logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Asisten

"Sambel goreng aja, ya. Kalo sambel goang nanti hambar." Mak Eti memasukan sambal goreng ke dalam wadah kecil. "Banyakin apa gimana?" lanjut Mak Eti bertanya.
"Banyakin aja, nanti kru suka pada minta," jawab Ayuni yang sedang memakan roti bakarnya.
"Tempenya?" tanya Mak Eti lagi.
"Dikira-kira aja, Mak." Ayuni begitu menikmati rotinya.
Sepuluh potong tempe goreng masuk ke dalam wadah bekal. Dilanjut tumis jamur yang banyak baksonya.
"Nasi merah 'kan?" Mak Eti memastikan sebelum salah memasukan nasi ke dalam wadah.
"Kalo ada nasi item juga boleh, Mak," seloroh Ayuni membuat Mak Eti tertawa.
"Aduh, bawel pisan nya, Emak?" Mak Eti jadi salah tingkah.
"Pisaaaaan!" seru Ayuni seraya berdiri lalu mendekat ke arah Mak Eti, dikecupnya sekilas pipi wanita bertubuh pendek itu. "Makasih selalu setia sama aku dan mama," celetuk Ayuni membuat Mak Eti terharu.
"Harusnya Emak yang makasih karena Neng selalu bae, teu pernah ngarendahin Emak," lirih Mak Eti.
"Ngerendahin?" Ayuni jadi tertawa, ia peluk bahu Mak Eti penuh ketulusan. "Aku siapa sampe berani rendahin Emak? Malaikat? Malaikat aja enggak gitu kok," lanjut Ayuni sembari mengusap bahu wanita lanjut usia itu.
"Hei, Ijem!" teriak Mama Yusma membuat Ayuni spontan melepas pelukan pada bahu Mak Eti.
"Elu balik dianter sape semalem?" Bila sudah bicara ngegas begitu, sudah pasti Kanjeng Mami sedang marah.
"O-ojek, iya ojek lah siapa lagi, Mam?" Ayuni terbata, tak pandai berdusta.
"Duileh laga mau berduste lagi, lu ... tatap mata Mama!" sentak Mama Yusma sudah dipastikan memang sedang marah.
"Itu orang," jawab Ayuni sekenanya.
"Nyang bilang die leak sape, Neng geulis?" Masih saja dengan nada tinggi.
"Ya pokoknya dia nolongin aku," gugup Ayuni.
"Lagi kan ini gegara si botak, Mam. Aku tuh kemaren ke lokasi nyampe numpang ke si songong Aro tahu nggak," adu Ayuni, air mata mulai menggenang di pelupuk. Paling tak ingin dibentak-bentak begitu.
"Mama tuh, kubilang gamau di kasih asisten Oji. Dia tuh lagi kasmaran, kerjanya nggak bener." Ayuni jadi terisak.
"Dih malah mewek, ditanya baik-baik." Mama  Yusma tak sadar bicaranya sedari tadi sudah seperti banteng ngamuk.
"Mama, emang aku enggak tahu nada bicara Mama kalo kek barusan tuh artinya marah," isak Ayuni dengan suara terbata karena menangis. "Aku tuh kemaren hampir dilecehkan sama berandalan. Ditolongin deh sama cowok gatau siapa, tapi bukan malaikat soalnya nggak ada sayapnya. Tapi, aku yakin dia orang yang dikirim Tuhan buat nolongin aku."
"Kamu bisa nggak ngomongnya sekata-sekata aja," protes Mama Yusma.
"Tapi Mama ngerti 'kan?" Ayuni menyambar cepat.
"Ya ngerti," sahut Mama Yusma.
"Ya udah," sanggah Ayuni.
Mak Eti pelan-pelan melipir, meninggalkan drama anak dan ibu itu. Bila sudah begitu, tak ada yang mau mengalah. Telinga rasanya mau pecah mendengar perdebatan keduanya.
"Intinya kamu tetep salah. Lihat, tuh. Masa video kamu dipakein jaket belel jadi fyp di tiktok," keluh Mama Yusma.
Ayuni membolakan matanya, video berdurasi 20 detik dengan back song yang easy listening itu cocok sekali dengan adegan dirinya dan pria yang menolongnya.
Ayuni mengerjakan mata, dengan kata-kata pada video yang semakin membuat seolah keduanya sepasang kekasih.
Cinta beda kasta yang mengbaperin.
Memang mengsedihkan, gue yang kece badai kalah sama si jaket belel.
"Makanya jangan gegabah kalo ngapa-ngapain tuh!" sentak Mama Yusma.
"Udahlah, Mam. Besok lusa juga ilang tuh video." Ayuni meyakinkan.
"Kamu nggak mau usut orang yang up video ini?" selidik Mama Yusma.
Siapa pun orangnya, pasti kasihan sekali kalau dituntut. Lagi pun itu bukan video vulgar. Bahkan terlihat lucu.
"Hehehe, kok lucu sih," gumam Ayuni.
"Ni anak malah cengar-cengir," protes Mama Yusma.
"Nanti tunggu tanggapan manajemen deh, Mam. Kurasa ini disengaja juga buat makin bikin orang penasaran sama film baruku."
"Apa buktinya?" Mama Yusma tak percaya.
"Oji nggak ada hubungin aku. Atau Mbak Berta sama Om George pun gak berisik," jelas Ayuni.
"Tapi, cowok itu beneran bukan siapa-siapa 'kan?" Mama Yusma jadi curiga.
Pasalnya putrinya bukanlah wanita gampangan. Diajak naik limosin saja ia ogah, kenapa naik motor mau.
"Kok tumben mau-mauan dibonceng motor butut?" tuduh Mama Yusma, penasaran.
"Ya kepaksa, Mam. Coba pikir, udah gelap. Hape mati, mana abis digangguin berandal. Parno dong aku takut dicegat lagi. Satu-satunya cara cuma ngikut ajakan si ... siapa ya?" Ayuni lupa tak kenalan dengan pria semalam.
"Siapa?" bentak Mama Yusma.
"Nggak kenalan, hehehe," ringis Ayuni.
"Bagus, nggak usah kenalan. Nanti jadi sayang." Mama Yusma melengos, membuat Ayuni bernapas lega. Lepas dari cengkraman Mamanya.
Gadis itu kemudian segera merapikan bekalnya. Buat makan sore biasanya tak basi. Hari ini dia ada kelas. Tak padat, hanya satu mata kuliah. Sebelum pergi ke Bogor untuk promo, Ayuni akan ke kampus terlebih dahulu.
Dengan jeans panjang dipadu kaus putih dan sandal jepit hitam ia percaya diri saja beranjak. Mencangklong ranselnya, dia akan meletakan tas bekal dan ranselnya terlebih dahulu ke mobil.
"Mang Karim kemarin ke mana sih?" Ayuni jadi sewot begitu melihat supir pribadi mamanya yang sedang mengelap mobil.
"Aku tuh hampir dikeroyok berandalan tahu!" Ayuni memasukan barang-barangnya ke dalam mobil sambil bersungut-sungut.
"Lagi kasmaran juga?" lanjut Ayuni masih mengomel.
"Kemarin saya bantuin yang lahiran, Neng. Jadi, nggak masuk kerja," sesal Mang Karim.
"Wuih, selamat udah jadi ayah." Marah Ayuni menguap.
"Bagus, good job." Kedua jempol Ayuni terangkat.
"Iya, saya sampe termehek-mehek bisa bantuin lahiran. Langsung empat, Neng." Empat jari Mang Karim terangakat.
"Wadidaw, rezeki itu mah. Udah, jangan nambah anak lagi. Udah melebihi anjuran pemerintah, tuh." Ayuni semakin melembut.
"Emang ada larang dari pemerintah kalo kucing beranak lebih dari empat?" Mang Karim serius bertanya.
"Kok jadi kucing, emang istri Mamang kucing, kitu?" Ayuni heran.
"Bukan, yang lahiran emang kucing. Tapi, kucingnya bukan istri saya. Biar jomlo, saya masih punya iman. Enggak ada niat buat main sama kucing," jelas Mang Karim membuat darah Ayuni naik ke ubun-ubun.
"Jadi yang dibantu lahirannya itu kucing? bukan istrinya?" Mata Ayuni terbelalak.
"Saya belum punya istri," aku Mang Karim.
"Tetep good job sih karena bantuin sesama makhluk Allah, cuma ya ... udalah, jangan sampe bolos kerja lagi!" Ayuni mengingatkan seraya kembali ke dalam rumah hendak pamit pada mamanya.
Baru tiba di bibir pintu, suara melengking seseorang memanggil namanya.
"Neng Ayuni ... yuhu, eike dateng!"
Adalah wanita setengah pria dengan dandanan cetar menghampiri. Menyalami Ayuni dan hampir mencium pipi gadis itu.
Cekatan Ayuni mendorongnya. "Bukan muhrim, Om Bary. Don't touch me!"
"Tante Mer, Neng. Enak aja am om am om," dengus pria berdandan seperti wanita tersebut.
"Tobat, Om. Pemanasan global makin menjadi, kiamat bisa datang kapan aja. Mumpung masih ada waktu," nasihat Ayuni. Meski terdengar bergurau.
"Cih, nih anak kagak ada berubahnya," cibir Bary alias Tante Mer, keluar suara aslinya. Berat.
"Nah, gitu lebih cakep," puji Ayuni seraya meneruskan langkahnya untuk masuk.
"Eh, tunggu bule Depok!" teriak Om Bary kembali pada mode ngondeknya.
"Hilih, bentar doang tobatnya," gumam Ayuni tak menghiraukan teriakan si om.
Gadis itu mengetuk pintu kamar mamanya, tak lama sang mama membukanya.
"Aku berangkat, salim dulu." Ayuni mengulurkan tangannya, diterima dengan senang hati oleh Mama Yusma.
"Aloha Mama Yus," sapa Om Bary.
"Layanin anak saya yang bener, awas kabur-kaburan macam si botak!" ancam Mama Yusma.
"Asiiap, Mam Yus!" Gaya manja dikeluarkan oleh Om Bary.
"Mam, enggak ada yang lebih normal kasih aku asisten macam ni?" bisik Ayuni.
"Tiga kali Mama kasih kamu asisten cewek hasilnya selalu menjengkelkan 'kan?" balas Mama Yusma.
"Ya tapi nggak manusia jadi-jadian begini juga, Mam!" tegas Ayuni namun dengan suara pelan.
"Usahakan kalau membicarakan orang lain itu jangan sampai didengar orang yang bersangkutan. Sakit!" celetuk Om Bary, kemudian berjalan lebih dulu.
"Saya tunggu di mobil aja," lanjut pria itu dengan suara berat.
"Mama, kenapa asistenku selalu aneh-aneh sih?" protes Ayuni.
"Bary udah paling terbaik, Neng. Dia cowok enggak, cewek bukan. Kamu bisa nyaman sama dia." Mama Yusma membujuk.
"Jadi si botak dipecat?" tebak Ayuni.
"Enggak, paling kita kasih dia waktu aja. Susah menasihati orang yang sedang kasmaran. Seperti menggarami air laut, sia-sia."
"Ya udah aku pergi. Sore ini aku langsung ke Bogor. Promosi lagi, doain ya." Ayuni memeluk Mama Yusma. Biar bagaimana, hanya wanita itu keluarga satu-satunya.
***
"Abang yang nyuci selimut ya, aku masak." Lala membagi tugas pagi ini dengan abangnya yang sedang menyeduh kopi instan. Kopi murah dibeli di warung Cang Ohim seharga 2.500 dapat tiga.
"Masak apa, La?" tanya Alka sembari mengaduk kopinya.
"Sarden, Bang. Manfaatin sembako dari Kak Ayuni," jelas Lala.
Kedua bibir Alka terangkat demi mendengar nama itu. Kekuatan cinta memang dahsyat, hati bisa bergetar hanya dengan mendengar nama sang pujaan disebut.
"Aku semalam ngetag akun Ig kak Ayuni. Dilike loh, Bang," pamer Lala.
"Jangan macem-macem. Nanti malah salah." Alka mengingatkan, pria itu mulai menyulut rokok.
"Masih aja ngerokok, sayang uang dibakarin, Bang!" Lala mendesah kesal.
"Kalau diomongin abangnya, jangan malah ngomongin balik. Awas sekali lagi ngetag-ngetag gitu!" tegas Alka membawa kopi ke luar kontrakan. Lebih baik ngopi di pos ronda. Biasanya ada Babe Siroj dan Iyan sedang duduk di sana, sebelum mereka berangkat ngamen.
Tiba di pos ronda, Babe Siroj dan Iyan sudah duduk manis.
"Tepat sasaran!" pekik Alka.
"Waduh, Alka. Tumbenan elo kemari," sambut Babe Siroj.
"Ngupi bareng, Be!" Alka menunjuk gelas berisi kopi.
"Punya gue tinggal setengah noh!" tunjuk Babe Siroj pada gelas di sampingnya.
"Yan, apa kabar?" Alka menyapa Iyan, yang disapa hanya mesem.
"Malu-malu banget, Yan," protes Alka.
"Dia naksir adek elu," bisik Babe Siroj.
"Kagak bener," geleng Alka.
"Karena Iyan pengamen?" tebak Babe Siroj.
"Bukan begitu, masih bocah," jawab Alka.
"Namanya juga cuma suka-sukaan," elak Babe Siroj. "Si Iyan salatnya rajin, ngajinya pinter. Di sekolah dulu ketua rohis," lanjut Babe Siroj.
Alka jadi melirik Iyan yang seolah pura-pura tak mendengar obrolan keduanya. Tampangnya lumayan, hitam manis dengan gigi gingsul. Tubuh kurus kering, namun tetap wangi.
"Dia Lagi nunggu panggilan kerja di pabrik motor eh pabrik apa gue lupa." Babe Siroj menepuk dahinya sendiri.
"Beh, berangkat yok!" Iyan memangkas bisik-bisik antara Alka dan Babe Siroj.
"Kopi gue belom abis," tolak Babe Siroj.
"Cepet, Beh. Kesiangan nanti rezeki dipatok ayam." Iyan beranjak mendekati Babe Siroj dan menyeruput kopi lelaki lanjut usia itu.
"Elo ngapa dah, kek liat setan?" Babe Siroj keheranan.
"Abang, gasnya abis. Beli dulu ke warung," celetuk Lala.
"Oh pantes ngajak cabut," goda Babe Siroj.
"Bentaran ngapa La, Abang ngopi dulu." Alka benar-benar merasa jengkel.
"Abang, ini tabungnya udah Lala bawa," rengek Lala.
"Nih, si Iyan aja nyang beliin, La. Lo mau kan ya, Yan?" Babe Siroj mendorong bahu Iyan. Yang didorong bahunya salah tingkah.
"Mau, Bang Yan?" tanya Lala.
"M-mau deh, dek," sahut Iyan menunduk malu-malu.
"Nah, Sono dah lu pegih. Sekalian entar pasangin!" pesan Babe Siroj.
"Bener tuh, gue ngopi dulu soalnya." Alka mendukung omongan Babe Siroj.
"Nih uangnya Bang Yan, Lala tunggu di kontrakan, ya," ucap Lala seraya menaruh uang dua puluh lima ribu ke atas tabung gas hijau.
"Bang, cepetan balik. Selimut harus dicuci!" Lala memperingatkan.
"Lala duluan ya, Babe. Assalamu'alaikum," pamit Lala dengan senyum manis.
"Wa'alaikumsalam, Neng." Babe Siroj melambaikan tangan.
"Jadi gimana Iyan?" Babe Siroj menyikut lengan Alka.
"Masih bocah, Beh. Masih jauh," elak Alka.
Dia jadi sedih, adiknya sudah remaja. Tumbuh cantik dan mempesona. Bukan Iyan saja yang menyukainya. Bahkan salah satu teman ngebandnya pun suka dengan Lala. Beban berat di pundak Alka, dia harus jadi kakak sekaligus Ayah dalam waktu bersamaan. Pekerjaan belum tetap, penghasilan belum mumpuni. Ingin mengerjakan lebih, tapi goresan masa kelam jadi bumerang. Ijazah saja masih di sekolah, belum ia ambil hingga sekarang sebab menunggak bayaran.
Kopi yang diseruput terasa hambar, sesak dalam dada penyebabnya. Kapan ia bisa menjadi kebanggaan keluarga? Setidaknya memberikan kehidupan yang terbaik bagi adik dan ibunya.
Babe Siroj di sebelah yang sedang berceloteh pun tak ia hiraukan. Pria itu bercerita tentang bagaimana serunya saat masa muda berprofesi sebagai petugas pemadam kebakaran. Berseragam orange, dengan gagahnya memadamkan kobaran api.
"Andai gue jujur, enggak susah begini masa tua gue, Ka." Suara Babe Siroj terdengar jauh.
Alka semakin hanyut dengan pikirannya. Kekhawatirannya tentang masa depan. Bagaimana ia bisa melanjutkan hidup dengan keadaan seperti sekarang? Jelas Alka bimbang, sebab ia menjauhi Sang Maha pemberi rezeki.

Komentar Buku (39)

  • avatar
    JayaBintang

    daimons epep

    15/08

      0
  • avatar
    BINTI MOHD NORROZAINI

    good

    13/07

      0
  • avatar
    M Nauval

    dafa

    05/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru