logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Dua

    "Kau harus menerimanya. Menolak bukan pilihan," ucap Pak Yan. Meski begitu, dari nada suaranya, ia terdengar tenang. Aku menatapnya dan pria paruh baya yang tadi duduk di sampingku bergantian.
    "Aku tidak mengerti. Sejak kapan kita berubah tempat menjadi lembaga perlindungan?" tanyaku dengan nada sedikit emosi. Pak Yan menatapku tajam, tetapi aku tidak peduli. Kualihkan pandangan pada sang klien yang hanya diam sedari tadi.
      "Tuan, aku tidak mengerti mengapa atasan saya setuju dengan permintaan Anda, tapi yang jelas saya tidak bisa menerima. Jika Anda ingin menghabisi seseorang, maka di sini adalah tempat yang tepat, tetapi jika Anda memiliki tujuan lain dari itu, maka Anda berada di tempat yang salah. Silakan pergi dari sini!"
        "Nila!" tegur Pak Yan keras. Aku kembali melihat ke arah beliau dengan tanpa peduli. Beliau menghela napas panjang sambil menggeleng.
        "Kau tidak tahu masalah yang kautimbulkan," gumamnya setengah berbisik.
      Lelaki yang duduk di depannya tiba-tiba tersenyum dan menatapku.
      "Ternyata Snow Queen memang seperti yang dibicarakan banyak orang," ujarnya.
      Aku menatap curiga.
"Apa maksudmu? Sebenarnya apa tujuanmu datang kemari?"
      Pertanyaan tersebut wajar karena sebelumnya begitu banyak orang yang bermaksud menghancurkan kelompok kami. Sekalipun dalam dunia hitam, persaingan tidak bisa dihindari. Bahkan bisa terjadi dengan lebih keji. Kami yang berada di dalamnya bisa saja bertemu untuk saling membunuh.
      "Aku datang kemari karena memang membutuhkan bantuan kalian. Sebelumnya perkenalkan, Nona, namaku Pak Harsono. Aku tidak datang kemari karena keinginanku. Sebenarnya ini memalukan untuk seorang polisi sepertiku membutuhkan bantuan dari orang seperti kalian, tapi ini benar-benar mendesak," tuturnya.
      Kutatap dia dari atas ke bawah dengan penuh keraguan kemudian mendengkus keras.
"Kau seorang polisi, tapi membutuhkan bantuan kami? Apa aku tidak salah dengar? Sebaiknya kau katakan saja dengan jujur apa tujuanmu datang kemari."
        "Bukankah pimpinanmu telah mengatakan bahwa aku butuh bantuan untuk melindungi orang?"
      Aku menggeleng.
"Aku tetap tidak percaya. Jika kau memang seorang polisi, kau bisa mengerahkan anak buahmu untuk melindungi orang, untuk apa butuh bantuan kami?"
        "Karena yang dihadapi orang tersebut bukan orang biasa. Para pembunuh profesional mengincar nyawanya. Aku tidak yakin anak buahku sanggup melindungi dia. Karena itu, aku meminta bantuan kemari."
        Aku menggeleng dan bergegas melangkah untuk keluar dari ruangan.
"Aku tidak mau melakukannya. Keahlianku adalah membunuh orang, bukan melindungi orang, meski dia adalah orang penting."
        "Nona Snow Queen," panggil Pak Harsono dengan suara cukup keras.
"Kau tidak akan bisa menolak. Karena pilihan lain adalah penjara untukmu dan semua orang di tempat ini."
        "Apa maksudmu? Kau berani mengancam kami? Apa kau tahu aku bahkan bisa melenyapkanmu saat ini juga?" tanyaku sambil berbalik dan menghampiri beliau dengan langkah cepat.
        "Aku tahu, tapi kurasa kau tidak akan melakukannya, kecuali ingin memperbesar masalah. Aku sudah merekam percakapan kita dan orang kepercayaanku sedang mendengar semua. Jika kau berbuat macam-macam, maka dia akan mengerahkan polisi kemari."
        "Apa kaupikir aku takut dengan ancamanmu itu? Aku tidak akan menjadi pembunuh profesional jika tidak bisa membunuhmu dan menutupi jejaknya. Jika tidak, pasti sudah lama aku mendekam di penjara. Kau tidak akan bisa bersikap tenang seperti sekarang!"
        Pak Harsono tersenyum tenang sambil mengangguk. Sepertinya beliau tidak sungguh-sungguh menganggap ucapanku.
        Awas saja dia, geramku kesal.
        "Hentikan, Nila!" tegur Pak Yan.
"Masalah akan semakin besar jika kau membunuh dia. Pikirkan juga orang-orang yang berada di sini. Apa kau ingin membawa masalah pada mereka?"
        "Aku? Sejak kapan aku peduli dengan mereka yang berada di sini? Mereka bukan siapa-siapa bagiku."
      Mendengar jawabanku itu, Pak Yan sekali lagi menghela napas panjang dan menggeleng. Dia tahu persis bagaimana sifatku, tetapi tidak pernah mencoba untuk memahaminya.
      Bibirku sekali lagi membentuk senyum tipis meremehkan.
"Baiklah, aku berubah pikiran," ucapku.
      Raut wajah Pak Yan berubah lega saat mendengar kata-kataku. Aku lebih sering keras kepala dan nyaris tidak pernah mengubah keputusan yang kuambil. Akan tetapi, kali ini aku berubah pikiran, dia tentu saja lega, meski dari tatapannya terlihat menaruh curiga padaku. Pak Yan memang sungguh mengenalku dengan baik. Aku memang memiliki rencana sendiri untuk misi kali ini.
      Aku lalu kembali menatap Pak Harsono dan duduk di sampingnya.
"Aku akan setuju dengan misi kali ini, tapi ada syarat yang harus Anda penuhi."
      Dia diam menunggu. Aku juga hanya duduk dengan tenang.
    "Kau belum memberitahuku syaratnya," ucap Pak Harsono akhirnya.
        Aku tertawa sambil menggeleng.
"Apa Anda pikir aku orang bodoh? Anda harus menyetujui dulu syarat ini, baru aku akan memberitahu syarat tersebut. Dengan begitu, Anda tidak akan bisa mangkir lagi."
      Pak Harsono kembali diam sejenak, tetapi akhirnya beliau mengangguk.
"Baiklah, aku setuju."
        "Bagus," ucapku sambil tersenyum tipis.
      Pak Yan segera menyodorkan selembar kertas berisi surat perjanjian yang telah dia siapkan.
      "Tanda tangani itu. Setelah itu, baru aku akan memberitahu syarat yang kuajukan!" ucapku enteng.
        Pak Harsono diam sesaat setelah membaca isi surat tersebut. Perjanjian yang tertulis di dalamnya terbilang berat. Jika pihak klien mengingkari janji, maka hanya kematian yang menjadi solusi permasalahan. Aku dan yang lain tidak akan segan mengejar mereka yang mencoba ingkar atau berkhianat. Mereka bahkan bisa tiba-tiba lenyap tanpa jejak tanpa ada seorangpun bisa menemukan keberadaan mereka.
        "Bagaimana? Jika Anda takut, masih belum terlambat untuk membatalkan semua," ucapku dengan nada merendahkan.
      "Aku tidak akan berubah pikiran," ucapnya sambil meraih pena yang kusodorkan dan segera menandatangani kertas tersebut.
      Seulas senyum tipis muncul di wajahku. Orang yang duduk di sampingku tersebut adalah seorang polisi. Kelihatannya dia juga menduduki posisi yang cukup tinggi. Tentu ia tidak mau ada seorangpun yang meremehkan dirinya. Mungkin dia cukup percaya diri berpikir bahwa dia aman karena dirinya adalah seorang polisi. Padahal mengatasi dia adalah hal mudah bagiku.
    "Baiklah," ucapku.
"sekarang semua sudah beres. Aku akan memberitahu syaratnya, yaitu aku ingin bebas dari segala kasus hukum. Baik itu yang pernah kulakukan atau yang akan kulakukan nanti." Pak Harsono terlihat keberatan, tetapi akhirnya ia mengangguk setuju.
        Aku kembali tersenyum.
Sekarang bisa beritahu aku siapa orang penting yang harus kulindungi?"
    Pak Harsono kemudian menunjukkan foto seorang pemuda. Paras wajahnya manis. Ada lesung pipi yang samar pada gambar dirinya yang tengah tersenyum tipis ke arah kamera. Mata hitamnya terlihat dalam dan menenangkan seolah menawarkan sejuta kesejukan dan kedamaian pada orang yang melihatnya. Dagunya yang sedikit lancip serta tulang pipi tinggi dan hidung bangir mampu membius wanita mana pun yang melihat dia. Kulitnya yang kecoklatan memberi kesan seksi dan maskulin.
      Pria yang berbahaya, ucapku dalam hati. Entah mengapa perasaanku berubah tidak enak. Seolah aku akan mengambil resiko besar jika terlibat urusan dengannya. Akan tetapi, semua telah terlambat. Kesepakatan sudah dibuat. Tidak ada jalan untuk berpikir kembali dan mundur dari misi ini.

Komentar Buku (35)

  • avatar
    SitumorangTheresia

    puas bngttt

    10d

      0
  • avatar
    SaputraNugi

    seru

    17/07

      0
  • avatar
    20Aminatun

    sangat bagus

    04/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru