logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Menikahkan Suamiku

“Ma, Naya pulang sekolah langsung ke rumah Tante Laras aja.”
“Iya, Nay. Mama sudah checkin ke Aqua lagi, dua adikmu Syifa di sana sama Tante Wid, apa gak gabung aja? Ajak Tante Laras skalian biar rame.” Aku sengaja bawa kami nginap lagi malam ini, menghindari rumah tentunya. Sebenarnya bisa nginap di rumah saudara, tapi keputusan menikahkan Mas Danang mengundang banyak tanya, aku sedang malas bahas itu berulang-ulang. Bukankah cukup sekali kujelaskan dan mereka harusnya faham. Pengulangan tanya hanya membuka luka yang sudah kubalut.
“Nanti deh Nay pikirin, ada tugas kelompok juga ini, Ma, besok dkumpul.”
“Iya, Sayang, kerjakan aja dulu. Nanti kita ketemu.”
“Mama di mana?” Naya mungkin dengar suara vacum comedo yang menyedot di cuping hidung.
“Em,” Aku terjeda pegawai salon permisi akan menyedot bagian dagu. “ini mama di salon, lagi bersih-bersih komedo.”
“Ah, coba tau tadi Nay ikut.”
“Boleh dong langsung ke sini aja, minta anter tantemu, kerja kelompok jam berapa?”
Mbak salon itu paham aku belum mau memutuskan panggilan, ia membersihkan kotoran pori-poriku di sela aku bicara.” Apa pun yang kulakukan kalau anak butuh bicara pasti aku siapkan waktu, walau ini akan buat beberapa bagian kurang maksimal bersih.
 “Belum sih, satu setengah jam lagi. Nay nyusul ke situ ya, mo creambat, bentar habis duhur dulu, tadi gak sempat di sekolah.”
“Belum duhur?” kulihat jam di dinding. “Cepetan gih, ini sudah hampir Asar.”
“Oke, Ma. Aku bawa Tante Laras juga, ya. Tuh teriak mau. Haha.”
“Siap, Sayang, nanti mama bayar.”
“Cihuy!” Suara senang di belakang. Itu Laras adik bungsuku.
“Tuh kesenengan. Entar Nay aja yang bayar, pokoknya Mama nikmati aja dulu.”
“Siap, Sayang, habis ini mau luluran juga.” Mataku terpejam, ditutup kapas dingin segar, lalu masker collagen yang seperti gel mulai dioles ke kulit wajah. Oh, rasa dinginnya ikut menyegarkan otakku.
Naya masih bicara, sesaat sebelum tutup telepon ia sempat bilang dapat surat dari cowok di sekolahnya tadi, belum dibuka nunggu aku baca bareng. Bibirku refleks tersenyum. Inilah bahagia, mereka menganggapku ada. Sejenak aku terlupa pada ia pembuat luka.
Usiaku sudah masuk 43 tahun, tanda-tanda menua suda tampak dan tak bisa dihindari. Biasanya aku tiga bulan sekali facial, lebih seringnya luluran, tapi sekarang kayaknya musti rutin setiap bulan.
Kuabaikan kalau sekarang di rumah sedang ada dekor dadakan, ruang tamu kami jadi tempat akad nanti. Yang ngurus ya orang salon yang dadakan juga kupesan. Untuk makanan ada tetangga yang kupercayakan, cukup makan sekitar ratusan orang, kesemuanya rekan terdekat dan temanku juga teman Mas Danang.
Mereka syok saat berita ini kusampaikan kemarin, plus meminta bantuan mereka siapkan segalanya untukku. Ya, kemarin. Karena keputusan bertahan setelah sempat terpikir berpisah saja itu juga baru kemarin, saat Denok bilang sangat menyayangi ayahnya.
Ijab mereka sengaja kupulih malam, beberapa jam semua akan beres, dan esok hari aku mau rumahku bersih tanpa bekas. Mengawali hidup baru meski kucoba sangkal akan tetap sama seperti sebelumnya, tapi pada perjalanannya nanti pasti akan berubah. Itu firasatku.
Banyak teman menyarankan pisah saja, atau usir April yang nyatanya telah mengkhianatiku. Ah, rasanya akan terlalu mudah begitu, pikiran Mas Danang terlanjur rusak. Biarpun kuusir April menjauh tetap lelakiku memikirkannya. Biarkan kuberi waktu ia puas mencari kesenangannya, dan aku akan tetap kuat bersama anak-anak.
*
Kikuk itu yang pertama terlihat saat Mas Danang datang membawa April ke rumah, setelah Magrib. Ia melihat apa yang sudah kupersiapkan untuknya. Dekor nuansa merah muda. Aku menyambutnya dengan senyum.
Tiga puluhan orang yang rata-rata emak tetangga kepo kumpul tertawa-tiwi di rumah. Muka April memerah sementara Mas Danang menyapa mereka, tapi senyumnya yang terlempar terlihat kaku. Apalagi saat salamnya masuk tadi dijawab riuh, ada nada menggoda mereka. Entah suara siapa yang berani begitu, karena di sini banyak orang.
“April masuk ke kamar tengah, kamu harus dirias,” sambutku dengan senyum termanis. Maklum tingkat kepedeanku setelah perawatan full tadi jadi naik berlipat-lipat. Ia megangguk, melewati ibu-ibu dengan senyum malu-malu.
“Sini, Dik.” Mas Danang memegang tanganku, melangkah ke kamar. Gemuruh suara ibu-ibu teman gaulku mengiringi langkah kami. Aku memberi kode tempel telunjuk di bibir tapi malah disambut sindiran mereka ‘Aya nyerobot pengantin pria, euy! Ada-ada saja.
“Kenapa sebanyak itu orang kumpul di sini?”
“Mereka yang tadi habis bantu aku siapin acara, Mas.”
“Tapi aku terganggu!”
Aku menatapnya dalam jarak dekat. Belum juga diakui punya istri dua suamiku ini terlihat tegang. Hati-hati loh jantungnya, kasian kalau belum apa-apa malah si April cuma ngurus sakit, Mas.
“Mas santai aja, bukannya Mas mau aku setuju? Tuh pernyataanku sudah siap nanti di depan penghulu.” Kutunjuk selembar kertas dengan bertanda tangan di atas materai, yang sudah kupersiapkan sebelumnya.
"Tapi … bukan begini caranya-“
“Mas mau diam-diam? Sadar, Mas. Kita punya anak-anak yang kritis, mereka sudah banyak tanya tapi Mas Danang selalu menghindar …” Mata ini terasa panas. Melihat wajah yang dulu suka kurangkum untuk mengecup kelopak matanya, dada yang sering kutenggelamkan kepala untuk mendapat ketenangan di sana, kini akan menjadi milik orang lain juga.
“… Almira, Naya, Syifa, Denok … mereka risi dengar berita di luar tentang Mas selama ini. Karena itu sekarang ini langkah terbaik, kita terbuka saja pada siapa pun, dan anak-anak akan paham kalau hubungan Mas dengan perempuan itu halal, sah, dan aku menerimanya. Akan berbeda cerita kalau Mas diam-diam ke sana kalau berhasrat.” Tak kupedulikan mukanya menegang. Memang begitu kan kenyataannya.
“Aku berdoa, berharap cukup ini terakhir terjadi di antara kita, jangan sampai terjadi pada anak-anak ….”
Ia terdiam. Sepertinya ia memikirkan juga apa yang kuucap.
“Bada Isya penghulu baru bisa datang. Siapkan diri Mas Danang.”
Aku melangkah ke kaca rias, pipi yang sempat basah kuusap dengan tisu. Lalu menarik senyum, aku harus tegar. Tarikan napas ini cukup melegakan, aku keluar menemui teman-teman, mereka serentak memandangku, bergantian memeluk dan menguatkan.
“Mbak Aya, kalau gak kuat kita bantu hajar tu April mumpung dia di sini.” Salah satu teman berani membisiki itu di telinga, beberapa lain mengiyakan. Sungguh, sisi hati jahatku mengiyakan, tapi sisi lain apa kata anak-anak kalau aku begitu, dan Mas Danang mungkin akan menggila.
“Mama Almira, pikirkan lagi. Mumpung mereka belum sah!”
Hatiku tertawa. Itu akan percuma, Mas Danang sudah menikahinya diam-diam. Aku mengangkat wajah, menghapus air mata.
“Agama membolehkan kok suami poligami, aku akan terima itu.”
“Kamu ngeyel, Mbak Aya. Kelihatan sekali matamu itu gak rela.”
“Iya mamanya Almira ini mau-maunya diinjak, itu si April kan gak ada apa-apanya, modal badan doang! Kalau aku sudah tak sambelin pas masuk tadi!”
Masih beragam pendapat pro dan kontra. Aku tetap pada pendirian.
*
Makin banyak yang datang, tapi tidak anak-anakku mereka bersikukuh memilih tidak ingin melihat ini. Aku paham, asal mereka tahu saja kalau bapaknya sudah menikah itu cukup.
Aku duduk lesehan di antara para tamu, menyaksikan semua sampai kata sah dari pernikahan terpaut usia 26 tahun itu terucap. Genggaman erat tangan teman-teman makin menguatkanku untuk tak menangis.
“Terima kasih atas keikhlasannya Bu Soraya. Kami atas nama keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya,” tandas paman April yang sebelumnya kupaksa datang untuk menjadi wali.
Ia datang sendiri dengan wajah banyak tertunduk, sama seperti yang dilakukan keponakannya itu. Sementara ibunya April tak menampakkan batang hidung sama sekali, sudah pasti malu, merasa bersalah Mas Danang diam-diam menikahi anaknya beberapa hari lalu di rumahnya, tanpa sepengetahuanku.
Aku tak menjawab kalimat basa-basi itu. Terlalu sulit untuk banyak bersandiwara, berpura menerima padahal hati ini berat, amat berat.
“Kalau kamu gak kuat di rumah bisa langsung ke rumahku, Aya, kita ngerujak rame-rame.”
“Ke rumahku juga bisa. Pintu lebar kebuka untukmu. Jangan simpan sendiri masalah, nanti jadi penyakit. Akan ada orang yang kesenangan kalau kamu sakit.”
Aku mengangguk haru. Lepas acara teman-teman berlomba menyemangati. Sampai si pengantin perempuan terlihat diabaikan, ia terus tertunduk, sebab tak ada yang mendekat barang mengucapkan selamat padanya. Mas Danang ngobrol dengan teman-teman sesama pengusaha di ruang lain, terlihat lupa memperhatikan istri barunya.
Justru akulah yang dikerumuni, awalnya perhatian mereka membuat hati sendu, memanaskan mata sampai kemudian tawa bisa kulepaskan jua. Ada saja hal lucu yang jadi topik pembicaraan mereka, termasuk si Sri, tatangga yang melorot kemben saat nyanyi di kondangan, bukan malu ia malah guyon kalau para penonton kebetulan beruntung melihat ‘bolanya’ hahaa.
 
Ah, nikmatnya memiliki banyak teman baik, mereka mendukungku meski aku tak pernah mengumbar keluhan.
Lepas acara, semua pamit pulang. Si April yang sejak tadi hanya bungkam, merasa sendiri di antara keramaian gegas masuk kamar, dan mungkin sekarang sudah berganti pakaian, menunggu Mas Danang menemuinya.
“Mas, rumah ini khusus untuk kita dan anak-anak. Jangan bawa istrimu ke sini.” Aku mengingatkan saat lelaki ini masuk kamar kami.
“Baiklah, Dik. Aku hargai ikhlasmu, kamu butuh waktu. Semoga dua keluarga ini nantinya bisa akur.”
“Maaf, Mas. Jangan terlalu berharap, ingat, aku lakukan ini hanya untuk anak-anak.”
“Loh, kenapa begitu?”
“Ya memang begitu. Rumah ini milik anak-anak, dan keluarga baru Mas Danang itu harus mulai dari nol. Ah ya, Almira sedang butuh biaya banyak, rumah yang baru dibeli dari Pak Idris itu sudah kutawarkan.”
“Soraya!” Kasar ia menyebut nama panjangku. Tak pernah seperti ini. Yah, mungkin aku harus terbiasa dengan sikap barunya.
“Aku nggak mungkin pakai uang pabrik atau uang CV. untuk biaya sekolah. Kemarin lunasin rumah itu juga kepake asuransi pendidikan Almira, aku terlanjur deal karena ada yang nawarin.”
“Kamu kenapa bertindak sesukamu, hah?!”
“Apa Mas gak malu kalau Almira putus di tengah jalan? Apa kata orang-orang? Sedangkan kita sudah membangga-banggakan anak jadi calon dokter, Mas. Itu cita-cita terbesar Almira juga.”
Ia terlihat melunak. Aku sangat mengenalnya, harga diri Mas Danang itu cukup tinggi, marah jika diremehkan. Ia merasa orang yang mampu dalam segala hal. Mungkin juga berhasil mendapatkan istri muda nan cantik termasuk kebanggaan di depan teman-temannya. Padahal kalau bukan aku yang atur keuangan usaha kami sudah lama gulung tikar.
Kami keluar kamar tepat saat April menunggu di depan kamar bekasnya dulu. Tak kusangka perempuan itu memakai pakaian tipis seperti … lingerie, warna cream yang atasnya dilapisi dengan jaket jeans. Bagian dada berenda bentuk V itu sangat rendah, dan oh, astagfirullah … bahan kain yang dipakai seperti bentuk saringan santan, bahkan lebih transparan, tampak jelas celana dalam merah melambai-lambai hasrat lelaki.
Mas Danang yang berdiri di depanku terlihat menelan ludah berkali-kali, melihatnya tanpa kedip. Aku yang syok segera tersadar melihat senyum tipis April. Oh, rupanya ia sengaja bawa pakaian ganti itu tadi. Mau memanasiku, hem?
Hahaa. Hatiku langsung tertawa. Kelihatan merasa hebat, tapi ini menurutku sangat memalukan. Menjijikkan. Alhamdulillah anak-anakku tak ada di sini.
Oke, silakan kau nikmati dulu, April. Jangan lupa, nikmat ini hanya sesaat, sebentar lagi hatimu akan mulai gelisah. Itu kupastikan terjadi.
Bersambung ....

Komentar Buku (61)

  • avatar
    EzamFiza

    Semangat

    03/06

      0
  • avatar
    Riyani Dewi

    dijamin seru

    24/05

      0
  • avatar
    hanaNur

    Ceritanya bagus banget,sarat akan pengajaran.

    24/02

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru