logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

BAB 7

Kokok ayam jantan bersahutan, membangunkan seisi semesta. Pagi ini, Randa bangun masih sangat pagi.
Tidak seperti biasanya, karena hari ini dia menginap di rumah ibunya. Dengan sangat terpaksa dia harus tidur di ruang tengah, beralaskan karpet. Karena di rumah orang tuanya saat ini masih ada kakaknya Mayang bersama keluarganya otomatis tiga kamar yang ada di rumah ini terpakai semua. Kamar utama di pakai oleh Ibu dan Bapaknya.
Kamar tamu di gunakan oleh Mayang dan Suaminya Deon.
Sedangkan kamar yang satunya di pakai oleh anak-anak pasangan itu. Jadi mau tidak mau dia terpaksa menginap di ruang tengah.
Badannya terasa pegal-pegal karena tidur hanya beralaskan karpet saja. Belum lagi badannya gatal-gatal karena di gigit oleh nyamuk, sehingga baru menjelang pagi dia baru bisa tidur dengan nyenyak.
“Bu, aku pamit pulang dulu ya,” kata Randa menemui ibunya di dapur, sedang menyiapkan sarapan untuk keluarganya.
“ Lho … lho mau kemana, kamu? Jangan bilang kalau kamu mau pulang, mau menemui perempuan itu! Pokoknya ibu ga ikhlas Randa, apalagi kamu sampai minta maaf?!” Kata ibunya dengan keras.
Mendengar ibunya bicara dengan keras Randa hanya bisa menundukan kepalanya, tanpa berani membantah omongan ibunya.
“Iya, ngapain kamu pulang, mau merendahkan harga diri di hadapan Lana. Jadi suami itu harus punya harga diri. Jangan maulah sampai di injak-injak oleh istri. Yang punya kuasa di rumah tangga itu suami sebagai kepala keluarga?” ejek Mayang kakaknya.
Muka Randa terlihat memerah ketika mendengar ejekan Mayang.
Matanya menatap Mayang dengan nyalang, tetapi dia tidak punya keberanian untuk melawannya, karena ibunya pasti akan membela Kakak perempuannya itu.
“Iya, ibu heran kenapa punya anak laki koq ya lemot banget kalau menghadapi istrinya. Kayak b*n*i saja,” ucap ibunya dengan nada kesal.
“Tapikan Randa mau kerja bu, gimana Randa mau kerja kalau semua peralatan ada di rumah. Ibu mau Randa disini saja tidak usah kerja?” tanya Randa dengan tatapan memelas ke arah ibunya.
“Sudah Bu, sepagi ini kalian sudah berdebat. Kenapa Randa di larang pulang? Kejadian ini terjadi karena salah dia juga, sudahlah bu biarkan Randa pulang. Atau Ibu mau dia di pecat dan jadi pengangguran!” Kata Pak Budi sambi menatap tajam kepada istrinya.
Bu Asih yang di nasehati hanya ngedumel sambil memanyunkan bibirnya,
“Mama juga, adeknya sedang ada masalah bukannya di tenangin ini malah dipanas-panasi. Harusnya sebagai kakak, Mama mampu menjadi penengah buat Adekmu dan Istrinya, bukannya malah menghasut dia. Papa ga mau ya, kejadian seperti ini terulang lagi. Kalau Mama menambah masalah, mending kita pulang saja hari ini!” Kata Deon dengan tegas, ikut menasehati Mayang.
Yang di nasehati langsung manyun, bibir dah m*ny**g lima senti aja.
“May, mending kamu bantuin Ibu kamu membuat sarapan. Sebentar lagi anak-anakmu bakal bangun. Kasian kalau nanti mau sarapan belum siap, bapak juga sudah mau berangkat ke kebun,” kata bapaknya.
“Iya pak,” jawab Mayang.
“Kamu Randa, kalau mau pulang ya pulang saja, jangan lupa minta maaf ke istri kamu, sebagai laki-laki kamu harus bersikap ksatria mau mengakui kesalahan yang telah kamu perbuat, itu tidak akan merendahkan harga diri kamu sebagai laki-laki, jangan sampai berbuat kasar terhadap perempuan. Apalagi perempuan itu adalah istri kamu, camkan kata-kata bapak ini. Jangan kamu ulangi lagi!” Nasehat bapaknya kepada Randa yang hanya di jawab dengan anggukan kepala oleh Randa.
Randa tidak pernah berani membantah omongan orang tuanya, apalagi bapaknya.
“Randa pamit ya Pak, Bang,” kata Randa.
“Iya … hati-hati kamu,” jawab Bapaknya dan mendapat anggukan saja dari Deon.
Dengan cepat Randa pulang, sebelum ibu dan kakaknya kembali berulah. Untungnya kedua perempuan itu sudah berada di dapur untuk masak sarapan. Kalau tidak yanga ada bakal ada kicauan episode kedua di pagi ini.
Jarak rumah yang Randa dan Lana tempati dengan rumah orang tua Randa tidak begitu jauh, karena masih satu kampung. Tapi kalau berjalan kaki mungkin sekitar lima belas menit. Setelah lima menit mengendarai sepeda motor sampailah Randa di rumahnya.
Ketika membuka pintu pagar mata Randa terbelalak, melihat seragam kerja dan peralatan ke kantornya sudah ada di meja teras.
“Dek … dek!” panggilnya dengan kencang. Tapi tidak ada sahutan dari dalam rumah.
Tok! Tok! Tok! Tok!
Randa menggedor pintu rumah sedikit kencang, terlihat dari wajahnya yang memerah menahan kekesalan.
Dari dalam rumah Lana dapat mendengar dengan jelas, kalau Randa datang dan memanggilnya.
Lana pura-pura tidak mendengar panggilan suaminya itu. Bahkan dia sengaja mengunci semua pintu rumah dan tidak membuka jendela satu pun.
Sengaja juga, subuh-subuh tadi Lana menyiapkan pakaian dan semua peralatan kerja Randa dan meletakkannya di meja teras.
“Dek, buka pintunya! Gimana abang mau mandi dan bersiap untuk berangkat ke kantor, kalau pintu rumah tidak mau kamu buka?” Kata Randa.
Lana masih membisu di balik pintu. Malas sekali dia membuka pintu, mengingat semua perlakuan Randa dan keluarganya.
Tok! Tok! Tok! Tok!
“Ayolah dek! Kamu kenapa sih, kelakuan masih seperti anak kecil. Cobalah bersikap dewasa. Aku bisa terlambat kalau begini!” Teriak Randa dengan kencang sambil menggedor pintu rumahnya.
Lana sama sekali tidak bergeming, mendengar teriakan Randa. Dia sudah masa bodo.
Emang gue pikirin, lo mau mandi dimana kek, mo telat kek bukan urusanku, batin Lana.
Randa yang sudah terlihat emosi, masih saja menggedor pintu dengan keras.
“Lho Mas Randa, Mbak Lananya belum mau bukain pintu ya?” tanya Mbak Nur yang tiba-tiba sudah ada di sebelah Randa, karena mendengar suara gaduh dari sebelah rumahnya.
Randa kaget sekaligus malu, karena dari tadi malam dia tidak bisa masuk kerumah, dan membuat tetangga jadi bergosip macam-macam nantinya.
“Eh iya mbak, belum bisa masuk. Mungkin Lana sedang tidak ada dirumah, mungkin lagi ke pasar mbak,” kata Randa membuat alasan.
“Tapi koq ini, baju dinas dan peralatan ngantor mas Randa ada disini.” Kata Mbak Nur lagi sambil menunjuk kearah meja teras.
“Ooooo ituu ….” Jawab Randa bingung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Memangnya Mas Randa sama Lana sedang ada masalah ya?” tanya Mbak Nur mencecar Randa dengan pertanyaannya bertubi-tubi.
Membuat Randa jadi bingung harus menjawab apa.
Yang jelas, dia tidak mau kalau kesalahannya telah menampar Lana menjadi konsumsi publik. Dia tidak mau citranya sebagai salah satu perangkat desa, di desa itu menjadi buruk.
“Engga Mbak, sama sekali engga, semalam Lana sudah ketiduran. Jadi dia tidak bisa membuka pintu. Kalau sekarang sepertinya dia sudah berangkat ke pasar, Mbak.” Kata Randa menjelaskan permasalahannya pada Mbak Nur.
“Oooo, ya sudah kalau begitu, aku tinggal ya Mas,” kata Mbak Nur.
“Iya Mbak, silahkan,” jawab Randa.
Hhhhfffff … lega, batin Randa setelah di lihatnya Mbak Nur sudah kembali masuk ke dalam rumahnya.
“Ayolah dek, buka pintunya! Atau ku pecahkan jendela rumah ini!” Ancam Randa.
*****

Komentar Buku (117)

  • avatar
    LaeBambang

    manatapA

    9h

      0
  • avatar
    SukijanSuki

    saya baru coba semoga berhasil

    1d

      0
  • avatar
    Yudi Soraya

    Saya mau Diamond

    4d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru