logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Justice

Justice

Liaaprilia


Bab 1 Perkenalan

Ada yang percaya takdir? Aku percaya. Bahwa semua orang yang terlahir di dunia ini pasti memiliki garis kehidupannya masing - masing. Meskipun tidak sempurna, meski tidak utuh, dan rapuh.
Rasanya tidak lengkap kalau Desember tidak dipenuhi dengan hujan. Setelah musim panas yang begitu panjang. Hujan datang untuk menuntaskan dahaga yang tertahan.
"Ve, ngapain?". Seseorang dengan topi hitam mengagetkanku dari belakang.
"Nunggu hujan. Gak bawa payung nih". Balasku seadanya.
"Udah trabas aja, mau nunggu sampe kapan? Udah mau malem". Sambil menyejajarkan posisinya denganku, Ares membuka topinya.
"Enggak ah. Ntar malah sakit ".
"Halah manja". Ares mengacak rambutku asal. "Nih bawa aja kalau gitu". Sambungnya sembari menggenggamkan payung padaku.
"Terus kamu gimana?". Tanyaku padanya. Namun Ares malah melenggang pergi.
"Masih ada urusan. Bawa aja deh aku gampang". Teriaknya sebelum dia berlari kemudian menghilang dari pandanganku.
Orang itu, selalu saja begitu. Dia Ares. Ares Aryasatya Lazuardi. Temanku sejak SMA, sampai akhirnya kami memutuskan untuk kuliah di tempat yang sama dan di fakultas yang sama.
Bahagia rasanya ketika ada orang yang peduli dengan orang lain. Andai saja semua orang memiliki perasaan dan pemikiran serupa. Pasti akan lebih nyaman. Karena sebagai manusia memang harus memanusiakan manusia lainnya kan?
Beruntung sekali aku dipertemukan dengan manusia seperti Ares. Manusia yang selalu ada ketika aku butuh. Bukan, bukan butuh dalam arti negatif. Tapi Ares adalah satu satunya teman yang selalu ada untukku. Entah untuk sekedar bertukar pikiran sampai jalan jalan gajelas muterin jalan doang. Ya gitu lah kira kira.
Hujan mulai mereda. Ku buka payung dari Ares dan mulai berangsur meninggalkan kampus. Aku harus cepat sebelum ketinggalan bus terakhir. Gak lucu kalau harus jalan kan?
Ternyata sepanjang jalan tergenang air hujan, terpaksa harus jalan pelan pelan. Nggak heran sih, soalnya hujan deres banget tadi. Ditambah lagi pohon pohon udah mulai dikurangin untuk bangunan baru, jadi resapan air makin berkurang. Ya pantas lah kalau banyak tempat tergenang. Untung hanya air yang menggenang bukan kenangan.
***
Sampai di halte, lumayan padat. Maklum sih jam terakhir bus beroperasi. Mungkin orang orang juga sama terburu burunya denganku.
"Mbak duduk sini aja". Seorang laki laki dengan jaket hitam tiba - tiba berdiri di depanku dengan mempersilakan bangkunya.
"Oh iya, makasih mas". Ku sambut tawaran itu dengan suka cita.
"Bukan mbak maaf. Ini buat mbak yang itu". Laki laki itu menjelaskan sekali lagi sembari menunjuk seorang wanita di belakangku.
PD sekali aku. Hmm.. aku langsung menunduk. Jangan tanya rasanya seperti apa. Sudah pasti malu setengah mati. Ditambah dengan tatapan laki laki itu yang tampak seperti meremehkan. Kemudian dia asik mengobrol dengan wanita yang berada persis di belakangku tadi.
Ya enggak salah sih. Wanita itu terlihat jauh lebih menarik dibanding diriku yang sudah kucel karna kuliah dari pagi pagi buta. Yasudahlah, memang sepertinya harus berdiri lebih lama untuk menguatkan otot otot kaki ku yang sudah tidak pernah olah raga ini.
Lagipula memang begitu kan konsepnya. Selalu yang goodlooking yang dinomor satukan.
Jangan tanya padaku. Aku pun tidak paham, kenapa orang orang selalu bersikap demikian. Padahal semua manusia itu sama derajadnya. Kenapa harus merasa lebih tinggi, padahal masih berpijak di tanah yang sama.
Apalagi hanya dilihat dari rupa. Sudah pasti tidak kekal, nanti juga berubah seiring bertambahnya usia.
***
Berbeda dengan kemarin, hari ini sepertinya langit terlihat jauh lebih ceria. Matahari bertengger manis di singgasananya menyapa makhluk makhluk di bumi.
"Ve. Udah tau kan kita yang pertama presentasi nanti?". Jihan berteriak ke arahku ketika aku baru sampai kelas.
"Kata siapa? Kok aku baru tau?". Aku panik setengah mati.
"Loh alex ga bilang ke kamu? Yaudah nanti aku sama Alex aja yang jelasin. Kamu operatornya aja. Kalau mau kamu bisa tambahin nanti pas tanya jawab". Jelas Jihan enteng.
Operator? Tinggal nambahin katanya. Sialan. Dengan gampangnya dia bilang gitu. Padahal semua orang juga tau kalau mata kuliah bu Ema harus aktif. Matilah aku kalau dapet C.
"Masih ada waktu bentar kok. Aku bisa baca baca dulu". Aku berkata dengan penuh penekanan. Sambil kulirik sinis ke arah Alex.
Heran ya, kenapa sih orang orang ini. Yang namanya kerja kelompok ya harusnya bareng bareng, bukan cuma berdua. Punya masalah apa sih mereka astaga.
Aku hanya bisa menarik nafas panjang. Mencoba mengabaikan kekacauan emosi di dalam sana dan lekas membuka materi untuk ku baca. Bagaimanapun juga aku harus dapat nilai A.
Tidak berselang lama, bu Ema masuk dengan gaya khasnya. Menaruh tas nya di meja kemudian mulai mengabsen satu persatu. Entah kenapa, tapi bu Ema masih menggunakan cara konvensional ini. Ketat sekali kalau ikut mata kuliah beliau. Jadi nggak heran kalau bu Ema jadi salah satu dosen yang paling ditakuti dan disegani.
Selesai mengabsen, kelompokku maju untuk presentasi. Seperti yang sudah ku duga. Tidak ada celah sama sekali untukku. Jihan dan Alex sangat mendominasi. Tidak memberikan ruang sama sekali untukku bersuara. Tamatlah riwayatku kalau seperti ini. Ah sial.
"Sebelum lempar pertanyaan ke teman teman kamu, saya mau tanya dulu. Tolong Ve yang jawab". Sela bu Ema tepat ketika presentasi dari kami selesai.
"Eh iya bu silakan". Aku sempat gelagapan.
"Menurut kamu, apa itu toleransi. Dan bagaimana korelasinya dengan manusia". Bu Ema melirikku singkat kemudian melanjutkan tulisannya di buku.
"Menurut saya, toleransi itu seperti batas. Batas yang bisa diterima atau ditolak oleh tubuh. Misalnya saja ketika saya duduk di bawah ac dengan suhu yang sangat dingin. Badan saya hanya dapat menerima sampai suhu 20°C. Lantas bagaimana kalau suhunya kurang dari itu? Maka aliran oksigen yang masuk ke otak saya akan berkurang. Kemudian akan muncul respon sakit kepala dan pusing sebagai tanda bahwa toleransi badan saya sudah mencapai batas maksimalnya". Jelasku seadanya.
"Bagus. Saya suka jawaban kamu. Tapi lain kali lebih aktif ya. Ini tugas kelompok, bukan tugas individu yang disatukan". Bu Ema lagi lagi melirikku. Ada nada sindiran yang beliau lontarkan.
"Baik bu". Aku hanya bisa tertunduk. Malu sekali, rasanya seperti sedang dikuliti.
Tapi perkataan beliau memang benar. Karena dari awal memang kelompok ini hanya formalitas saja. Sial sekali kenapa aku harus dimasukkan ke kelompok mereka. Bahkan semua orang pun tau kalau mereka sedang dekat sejak olimpiade beberapa bulan lalu. Jelas saja mereka memperlakukanku seperti pelengkap yang tidak berarti apa apa.
***
"Udah lah Ve. Lupain aja. Udah kejadian juga". Kayla menenangkanku saat kuliah sudah berakhir.
"Tapi beasiswaku gimana. Ga sanggup mikir kalau tiba tiba nilaiku turun semester ini". Setengah frustasi ku tanggapi Kayla.
"Enggak. Bisa kok bisa. Tenang aja. Yang penting yakin. Cuma 1 matkul, 2 sks pula. gak akan ngaruh banyak. Udah yuk makan aja". Kayla menarikku dengan penuh usaha.
"Tapi ini bu Ema". Makin frustasi, ku ikuti langkah Kayla dengan malas.
"Udah stop gausah tapi tapian. Makan!". Ucap Kayla setengah berteriak padaku.
Ya begitulah Kayla. Satu satunya orang yang se frekuensi denganku sejak kami masuk di kelas yang sama. Bisa dibilang kami sudah mulai berteman. Walaupun Kayla setahun lebih tua dariku, tapi obrolan kami selalu nyambung. Jadi nggak heran kalau kami sering bertukar pikiran dan cerita. Setidaknya untuk satu semester ini.
***
"Ve!". Ares berteriak sembari melambaikan tangan ketika melihatku di kantin.
"Eh Ares. Ke sana yuk". Kayla menyadarkanku. Sementara aku masih diam tidak menyahut.
"Kenapa? Lemes banget kayak cucian kotor". Ares kembali bersuara ketika aku duduk di hadapannya.
"Biasa abis presentasi. Kan suka overthinking". Kayla menyahut dan ikut duduk di sebelahku.
"Oo pantes. Eh Kayla apa kabar". Ares hanya mengangguk paham kemudian membuka obrolan baru dengan Kayla.
"Wah masih inget namaku? Baikk kok kamu apa kabar?".
"Inget lah. Kan kamu temen Ve. Berarti temenku juga".
"Duh jadi tersanjung nih. Padahal kita kan baru ketemu dua kali ini ya". Kayla agak terkekeh dengan penuturannya sendiri.
Obrolan mereka seperti tidak ada habisnya. Sementara aku masih duduk terdiam meratapi nasibku besok. Kalau dipikir pikir, benar juga mereka baru dua kali bertemu. Pertemuan pertama mereka konyol sekali. Aku jadi geli kalau ingat. Waktu itu Kayla mengajakku naik gunung bersama. Itu pendakianku yang pertama. Sepulang dari mendaki, kami naik bus. Tapi karena kelelahan kami ketiduran dan sudah lewat dari terminal yang kami inginkan. Padahal sudah tengah malam, jadi sudah lumayan sepi. Rasanya ingin menangis saja waktu itu karena kami pun tidak tau bagaimana caranya untuk pulang. Tapi untungnya dengan kecerdasanku, aku meminta Ares untuk jemput. Akhirnya Ares bolak balik untuk mengantarkan kami pulang. Baik sekali kan anak itu. Padahal jaraknya lumayan jauh. Dan posisi tengah malam. Lagi lagi aku beruntung sekali punya teman seperti Ares.

Komentar Buku (41)

  • avatar
    whana pullunknirwanawhana085co,id

    bagus sekali ceritax....

    30/06

      0
  • avatar
    GiyaiDebora

    Hai lagi apa ngapain perkenalkan nama saya Deborag

    09/06

      0
  • avatar
    hhImah

    bagus delali

    01/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru