan suaminya. Karna Feri tipe suami rumahan. Suaminya banyak menghabiskan waktunya di rumah. Tidak pernah pula ia menerima telepon atau pesan aneh-aneh dari teman kerja wanitanya atau lainnya. Feri mempercayakan dirinya untuk melihat-lihat isi ponselnya.
Namun, hatinya masih merasa resah.

Komentar Buku (214)

  • avatar
    Jaka89

    mantap sudah sangat menghanyutkan kalau membaca jadi nagih pingin membaca terus

    04/04/2022

      0
  • avatar
    TarmiziIzzati

    cerita yang bagus dan menceritakan tentang seorng ibu yng mengiginkan menantu berkeja bagus supaya hidup senang,kalian harus baca novel ini

    28/01/2022

      1
  • avatar
    PatimahSiti

    good

    10d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru