logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

BAB 4

******
Mengenal orang lain adalah kecerdasan, mengetahui diri sendiri adalah kebijaksanaan sejati. Menguasai orang lain adalah kekuatan, menguasai diri sendiri adalah kekuatan sejati.
*****
“Dek … dek!” teriak Randa mengejutkan Lana yang baru selesai sholat magrib, sehingga ia bergegas menemui Randa yang baru masuk rumah.
“Assalamualaikum dulu bang, ada apaan sih bang, teriak-teriak begitu, bikin kaget aja?” Tanya Lana.
“Uang … mana uang?” Tanya Randa mengacuhkan pertanyaan yang Lana sampaikan.
“Buat apa?” Tanya Lana lagi.
“Bayar ojek dek, cepat!” Teriak Randa, sambil mendorong Lana ke depan rumah tempat kang ojek menunggu.
“Berapa bang?” Tanya Lana, sambil mengambil uang di dompetnya.
‘Sepuluh ribu neng,” kata kang ojek.
Setelah memberikan uang kepada tukang ojek, bergegas Lana masuk ke rumah.
“Bang, emang tadi kerumah ibu ga bawa dompet?” Tanya nya.
“Bawa, Cuma aku ga ada uang kecil,” jawab Randa.
“Kan biasanya tukang ojek punya kembaliannya bang,” kata Lana lagi.
“Sudahlah dek pakai uang mu dulu kenapa sih, jangan pelit-pelit nanti kuburan jadi sempit kata pak ustadz?” Sahut Randa, sambil mengambil pisang goreng yang Lana hidangkan di atas meja makan.
“Lho, tadi pagi pakai uangku buat belanja keperluan dapur dan belanja keperluan yang ada di rumah ibumu, mana sini aku minta ganti,” kata Lana.
“Kamu perhitungan banget sih dek, apa-apa minta ganti. Sama suami jangan perhitungan, nanti kamu ga bisa mencium bau surga,” jawab Randa.
“Apa bang, a-aku perhitungan! Selama ini semua kebutuhan rumah dan kebutuhan aku sendiri hampir selalu memakai uangku!” jawab Lana sewot.
“Ahhh sudahlah dek, sebegitu saja kamu perhitungkan. Harusnya kamu itu mikir dek selama tinggal bersama berapa banyak uang yang aku habiskan untuk kamu, menyesal aku menikahi kamu?!” teriak Randa tidak mau kalah.
“Menyesal kamu bilang? Wajar saja bang kamu menghabiskan uang untukku, aku ini istrimu. Kalau memang tidak mau menghabiskan uang buat kebutuhan istri, kamu jangan menikah saja dulu.” Kata Lana sambil memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sesak mendengar omongan suaminya yang jarang di filter dan sering membuat dia sakit hati.
Randa memang seakan tidak peduli yang terjadi dia dengan santainya tetap melanjutkan makan pisang goreng.
Padahal dulu ketika pacaran Randa tidak begini dia orang yang tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar dan sangat loyal. Jangankan kepada Lana, kepada Nenek Lana pun dia sangat loyal. Itu membuat Lana jatuh hati kepadanya.
Sekarang jangankan berkata manis, setiap ucapan bahkan tindakannya selalu saja menghujam ke hati Lana.
******
Yang paling membuat Lana kesal adalah, setiap kali belanja baik kebutuhan rumah tangga Randa selalu memakai uang Lana. Dengan dalih pake uang Lana dulu nanti bakal di ganti. Kalau dia memberikan nafkah perbulannya sesuai dengan kebutuhan keluarga mereka mungkin atau memberikan semua gajinya mungkin Lana merasa wajar kalau Randa meminta ia yang membayar belanjaan untuk kebutuhan Randa. Tapi ini Randa hanya memberikan gajinya seperempatnya saja.
Randa memang tau kalau setiap bulan Lana pulang ke kota ke rumah orang tuanya, dan pulang selalu mendapatkan uang dari keluarganya. Memang Lana tidak pernah merahasiakan apapun dari Randa.
******
Setelah sholat isya, Randa melihat ke meja makan. Dia bermaksud makan malam. Tapi tidak menemukan apapun di bawah tudung saji.
“Dek … dek, kamu ga masak ya hari ini?” tanyanya.
Tidak ada sahutan dari lana yang berada di dalam kamar, itu membuatnya kesal dan ….
“Dek, koq ga ada apa-apa di meja makan?” tanyanya lagi.
Lana tetap diam membisu, dia masih sangat kesal dengan omongan Randa tadi.
“Jawab! Kamu tuli ya, ga bisa jawab aku!” bentak Randa.
Lana hanya diam, sambil tetap memainkan gawainya.
Praaakhhh!
Randa mengambil gawai Lana dan melemparkannya ke lantai, Lana yang kaget langsung mendongakkan kepalanya menatap kearah Randa dengan mata membulat seakan tidak percaya.
“itulah akibatnya kalau kamu tidak memperdulikan aku, ketika aku bertanya, tapi kamu sama sekali tidak merespon apapun!” bentak Randa sambil menatap Lana tajam mengintimidasi, yang tandanya dia sedang marah kepada wanita itu.
“Maaf Pak Randa, aku tidak masak … tadi pagi aku sudah masak bukan? Terus tadi siang aku juga sudah masak, tapi semuanya ada di rumah ibumu.silahkan saja makan di rumah ibumu. Bukankah kamu merasa sangat rugi untuk memberi ku makan, kamu sudah banyak menghabiskan uang untukku selama ini. Jadi mulai sekarang supaya kamu ga rugi ngebiayain makan aku, kita makan masing-masing saja!” Tegas Lana sambil menatap Randa dengan nyalang.
Randa sangat terkejut melihat Lana berkata seperti itu, dia tidak menyangka apa yang tadi sore di ucapkannya membuat Lana marah.
Nyalinya jadi menciut karena selama ini Lana tidak pernah membantah ucapannya, ataupun sampai membentaknya balik seperti sekarang ini. Bahkan berani menatap balik dengan tatapan membunuh. Ini bukan Lana yang dia kenal.
“Bu-bukan seperti itu dek,” katanya sambil menatap Lana lembut. Tapi Lana langsung membuang muka.
“Oh iya satu lagi, hape ku itu aku beli sendiri ketika kita bahkan belum kenal, karena sekarang kamu yang membuatnya pecah seperti ini, kamu harus menggantinya!” Kata Lana dengan tegas.
“Koq gitu dek, tidak bisa begitu donk. Habisnya kamu ga mau jawab ketika aku tanya,” kata Randa membela diri.
“Terserah aku ga mau tau ya, besok hapeku sudah ada,” kata Lana lagi sambil berlalu meninggalkan Randa sendirian di kamar.
Dia berencana untuk tidur di kamar tamu saja, daripada harus satu kamar dengan Randa malam ini. Rumah ini terdiri dari empat kamar, satu kamar utama yang biasanya di tempati neneknya sebelum pindah ikut pamannya di kota, bersebelahan dengan kamar tamu. Sedangkan Lana dan Randa menempati kamar di belakang dekat dengan ruang makan.
Ahhh lelahnya menghadapi hari ini kata Lana dalam hati. Setelah dia berbaring sambil memandang gawainya yang telah pecah.
Bukan sekali atau dua kali dia menghadapi kekasaran Randa, selama ini dia hanya diam dan berharap suaminya akan berubah.
Nyatanya semakin sering Randa melakukannya. Mungkin ini saatnya dia harus bertindak lebih tegas lagi. Dia tidak mau selamanya di injak-injak suami dan keluarga suaminya.
Sempat terbesit dalam hatinya untuk berpisah saja, tapi sungguh bukan itu yang harus dia lakukan. Karena baginya pernikahan yang baru seumur jagung ini masih layak untuk di pertahankan.
******
Paginya, Lana melanjutkan hari seperti hari yang sudah-sudah, setelah sholat subuh dia menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Belanja ke tukang sayur sebelum kesiangan, karena kalau telat, alhasil dapat sisa-sisa saja.
“Lana … Lana!” terdengar ada yang memanggilnya dengan kerasa dari depan pagar.
****

Komentar Buku (117)

  • avatar
    LaeBambang

    manatapA

    9h

      0
  • avatar
    SukijanSuki

    saya baru coba semoga berhasil

    1d

      0
  • avatar
    Yudi Soraya

    Saya mau Diamond

    4d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru