logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Empat

Empat
Wajah Pak Harsono berubah tegang. Ia menatapku dan Stefan bergantian.
"Se-baiknya ... sebaiknya kau pertimbangkan lagi. Nila ini, dia benar-benar bukan orang sembarangan. Kau tidak akan bisa mengalahkannya," ucapnya sambil menatap Stefan.
"Oh ya? Aku tidak percaya diriku tidak bisa menangani gadis kecil kurus sepertinya."
Ucapannya yang terkesan meremehkan itu membuatku semakin tertantang. Kalau dia merasa begitu hebat, lantas untuk apa repot mencari perlindungan?
"Baiklah, kita bertanding sekarang. Kau mau dengan senjata atau tanpa senjata?" tantangku.
"Cukup tangan kosong saja. Ingatlah aku tidak akan lunak padamu meski kau seorang wanita."
"Bagus. Harap kau ingat juga bahwa akupun tidak akan lunak padamu karena kau adalah calon klienku."
Dia tersenyum dan segera bergerak maju. Tangannya terkepal seolah hendak meninjuku. Aku tersenyum tipis.
Dasar bodoh. Ia bahkan tidak memiliki kemampuan untuk bisa menyentuhku sedikit saja, ucapku dalam hati. Kulihat dia juga tersenyum. Sepertinya dia yakin sekali akan bisa mengalahkanku.
Saat bogem mentah hampir mengenai perutku, aku secepat kilat berkelit menghindar. Kemudian kucekal pergelangan tangannya dengan erat. Kutarik dan kujegal kakinya, kemudian membanting pemuda itu ke lantai. Kupuntir tangannya ke punggung. Wajahnya tampak menyeringai kesakitan.
"Lepaskan aku!" serunya.
"Bagaimana menurutmu? Apa kau masih menganggapku gadis kecil?" tanyaku seraya tetap menahan tangannya pada punggung. Wajahnya terlihat merah padam. Ia jelas sedang kesakitan. Sesaat kemudian, dia lalu menggeleng.
"Tidak. Kau gadis yang hebat. Bisa kaulepaskan aku sekarang?"
"Sebenarnya aku tidak ingin melepas pria dengan ego tinggi sepertimu, tapi karena kau klienku. Baiklah, kali ini aku mengampunimu."
Stefan segera bangkit berdiri setelah aku melepaskan dia. Netra hitamnya kembali lekat menatapku. Dia kemudian mengulurkan tangan.
"Maafkan aku, tidak seharusnya aku merendahkanmu."
Aku mengangguk sambil tersenyum dan balas menjabat tangannya. Ia masih terus menatapku. Seulas senyum terbentuk di bibirnya yang indah. Lesung pipinya tampak melekuk semakin dalam.
"Perkenalkan aku Stefan Anjano. Meski kurasa kau sudah mengetahui tentangku dari Pak Harsono. Aku ingin memperkenalkan diri padamu."
"Aku Nila Fariska. Kau tidak perlu cemas, aku pasti bisa menjagamu dengan baik."
"Benarkah?" tanya dia sambil menatap langsung pada netraku. Entah mengapa, aku menangkap maksud lain dari pertanyaannya itu. Aku berdehem sejenak. Perasaan yang tidak kukehendaki kembali bergejolak. Membuncah dan semakin kuat. Sekuat tenaga, aku berusaha mengendalikan diri. Aku bukanlah gadis lemah. Aku bahkan menganggap diriku kebal terhadap sentuhan cinta, tapi mengapa seorang Stefan membangkitkan perasaan lain yang tidak kukehendaki?
Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Aku adalah Snow Queen. Aku tidak akan lemah dan jatuh dalam pesona seorang pria.
"Tentu saja. Karena kau klienku, aku akan melindungi dan memastikan keselamatanmu. Itu adalah tanggung jawabku."
Pemuda yang lebih tinggi dariku itu hanya mengangguk. Sekilas kulihat dia tampak kecewa. Akan tetapi, semua itu pasti hanya halusinasiku saja. Tidak mungkin dia kecewa dengan jawabanku. Kami masih baru saling mengenal. Ia melepas jabatan tangannya. Perasaanku yang tadi sempat hangat seolah berubah beku. Ada yang mencelos hilang dariku.
Pak Harsono kembali berbicara. Rupanya dia ingin mencoba untuk meredakan ketegangan yang kembali tercipta.
"Baiklah, karena kesalahpahaman sudah selesai. Kuharap kita bisa membahas prosedur perlindungan yang diterapkan."
Dia kemudian menoleh padaku dan melanjutkan perkataannya,
"Untuk bisa melindungi Stefan, kau harus berada di dekatnya. Mengawasi dia selama dua puluh empat jam. Untuk itu jalan termudah bagimu adalah tinggal di sini."
Aku terhenyak sesaat kemudian menggeleng.
"Tidak. Kurasa itu tidak perlu. Aku bisa tinggal di tempat lain dekat sini."
Pak Harsono terlihat hendak menyanggah, tetapi aku langsung melanjutkan.
"Masalah keamanan dia, aku akan bertanggung jawab. Aku bisa mengawasi dia lewat kamera pengawas yang akan kuletakkan di seluruh penjuru rumah ini."
"Apa kamu takut denganku?" cetus Stefan tiba-tiba. Aku kembali menatapnya dan menggeleng. Tentu saja aku tidak akan mengakui bahwa aku memang takut padanya. Tidak. Sebenarnya yang menakutkan adalah perasaanku sendiri. Aku tetap ingin menjadi Snow Queen yang tidak tersentuh. Akan tetapi, sejak bertemu dengan Stefan, semua pikiran sehatku seolah hilang. Perasaanku berubah tidak menentu. Jika ini dilanjutkan, aku takut cinta akan mengubah sosok Nila yang dingin menjadi gadis yang rapuh dalam buai pesona cinta. Karena itu, tidak baik untuk kami tinggal bersama.
"Kalau begitu, apa masalahnya kamu tinggal denganku? Dengan kamu di sini, bersamaku, aku merasa lebih aman. Aku percaya padamu. Kamu pasti bisa menjagaku dengan baik," desak Stefan sekali lagi dengan tatapan mata memohon. Akhirnya aku luluh dan kuanggukkan kepala tanda setuju. Stefan tersenyum senang. Pak Harsono ikut tersenyum lega. Aku sendiri bertanya-tanya apa diriku telah mengambil keputusan yang benar untuk tinggal bersama Stefan.
"Apa Anda benar-benar percaya padaku?" tanyaku saat mengantar Pak Harsono keluar. Beliau hendak pulang.
"Aku percaya pada perjanjian yang telah kita buat. Kau adalah pembunuh terhormat, Nona Snow Queen. Kau tidak akan menarik kembali kata-katamu," jawabnya dengan suara berbisik. Tentunya karena khawatir Stefan akan mendengar pembicaraan kami. Dia mungkin mengijinkan aku tinggal di rumahnya, tetapi jika tahu siapa sebenarnya Nila Fariska, mungkin dia akan langsung menendangku keluar dan tidak percaya lagi dengan maksud kami untuk melindungi dia. Mungkin dia justru curiga bahwa aku datang untuk membunuhnya.
***
"Ini adalah kamarmu," ucap Stefan sambil mengantarku ke sebuah kamar yang berada persis di sebelah kamarnya.
"Aku selalu merasa tidak aman. Akan lebih baik jika kau berada di dekatku."
Aku hanya mengangguk dan mengucap terima kasih. Kamar tersebut tampak feminim dengan nuansa putih dan merah muda. Sungguh berbeda dengan kamar sempit dan pengap yang kutempati di kediaman Pak Yan. Dibanding kamar tersebut, kamar ini sungguh adalah surga dengan fasilitas hotel bintang lima.
"Apa kau merasa betah?" tanya Stefan menyadarkanku. Aku mengangguk sambil tersenyum. Akan tetapi, sesuatu yang lain seolah datang menyergap dan mengusik hatiku. Jika ada kamar seorang wanita di rumah itu, bukankah itu artinya Stefan sudah memiliki kekasih?
Seolah mengerti kegelisahan yang kurasakan, pria di sampingku itu kembali tersenyum.
"Kamar ini milik calon istriku, Vita. Dia sedang tidak di sini sekarang. Kurasa dia tidak keberatan kau menempati kamar ini."
"Kalau begitu, aku tidak bisa tinggal di sini," ucapku sambil bergegas hendak keluar. Akan tetapi, Stefan segera mencekal lenganku.
"Tinggallah di sini. Percayalah dia tidak akan keberatan. Aku juga tidak keberatan."
Mendengar suaranya yang begitu sedih, aku hanya bisa mengangguk.
"Kalau dia datang, akan kukembalikan kamar ini padanya," ucapku akhirnya.
Stefan menggeleng. Wajahnya tampak benar-benar sedih.
"Dia tidak akan pernah datang karena dia sudah meninggal dan semua itu terjadi karena kesalahanku."
Aku terpaku. Stefan kemudian bergegas keluar setelah berkata seperti itu.

Komentar Buku (35)

  • avatar
    SitumorangTheresia

    puas bngttt

    10d

      0
  • avatar
    SaputraNugi

    seru

    17/07

      0
  • avatar
    20Aminatun

    sangat bagus

    04/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru