logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

BAB 6

******
“Apa ini, Randa?!” tanya Bu Asih sambil menarik bungkusan yang di berikan Randa kepada Lana.
“Hmmm, i-itu hapenya Lana bu.” Kata Randa lirih tanpa berani menatap ibunya yang tiba-tiba saja muncul.
Bu Asih segera membongkar bungkusan yang sudah ada di tangannya, sambil mengomel,”Ooooh bagus ya, belikan saja barang-barang baru buat istri kamu.
Memangnya buat apa beli hape baru buat Lana, diakan sudah punya hape, pantesan uang gaji kamu cepat habis. Ternyata wanita ini yang menghabiskannya untuk membeli barang-barang yang tidak penting!” teriak ibunya sambil menatap Lana tajam.
Lana yang di tatap, balik menatap ibu Randa dengan tajam. Dia tidak terima selalu di tuduh menghabiskan uang gaji Randa.
Dikit-dikit dia yang menjadi kambing hitam oleh mertuanya, walaupun kadang masalah muncul dari Randa.
“Maaf bu, bang Randa membelikan Lana hape karena tadi malam bang Randa membanting hape Lana sehingga rusak, jadi sekarang bang Randa mengganti hapenya dengan hape yang baru,” kata Lana membela diri.
“Apaaa kamu bilanga, Randa merusak hape kamu? Sudah bisa melawan kamu, pasti kamu bertingkah sehingga Randa membanting hape kamu. Atau jangan-jangan kamu ketauan selingkuh, jadi Randa merusak hape kamu!”
“Maksud ibu apa bicara begitu, coba tanyakan sendiri kepada anak laki-laki ibu. Faktanya seperti apa. Jangan apa-apa asal menuduh saya!” jawab Lana tegas.
“Ibu ga mau tau, urusan hape mu rusak itu urusan kamu, bukan urusan Randa. Ga ada istilah ganti-ganti dengan hape baru.” Jawab mertuanya nyolot.
“Memangnya saya ini siapanya Randa bu, saya ini istrinya bu! Kalaupun bukan istrinya, orang yg sudah bikin rusak hape saya, harus tetap menggantinya,” kata Lana tidak mau kalah sambil menarik bungkusan hapenya kembali.
Alhasil bungkusan itu sudah ada di tangan Lana. “Awwwwas kamu ya! Kamu ga ada hak atas uang anak saya!” teriak mertuanya kencang.
“Kalau saya ga berhak lalu siapa yang berhak, Ibu?!” tanya Lana sinis, setengah membentak.
Plaaak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Lana. Yang ternyata berasal dari Randa. Membuat Lana mundur beberapa langkah.
“Iya … saya, saya yang lebih berhak. Saya ibunya, sedangkan kamu hanya wanita yang kebetulan mengurusi dia!” jawab mertuanya sambil tersenyum puas melihat Lana di tampar Randa.
Lana terhenyak, dia tidak menyangka kalau Randa akan menamparnya di hadapan ibunya dan ibu mertuanya bahkan mengatakan hal yang sangat buruk.
Lana menatap Randa dan mertuanya dengan tatapan nyalang, sedangkan Randa hanya menunduk menyesali yang terjadi.
“Baiklah bu, bang ternyata selama ini aku bukan dianggap sebagai istri dan menantu oleh kalian. Aku … aku hanya di anggap babu, ambil hape ini. Aku ga butuh.” Kata Lana sambil berlalu dari mereka menuju kamarnya.
Sebisa mungkin Lana menahan air matanya agar tidak jatuh di hadapan mertua dan suaminya. Pantang baginya untuk menunjukkan kelemahannya.
“Dek …dek ,” panggil Randa tanpa di pedulikan oleh Lana.
“Sudahlah, buat apa di kejar. Nanti juga baikan sendiri, dia pantas koq mendapatkan itu,” kata ibu mertuanya, masih dapat di dengar Lana dari dalam kamar.
Di kamar dia menangis tergugu, tidak dapat menerima penghinaan yang telah di lakukan oleh Suami dan Mertuanya.
Selama ini seburuk apapun perlakuan mereka dia masih dapat menerimanya. Dengan menelan semua omelan dari mereka di dalam hati. Tapi ini suaminya dengan tega menamparnya hanya karena ia berkata agak keras kepada ibu mertuanya.
Dengan cepat dia membereskan barang-barang yang ada di dalam lemari dan memasukkannya ke dalam tas.
Ketika dia keluar kamar, suasana rumah sudah sepi, tidak nampak lagi mertuanya dan keponakannya.
Bahkan dia tidak menemukan Randa di rumah, sudah pasti suaminya itu pergi mengantarkan mertua dan keponakannya pulang. Laki-laki itu tidak pernah mencoba mengalah ataupun bahkan minta maaf duluan, atas semua perbuatan yang dia lakukan terhadap Lana.
Dapurnya bahkan acak-acakan, setelah di lihatnya panci tempat sop, yang dia buat tadi pagi sudah kosong, begitu juga lauk yang ada di meja makan. Mertuanya mungkin sudah membawa pulang semua makanan yang dia masak, bahkan tidak meninggalkan sedikitpun makanan untuknya.
Air matanya kembali mengalir saking kesalnya, tanpa memikirkan apa-apa lagi segera dia mengunci pintu pagar dan pintu rumahnya. Dia tidak ingin nanti malam Randa pulang dan masuk kerumahnya. Biarkan saja dia menginap di rumah ibunya.
Malam ini dia hanya masak telor mata sapi untuk lauknya, walaupun rasanya dia sama sekali tidak punya nafsu makan. Untuk menelan makanan pun rasanya amat sulit.
“Dek … dek! Buka pintunya!” terdengar teriakan Randa memanggil-manggil Lana.
Lana pura-pura tidak mendengar, dia fokus saja menonton TV. Sengaja TV dia putar dengan keras. Seakan tidak dapat mendengar kalau Randa datang, minta di bukakan pintu pagar.
“Argghhhh, kemana sih Lana!” teriak Randa frustasi.
Karena hampir satu jam walau di panggil dan di gedor pagar tapi tetap saja Lana tidak mau membuka pintu pagar.
Randa terpaksa diam, karena para tetangga keluar rumahnya masing-masing ketika mendengar keributan yang di buat Randa.
“Mas Randa kenapa?” tanya Mbak Nur.
“Ehhh, ini Mbak Nur nyariin Lana. Pintu pagar terkunci, tadi saya kerumah ibu lupa membawa kunci rumah.” Kata Randa ketika di tanya mbak Nur.
“Kayaknya ada mbak Lananya mas di dalam. Soalnya tadi ga ada yang keluar rumah,” kata mbak Nur lagi.
“Iya mbak, mungkin dikiranya aku ga pulang, ya sudah mbak saya balik ke rumah ibu saja,” kata Randa malu.
******
Malam itu Randa akhirnya kembali lagi kerumah ibunya, dan menginap di sana.
“keterlaluan istri kamu, masak ga mau bukain kamu pintu. Hal sepele terlalu di besar-besarin,” kata ibunya.
Randa hanya diam tanpa bermaksud menjawab.
“Emangnya kenapa, sampai istri kamu tidak mau ngebuka pintu?” Tanya bapaknya.
“A-aku ga sengaja nampar dia pak,” kata Randa takut-takut.
“Pantes, kalo istri kamu begitu, kamu memang ga ada akhlak. Istri bukan disayang malah di pukul, laki-laki sejati tidak akan pernah memukul perempuan, yang berani memukul perempuan itu namanya banci,”kata bapaknya sambil melotot.
“Alaaaah, Bapak selalu saja membela perempuan kota itu, dia itu kurang ajar sama ibu. Wajar kalau di pukul oleh Randa,” kata ibunya Randa nyelekit.
“Bapak sudah menduga pasti ada campur tangan ibu, Lana ga akan pernah berbuat hal seperti ini kalau bukan karena ibu dan Randa yang berulah, besok kamu minta maaf sama Lana!” kata bapaknya.
“Jangan Ran, nanti besar kepala dia,” kata ibunya sewot, melarang Randa untuk meminta maaf kepada Lana.
****

Komentar Buku (117)

  • avatar
    LaeBambang

    manatapA

    9h

      0
  • avatar
    SukijanSuki

    saya baru coba semoga berhasil

    1d

      0
  • avatar
    Yudi Soraya

    Saya mau Diamond

    4d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru