logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Episode 4

Seorang wanita cantik berjalan dengan terpincang-pincang memasuki rumah mewah bernuansa mini malis milik keluarga Hartono, dia sesekali meringis sakit sambil mencengkeram kuat keranjang yang dia pegang. Dia terus berjalan memasuki dapur yang sedang sangat berantakan karena ada adegan masak memasak.
Wanita paruh baya bernama Risha, yang tak lain adalah istri si pemilik rumah, terkesiap melihat kedatangannya.
“Bella? Kau kenapa? Kok pincang?” Tanya Risha dengan wajah yang cemas.
Gadis bernama Bella itu meringis. “Tadi enggak sengaja tertabrak mobil, Bu.”
“Ya, ampun. Jadi bagaimana kondisimu? Apa saja yang terluka? Si penabrak enggak bertanggungjawab?” Risha memberondong pertanyaan sambil memindai tiap inci tubuh Bella.
“Aku tidak apa-apa, Bu. Paling hanya keseleo saja. Tadi dia ingin membawaku ke rumah sakit, tapi aku rasa enggak perlu.” Jawab Bella menenangkan.
“Harusnya tadi biar Bi Sumi saja yang belanja ke pasar, jangan kamu.” Sesal Risha.
“Iya, Neng Bella.” Bi Sumi ikut menimpali.
“Enggak apa-apa. Lagian Bi Sumi kan sudah banyak pekerjaan, kasihan kalau harus ke pasar lagi.”
Memang hari ini semua orang di kediaman Hartono sedang sibuk, karena nanti malam akan ada acara ulang tahun Karina, kakak angkat Bella. Dan sebagai keluarga yang mencintai hidup sehat, Risha sengaja memasak sendiri makanannya alih-alih memesan katering.
“Tapi akibatnya kamu jadi celaka, Bel. Untung tidak terjadi sesuatu yang fatal.”
“Ini sudah nahas, Bu.” Bella tersenyum.
“Ya sudah, sebaiknya sekarang kamu istirahat saja. Nanti biar Mang Gus panggilkan tukang urut.” Pinta Risha.
“Tapi, aku mau bantu, Bu.” Rengek Bella.
“Sudah, enggak usah bantu! Kaki kamu bisa makin sakit kalau banyak bergerak.”
Wajah Bella berubah masam, namun tetap menurut. “Iya, deh. Aku ke kamar dulu.”
Bella pun meninggalkan dapur dengan sedih sebab tak bisa membantu, padahal dia sangat suka memasak.
Sadar jika dirinya anak angkat, Bella cukup tahu diri, dia sering membantu Bi Sumi mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti tadi, dengan senang hati dia pergi ke pasar karena ada beberapa bahan makanan yang lupa di beli Bi Sumi.
***
Sesampainya di rumah, Fardhan langsung masuk ke kamarnya. Sakit hati, terluka dan merasa direndahkan. Ingin rasanya saat ini dia membangunkan sang Ayah dari dalam kubur dan meminta pertanggungjawaban atas semua perbuatannya yang mengakibatkan dia harus terhina seperti ini.
Fardhan merasa bagai terpuruk di dasar jurang sebagai pecundang sejati yang tak sanggup memperjuangkan cintanya, semesta seolah-olah menertawakan kekalahannya tanpa belas kasih. Dihina dan dikerdilkan cuma karena tak berharta, bahkan cinta yang begitu besar seakan tak berharga. Sungguh sakit sekali.
Fardhan memandangi pigura berwarna emas berukuran sedang yang terpajang di dinding, tampak senyum bahagia menghiasi bibir ayah dan ibunya, senyum yang mungkin tak akan dia lihat lagi.
“Aku benci Ayah!”
Praaaang ....
Fardhan meraih pigura foto itu dan membantingnya ke lantai, hingga pecah berserakan.
“Ada apa, Dhan?”
Seorang wanita paruh baya bernama Ranti tergopoh-gopoh berjalan mendekati pintu kamarnya yang terbuka lebar setelah mendengar suara benda pecah dari dalam kamar sang putra.
“Astaga ....” Ranti menutup mulutnya yang ternganga demi melihat keadaan kamar Fardhan yang berantakan.
“Fardhan? Ada apa ini? Apa yang terjadi?” Ranti mendekati Fardhan dengan hati-hati sebab pecahan kaca pigura itu berserakan dimana-mana.
“Apa harta begitu penting bagi semua orang, Bu?” Tanya Fardhan tanpa menjawab pertanyaan sang Ibu sebelumnya.
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Ayah lebih memilih meninggalkan kita karena tak sanggup kehilangan hartanya dan sekarang ....” Fardhan terduduk di atas ranjang sambil menundukkan kepalanya.
“Keyla lebih memilih menikah dengan lelaki lain yang kaya daripada aku yang sudah jatuh miskin. Apa harta itu segalanya?” Lanjut Fardhan dengan suara yang bergetar menahan geram dan sedih sekaligus.
Ranti mendudukkan dirinya di samping Fardhan dan merangkul pundak sang putra. “Sebagian orang memang beranggapan bahwa harta itu segalanya, mereka lupa bahwa ada yang lebih berharga, yaitu cinta dan kasih sayang. Menjadi miskin enggak akan membunuhmu, selama kau masih terus berusaha untuk bangkit dan enggak menyerah pada keadaan. Tapi tanpa cinta, semua yang kau miliki akan hampa dan enggak berguna.”
“Kalau begitu Ayah enggak memiliki cinta untuk kita?”
“Ayah bukan enggak memiliki cinta untuk kita, dia hanya enggak sanggup menerima kenyataan dan memilih untuk menyerah alih-alih berusaha untuk bangkit.”
Fardhan tertegun mendengar perkataan sang Ibu meskipun sakit di hatinya tetap terasa. Dia masih belum bisa menerima semua kehancuran ini, bukan perkara mudah menyembuhkan hati yang terluka berkali-kali dalam waktu singkat. Apalagi luka itu disebabkan oleh dua orang yang begitu dia cintai. Entahlah, mungkin sampai kapan pun luka dan rasa sakit itu masih terus menghantuinya.
***
Malam harinya, Kediaman Hartono sudah terlihat ramai, beberapa mobil sudah berjejer rapi di halaman rumah nan megah itu. Tamu-tamu undangan yang sebagian besar muda-mudi sudah berdatangan dengan pakaian terbaik mereka.
Dengan setelan kasual, Bara turun dari mobil dan berjalan masuk menuju tempat acara. Sebenarnya dia tidak berniat untuk menghadiri acara ulang tahun ini, tapi karena yang mengundang langsung adalah Rudi Hartono si empunya rumah, mau tak mau dia harus datang. Bukan tanpa alasan, tentu dia harus menghargai Rudi sebab perusahaan mereka sedang menjalin kerja sama.
“Selamat datang Bara.” Sapa Rudi ramah. “Aku pikir kau enggak akan datang.”
Bara tersenyum. “Suatu kehormatan bisa diundang oleh Pak Rudi. Mana mungkin saya enggak datang.”
“Wah, kau bisa saja.” Rudi tergelak dan merangkul pundak Bara. “Mari masuk! Acara sudah hampir dimulai.”
Rudi dan Bara berjalan masuk ke dalam rumah yang sudah di hiasi dengan balon berwarna pink dan bunga-bunga cantik. Ditengah-tengah ruangan dia dapat melihat seorang wanita bergaun baby pink sedang tertawa riang di depan sebuah kue ulang tahun dengan angka 25. Bara sudah dapat menebak wanita cantik itu pasti Karina Hartono, putri Rudi. Sebab Rudi pernah bercerita tentang putrinya itu.
Acara pun dimulai, nyanyian lagu ulang tahun menggema di ruangan itu. Bara hanya diam menikmati minuman dan camilan di hadapannya sembari terus memandangi Karina yang terlihat sangat cantik.
Sementara Bella hanya bisa beristirahat di dalam kamarnya, sebab setelah diurut, kakinya semakin bengkak dan sakit. Dia tak bisa berjalan dan hal itu sungguh membuat Bella sedih karena tak bisa ikut merayakan pesta ulang tahun sang kakak.
***

Komentar Buku (375)

  • avatar
    jibanridwan

    ceritanya bagus tapi ceritanya tidak tuntas

    31/07

      0
  • avatar
    MartaKristina

    bikin penasaran

    27/07

      0
  • avatar
    HoiriaSiti

    5000

    25/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru