logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 27

Tepat saat itu pintu ruang IGD terbuka. Seorang pria berbaju putih khas baju dokter keluar.
"Dengan keluarga Bapak Feri?" Dokter itu memandang ke arah mereka bertiga.
******
"Saya, Dok!" Fahri dan Sari menjawab bersamaan. Fahri membiarkan Sari yang maju mendekati dokter itu. Sementara bu Mira menggandeng lengan putranya sambil menatap cemas.
"Maaf Mbak, ada hubungan keluarga apa dengan pasien?" dokter itu menatap Sari dengan serius.
"Saya istrinya. Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" Sari menatap cemas dengan raut wajah tegang.
Dokter itu melepaskan kaca matanya. Ia menghela napas.
"Suami Ibu sedang dalam keadaan kritis, belum sadar. Kepalanya mengalami benturan yang cukup keras. Kami akan berusaha semampu kami. Ibu berdoa saja."
Saya boleh melihat suami saya, Dok?" pinta Sari dengan harap.
"Boleh. Tapi jangan beramai-ramai, ya." Setelah memberi senyum simpati, dokter tersebut beranjak kembali ke dalam.
Sari yang lebih dulu masuk ke dalam ruang IGD. Dalam ruangan yang cukup luas itu, tampak deretan ranjang pasien yang masing-masing dibatasi oleh tirai yang panjang dan cukup rapat. Ia membuka tirai tempat suaminya berada yang terletak paling kanan ruangan. Di sisi ranjang berdiri seorang perawat wanita yang tengah mencatat sesuatu berdasarkan data di layar monitor di hadapannya.
Ia melihat tubuh Feri yang tengah terbaring diam. Sebagian besar kepalanya ditutup perban. Di mulutnya terpasang selang. Ia melihat dada suaminya yang bergerak turun naik. Matanya terpejam rapat. Air mata Sari luruh membasahi pipinya. Ia masih merasa tidak percaya bahwa tubuh yang tengah terbaring diam di hadapannya itu adalah tubuh suaminya yang dua jam lalu masih ia lihat sehat dan bugar. Ia mendekati tubuh itu dan mengecup pelan kening sang suami.
Sepuluh menit kemudian Sari keluar. Gantian bu Mira dan Fahri yang masuk ke dalam. Fahri melihat wajah kakak iparnya yang sembab. Ia agak tidak tega meninggalkan wanita itu duduk sendiri di luar. Namun, ia juga harus menemani ibunya. Khawatir ibunya tidak kuat dan pingsan di dalam.
Di luar Sari duduk terpaku. Tatapannya kosong. Tak lama bu Mira dan Fahri keluar. Ibu mertuanya tengah menangis di pelukan Fahri. Fahri pun memandang iba dan khawatir pada kakak iparnya. Ingin rasanya ia menghibur Sari, tapi ibunya pun membutuhkan dukungan kekuatan darinya.
Melihat sikap menantunya yang hanya duduk diam, bu Mira melepas rangkulannya pada Fahri. Ia ikut duduk di samping Sari sembari menggenggam tangan menantunya.
"Sabar ya, Sar. Kita doakan agar Feri bisa sadar dan sembuh seperti sediakala," ucapnya sambil terisak. Keduanya kini saling berangkulan.
Fahri ikut duduk di samping Sari. Ia teringat sesuatu. "Aldi dan Aldo sama siapa, Mbak?"
Sari menoleh dan menatapnya dengan sayu. "Mbak titip sama tetangga."
Sesaat ketiganya hening.
"Fahri, bagaimana kejadiannya? Kenapa Mas Feri bisa tertabrak angkot?" Tiba-tiba Sari teringat bahwa dirinya belum mengetahui sebab musabab kecelakaan yang menimpa suaminya.
Fahri menghembuskan napasnya. Sejenak ia ragu, apakah harus menceritakan kronologi kejadian sebenarnya. Ia khawatir Sari akan tambah sedih jika mengetahuinya.
"Gimana, Ri? Kenapa kakakmu bisa kecelakaan?" ibunya ikut menimpali.
Akhirnya Fahri menceritakan kronologi kejadiannya sesuai yang diceritakan oleh pria yang mengantarnya ke rumah sakit tadi. Seperti yang diceritakan padanya, ketika kejadian itu terjadi pria itu kebetulan tengah mengobrol dengan juru parkir di tempat itu. Orang itu menyaksikan bagaimana Vera mencoba menghalangi Feri untuk pergi dari minimarket. Hingga akhirnya kecelakaan itu terjadi.
Bu Mira dan Sari ternganga. Ada sorot amarah dalam mata bening milik Sari. Ia tidak menyangka Vera masih saja mengejar-ngejar suaminya. Perlahan sorot mata itu kembali sayu.
"Gimana kondisi Vera?" tanyanya kemudian.
"Ngapain kamu tanya kondisi dia!?" protes ibu mertuanya. "Gara-gara gadis itu suamimu kecelakaan!" ketusnya.
Sari tidak mempedulikan protes ibu mertuanya. Ia menatap Fahri menanti jawaban.
Wajah Fahri berubah muram.
"Vera ... dia meninggal di tempat."
"Apa?" Sari menutup mulutnya. Bu Mira yang awalnya kesal juga ikut terkejut.
"Innalillahi wa innailaihi rojiuun." Sari merasa shock.
"Ya Allah!" seru bu Mira kaget.
Tepat saat itu terdengar suara raungan wanita di ujung lorong.
"Veraaa! Vera anakkuu! Hu ... hu ... hu!" Wanita yang ternyata adalah bu Titi, ibu dari Vera, berlari-lari menuju arah mereka disusul oleh seorang perawat laki-laki.
Mereka bertiga beserta pengunjung lainnya yang berada di situ serentak menoleh. Fahri langsung bangkit berdiri.
Bu Titi tidak mempedulikan kehadiran mereka. Wanita itu berusaha membuka pintu ruang IGD yang langsung dicegah oleh perawat tadi.
"Tenang, Bu! Ibu jangan membuat keributan di dalam!" Perawat tadi memegang lengan bu Titi.
"Anak saya gimana keadaannya!? Saya mau lihat anak saya! Hu ... hu ... hu!" Bu Titi masih menangis dengan meraung.
Melihat adegan itu Sari dan bu Mira hanya bisa menyaksikan sambil ikut menangis.
"Ibu boleh masuk, tapi jangan buat keributan!" ucap perawat itu lagi.
"Mari Bu, saya temani ke dalam." Fahri menawarkan diri dengan sopan.
Bu Titi menoleh ke arah Fahri. Ia baru tersadar. Keningnya berkerut. Wanita itu merasa heran dengan kehadiran mereka bertiga di tempat itu. Namun, Ia menurut saja ketika Fahri menuntunnya masuk ke dalam ruangan.
Tak sampai sepuluh menit, Fahri sudah kembali ke luar bersama perawat pria tadi sembari menggotong tubuh bu Titi yang pingsan.
******
Satu jam setelah kepulangan Fahri dari rumahnya, Fany sudah merasa rindu kembali. Dirinya sadar telah jatuh hati pada pemuda itu. Yang ia lihat, sepertinya Fahri juga menyukainya. Terlihat dari sorot matanya yang sering memandangnya dengan lembut.
Sebelum pulang tadi, Fahri sempat mengajaknya untuk berkunjung ke rumahnya menemui ibunya. Pemuda itu bilang bahwa bu Mira sudah kangen ingin bertemu lagi dengannya. Mendengar hal itu hatinya sungguh merasa bahagia. Sepertinya jalan untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan Fahri terbuka lebar.
Karena pekerjaan dari sekolah tempat ia mengajar lumayan padat, akhirnya ia menunda ajakan Fahri dan mengatakan pada pemuda itu bahwa ia akan datang  pada hari Sabtu berikutnya saja.
Fany memainkan ponselnya. Setengah jam yang lalu ia telah mengirim pesan kepada Fahri, berpura-pura menanyakan apakah pemuda itu sudah tiba kembali di rumahnya. Namun, pesannya masih centang dua abu-abu. Padahal Ia lihat Fahri terakhir online sekitar lima belas menit yang lalu. Mengapa Fahri belum juga membuka pesan darinya?
Hal itu cukup membuatnya resah dan bertanya-tanya. Namun, ia juga malu pada dirinya sendiri yang baru segitu saja sudah membuatnya kelimpungan. Bagaimana jika mereka benar-benar sudah menjadi sepasang kekasih. Ia tidak mau menjadi wanita yang terlalu posesif pada pasangannya.
Diintipnya lagi pesannya. Masih sama, belum terbaca. Akhirnya ia putuskan untuk sholat Dzuhur dahulu, agar hati dan pikirannya kembali tenang.
******
Sari bersama bu Mira memutuskan untuk pulang dahulu. Ia ingin menengok keadaan kedua putranya. Sekalian mengisi perutnya dan membersihkan diri. Rencananya nanti sore ia akan kembali ke rumah sakit bergantian dengan Fahri.
Fahri tengah menatap layar ponselnya.  Ia baru saja membuka pesan dari Fany yang sejak tadi ia abaikan karena situasi dan kondisi. Ia bingung apakah harus menceritakan kejadian yang tengah menimpa keluarganya. Ia tidak mau merepotkan gadis itu. Lagipula ia belum lama mengenalnya. Akhirnya ia putuskan hanya mengirim emot senyum kepada gadis itu sebagai balasan.

Komentar Buku (214)

  • avatar
    Jaka89

    mantap sudah sangat menghanyutkan kalau membaca jadi nagih pingin membaca terus

    04/04/2022

      0
  • avatar
    TarmiziIzzati

    cerita yang bagus dan menceritakan tentang seorng ibu yng mengiginkan menantu berkeja bagus supaya hidup senang,kalian harus baca novel ini

    28/01/2022

      1
  • avatar
    PatimahSiti

    good

    5d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru