Sari melihat jam di dinding. Sudah setengah jam lebih Feri belum juga kembali dari membeli pulsa. Tadi suaminya berkata ingin membeli pulsa di minimarket depan, dekat jalan besar. Jika hanya membeli pulsa, paling hanya membutuhkan waktu paling lama dua puluh menit pulang pergi dengan motor. "Feri kemana, Sar? Beli pulsa kok lama sekali!" cetus ibu mertuanya yang baru saja keluar dari kamarnya. "Iya, Bu. Mungkin ada yang lain yang Mas Feri mau beli." "Memangnya dia beli pulsa di mana?" ibu mertuanya mengernyit. "Di minimarket depan, Bu." "Oh. Coba kamu telpon dia!" titahnya. "Baik, Bu." Sari segera meraih ponselnya dan menghubungi Feri. "Gak diangkat, Bu." Sari mematikan panggilannya. "Kemana sih dia!" bu Mira tampak gusar. "Memangnya kenapa, Bu? Ibu ada perlu sama Mas Feri?" "Iya! Ini si Fahri kok belum kembali juga. Ibu mau nyuruh dia telpon si Fahri. Pulsa Ibu habis." "Oh, kalau begitu biar Sari yang telpon Fahri aja, Bu. Sari masih ada kuota buat nelpon," tawarnya. "Ya coba kamu telpon dia! Jadi gak si Fany diajak kemari?" "Baik, Bu," turut Sari. Baru saja ia ingin menelpon adik iparnya, tiba-tiba Fahri telah lebih dulu menelponnya. "Halo, Assalammualaikum!" salamnya. Terdengar suara keramaian di ujung sana, tanpa ada suara Fahri yang menjawab. "Halo?" Sari mengulangi menyapa sembari mengerutkan kening. "Mbak!" terdengar suara lirih adik iparnya. "Ya? Kamu di mana Fahri? Ibu nanyain kamu." "Mbak!" hanya itu jawaban dari Fahri yang kali ini terdengar serak. "Fahri? Kamu kenapa?" Mendadak Sari merasa khawatir, tapi ia tidak mempunyai bayangan apa-apa. "Kenapa Sar? Fahri kenapa?" desak bu Mira ingin tahu. Melihat rona kekhawatiran di wajah menantunya, ia pun jadi ikut merasa khawatir. "Halo, Ri?" Sari mencoba memanggil kembali. Tiba-tiba panggilan terputus. "Telponnya mati, Bu," terangnya dengan kening berkerut. ***** Fahri merasa tubuhnya lemas. Ia tidak mampu mengabarkan berita kecelakaan ini pada istri kakaknya, terlebih pada ibunya. Tadinya ia sempat mengira bahwa korban satunya yang seorang wanita adalah kakak iparnya. Dengan menguatkan hati ia sempat mendekati dan membuka sehelai koran yang menutupi tubuh wanita yang tidak bergerak itu untuk memastikan. Ternyata bukan Sari. Ia mengenali wajah itu sebagai Vera, dan hal itu sempat membuatnya bingung. Namun, ia tidak punya waktu untuk berpikir lebih lanjut. Kakaknya harus segera dibawa ke rumah sakit. Saat ini dirinya sedang berada di dalam mobil ambulan yang membawa Feri. Kondisi kakaknya tengah kritis. Di tubuh dan wajahnya terpasang berbagai peralatan medis. Ia melirik ke layar monitor yang berada di sebelah kirinya. Detak jantung Feri masih ada, tapi sangat lemah. Setiba di rumah sakit Feri langsung dibawa ke ruang IGD. Di luar Fahri duduk ditemani oleh seorang pria yang menjadi salah satu saksi mata kejadian itu. "Minum dulu, Mas!" orang itu mengulurkan sebotol air mineral padanya. "Terima kasih, Pak!" jawabnya lesu pada pria berusia sekitar 40 tahunan itu. Setelah meneguk minumannya, ia memandang pria itu. "Kronologi kejadiannya gimana ya, Pak?" ****** Setelah Fahri memutuskan panggilannya begitu saja, Sari berupaya menelponnya kembali. Dua kali ia mencoba, tapi Fahri tidak juga menjawab. Ketika ingin mencoba untuk ketiga kalinya, tiba-tiba terdengar seruan dari luar yang memanggil nama ibu mertuanya. "Buu! Bu Miraa!!" Sari dan bu Mira saling berpandangan. Wanita yang dipanggil namanya itu bergegas melangkah ke depan. Sari mengikutinya. "Ada apa, Mas Arif?" tanya bu Mira pada seorang laki-laki muda yang merupakan tetangganya itu. Dilihatnya ada dua orang lagi yang menyertainya. "Bu ... Mas Feri!" pemuda yang bernama Arif itu menjeda ucapannya. Ia melirik iba pada Sari. "Kenapa dengan Feri?" tanya bu Mira dengan nada sedikit panik. "Ada apa dengan suami saya?" timpal Sari dengan suara lebih panik. Melihat ekspresi ketiga wajah pemuda itu yang saling berpandangan dengan raut tegang mengindikasikan ada berita yang tidak baik. "Maaf Mbak, Bu, mas Feri—kecelakaan! Motornya ditabrak angkot!" "Apa!?" seru bu Mira kaget. "Astaghfirullah! Di mana, Mas!?" teriak Sari dengan shock. "Di-di depan sana, Mbak! Cuma katanya sudah dibawa ambulan ke rumah sakit." "Ya Allah anakkuu!" Bu Mira menutup mulutnya dan mulai menangis. Melihat ibu mertuanya menangis, Sari menjadi blank sesaat. Tubuhnya membeku. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan buruk. "Mas Fahri tadi juga ada di sana, Bu. Sudah ikut juga ke rumah sakit nganter Mas Feri," lanjut pemuda itu lagi. "Apa? Fahri?" Sari tersadar. Langsung ia teringat niatnya tadi untuk menelpon adik iparnya. "Cepat telpon Fahri, Sar! Tanyakan kondisi Feri bagaimana!" seru ibu mertuanya dengan masih menangis. Dengan tangan gemetar Sari mencoba menghubungi Fahri kembali. ****** "Drrt ... drrtt! Ponsel Fahri kembali berdering. Sejak ia memutuskan hubungan telpon dengan Sari tadi, sudah ada beberapa kali panggilan pada ponselnya. Namun, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, ia belum sempat menerimanya. "Assalammualaikum, Mbak!" suaranya terdengar serak. "Fahri! Kamu di mana!? Gimana kondisi Mas Feri!?" terdengar suara Sari yang menangis di ujung sana. Fahri tercekat. Ia bingung sesaat, bagaimana Sari bisa mengetahui kejadian ini. Sedetik kemudian otaknya kembali bekerja. Mungkin sudah ada tetangga yang mengabari, pikirnya. "Fahri! Ini Ibu! Gimana kakakmu!?" kali ini terdengar suara ibunya yang menangis. Bu Mira tadi langsung mengambil alih ponsel dari tangan menantunya. "Mas Feri—dirawat di ruang IGD, Bu. Ibu sama Mbak Sari ke sini saja!" jawabnya. Ia tidak berani mengatakan kondisi kakaknya yang tengah kritis. "I-iya, Ri. Ibu sama Mbakmu segera ke sana!" Fahri mematikan panggilan. Ia menyenderkan punggungnya ke sandaran bangku ruang tunggu IGD. Pikirannya menerawang. Sungguh, ia merasa takut akan kemungkinan buruk yang terjadi. Melihat kondisi Feri tadi, butuh keajaiban dari-Nya agar kakaknya bisa tertolong. Ia sedih memikirkan ibunya, juga sedih memikirkan Sari dan dua keponakannya. Setengah jam kemudian dari ujung lorong dilihatnya ibu dan kakak iparnya berjalan tergopoh-gopoh menuju arahnya. Ia pun berdiri. "Gimana kondisi kakakmu, Ri? Kenapa dia bisa kecelakaan!?" ibunya menangis sembari memegang kedua tangannya. "Tenang Bu, Mas Feri sedang ditangani oleh dokter. Kita doakan saja Mas Feri." Fahri memeluk erat ibunya. "Gimana keadaan Mas Feri, Ri? Apa yang terjadi? Kenapa Mas Feri bisa kecelakaan?" Kali ini Sari yang menuntut jawaban darinya. Fahri melonggarkan pelukannya pada ibunya. Dipandangnya wajah pucat dan sembab milik kakak iparnya. "Kita doakan saja Mas Feri, Mbak. Mas Feri ... keadaannya kritis." Ia memandang iba dan sayu wajah yang selama ini diam-diam dipujanya itu. "Apa? Feri kritis?" bu Mira kaget. Tepat saat itu pintu ruang IGD terbuka. Seorang pria berbaju putih khas baju dokter keluar. "Dengan keluarga Bapak Feri?" Dokter itu memandang ke arah mereka bertiga.
Terima kasih
Dukunglah penulis untuk menghadirkan kisah-kisah yang luar biasa untuk Anda
Biaya 22 berlian
Keseimbangan: 0 Berlian ∣ 0 Poin
Komentar Buku (216)
Jaka89
mantap sudah sangat menghanyutkan kalau membaca jadi nagih pingin membaca terus
04/04/2022
0
TarmiziIzzati
cerita yang bagus dan menceritakan tentang seorng ibu yng mengiginkan menantu berkeja bagus supaya hidup senang,kalian harus baca novel ini
mantap sudah sangat menghanyutkan kalau membaca jadi nagih pingin membaca terus
04/04/2022
0cerita yang bagus dan menceritakan tentang seorng ibu yng mengiginkan menantu berkeja bagus supaya hidup senang,kalian harus baca novel ini
28/01/2022
1tap
1d
0Lihat Semua