logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Dear Diary

Sudah beberapa hari Ayah di rumah. Sepertinya, aku tidak bisa merelakan begitu saja jika beliau harus pergi lagi ke Jakarta. Rumah akan terasa hampa. Kehidupan seperti sudah meredup saat tidak ada sosok yang meneranginya lagi. 
Dulu, kami bisa makan bersama di satu meja. Dulu, kami bisa duduk dan saling tertawa di ruang yang sama. Dulu, kami bisa berbagi rasa. Namun, semua memori itu kini sudah sirna. 
Ayah yang tidak lagi 'stay' di rumah. Ibu yang selalu marah-marah. Kakak yang hanya sibuk dengan dunianya, dan aku yang sibuk mengeluh dengan keadaan yang tak kunjung berubah. Hanya duka, lara, dan nestapa yang memenuhi sukma. 
Saat berada di kamar,  aku kerap melamun dan tiba-tiba tertawa sendiri. Namun, seketika juga bisa langsung berubah emosi dan menangisi sesuatu yang aku sendiri 'tak mengerti. Tanpa sadar, aku pun berbicara seorang diri. Seolah seorang teman sedang mendengar keluh di hadapanku. Benar-benar gila sepertinya jiwa ini. 
Denting berbunyi memecah sunyi. Seolah ia pun berbisik, sengaja membangunkanku di tengah malam. Kubuka jendela kamarku yang letaknya di lantai dua. Kursi belajar yang terbuat dari kayu kutarik menuju jendela dan kuambil 'diary book' yang menumpuk di antara buku catatan sekolah. Kamarku mengarah tepat ke jalan raya. Tampak lalu lalang kendaraan masih ramai. Rumah Anggi terlihat sepi dan gelap, rupanya penghuni rumah sudah lelap terpejam bersama mimpi. 
Semilir angin membelai rambut panjangku yang tergerai. Ku pandang wajah malam yang tenang. Bulan tampak bersanding dengan banyak bintang. Pena mulai menari di atas kertas catatan. Memenuhi tiap baris kosong dengan seuntai kata. Tiba-tiba air mata berderai jatuh tak tertahan.
[Ada apa dengan hatiku? Kenapa rasanya sesedih ini?] gumamku dalam hati. Padahal saat ini, bintang mengedip genit mengajakku bercanda. Seharusnya aku tersenyum bahagia.
'Dear Diary'
Bandung, 2003.
Untuk malaikat yang aku rindu peluknya setiap waktu, Ibu. 
Maafkan aku telah menjadi anakmu. Maafkan karena aku menjadikanmu Ibuku. Maafkan aku karena selalu menyebalkan di matamu. Aku tak pernah ingin sekali pun menyakitimu. Luka memar yang ku dapat setiap hari, meski sakit tapi aku bahagia. 
Untuk malaikat yang aku rindu senyum dan sapanya, Ayah. 
Maafkan aku karena menjadi seorang putri yang manja. 
Maafkan aku karena selalu menjadi anak Ayah yang merepotkan keluarga. Aku tak pernah berpikir sejauh itu. Sungguh, aku sangat bahagia menjadi putri kalian. 
-Serralova-
Hawa sejuk berembus masuk dari jendela yang ku buka lebar semalam. Rupanya aku tertidur setelah menulis diary. Pagi ini mentari bersinar cukup cerah. Aku pun harus bersiap lagi dengan sejuta kenyataan yang menanti hari ini. Seketika teringat satu janji dengan Anggi. Segera ku ambil handuk dan berlari ke kamar mandi. Dengan terburu-buru, aku langsung sikat gigi dan kusiram air ke sekujur tubuh. Dinginnya air membuatku untuk lebih cepat ke luar dari ruang ini. 
Setelah beberapa saat, aku pun keluar kamar menuju ke bawah. Ku gendong tas pink dengan motif bunga mawar yang dikelilingi motif hati kesayanganku. Dari pintu kamar kedua lantai atas, kakak keluar dengan rambut berantakan dan mata masih tampak sayu. Sepertinya dia belum mandi. Sesekali dia menguap lalu meregangkan tangannya ke atas. Kakak tampak terkejut setelah melihatku. Umurku dan kakak hanya berbeda dua tahun saja.
"Apa liat-liat?" cetusku sedikit mengerutkan kening. 
"Ini beneran adik gua nih? Eh buset dah, dapet hidayah dari mana pagi-pagi gini?" Dia menyeringai terheran-heran melihat penampilanku, "Kamu mau ke mana sih?" tanya Kakak penasaran. 
"Mau menjemput harapan," candaku. 
"Sok iya menjemput harapan. Harapan palsu? Awas sakit hati nanti." Dia tertawa girang mengejekku. 
Handuk yang aku bawa dari kamar tadi dan masih sedikit basah kulempar dengan keras ke wajahnya. 
Bbbukkk! 
"Mandi sana, jorok banget sih." Segera kuberlari ke bawah menuju dapur. 
Kulihat Ibu masih repot mencuci piring. Sementara Ayah, sudah duduk di meja makan sambil minum teh manis. Beberapa potong pisang goreng dan nasi beserta lauknya sudah tersaji. Setelah kakak yang terkejut dengan penampilanku, kini Ayah pun menunjukkan raut yang sama persis seperti kakak. Beliau tersedak lalu tersenyum. Aku pun segera mengahmpiri dan duduk di kursi tepat di hadapan Ayah. 
"Kok tumben? Sekolah bukannya libur?" tanya Ayah. 
"Mau .... "
"Paling juga mau main sama temennya, Yah. Emang kerjanya main mulu kalau libur. Bukannya belajar." Belum selesai aku menjawab, Ibu sudah memotong dengan ketus. 
"Enggak, kok, Bu. Anggi ngajakin ke masjid. Dia bilang di sana mau ngadain acara buat pengajian. Anggi ikut bantuin panitia DKM-nya, Bu." Aku menjelaskan dan membantah tuduhan Ibu. 
"Oh, ya? Emang kapan? Kok Ayah gak tau?" Ayah bertanya kembali. 
"Sekitar semingguan lagi acaranya, Yah. Katanya, nanti ngundang ustad terkenal itu lho yang di TV. Ustaz Jefry Al Buchori kalau gak salah." Aku menjelaskan dengan semangat. 
"Ah, alasan itu, Yah. Bilangnya ke masjid. Taunya nongkrong di warnet. Belum bisa kerja tapi seneng banget ngabisin duit buat main-main." Lagi-lagi Ibu tidak percaya dengan perkataanku. 
"Ya Allah, Ibu. Kok ngomongnya gitu? Ga boleh suudzan mulu sama anak." Ayah menepis perkataan Ibu, lalu mengambil piring dan meletakkannya di hadapanku. 
"Ayo sarapan dulu." Nasi yang masih mengepul itu Ayah ambil. Namun, aku menolak untuk sarapan. 
Aku hanya diam dengan tuduhan Ibu barusan karena tidak mau membuat keributan di pagi hari. Kubiarkan saja pikiran Ibu berkelana jauh tentangku. Tanpa menunggu lama, aku segera pergi dan pamit. Di luar, Anggi sudah menunggu. Dia tampak anggun dengan gamis dan jilbab panjang sepinggang. Aku yang hanya mengenakan jilbab sebahu, kaos oblong panjang, dan rok rimpel saat itu merasa malu. 
"MasyaAllah, cocok deh kamu, Ra. Wanita shaleha." Sambil tersenyum, dia menggodaku yang baru pertama kali mengenakan kerudung. 
"Apaan sih, Nggi. Malu tau. Harus ya aku pake kerudung kayak gini ke masjid?" tanyaku. 
"Gak harus, sih, tapi lebih sopan pake jilbab kalau ke masjid. Apalagi kita muslim. Ya masa kamu mau pake rok sepan. Nanti kamu jadi pusat perhatian banyak orang," tutur Anggi. 
"Enggak, maksud aku...."
"Udah deh ga usah banyak alesan. Kamu tetep cantik kok meski pake jilbab. Malahan tambah cantik." Belum selesai aku bicara, Anggi sudah menyela lebih dulu. 
"Ayo, Ra. Kita udah ditungguin di masjid." Dia menarik tanganku dan kami berjalan ke arah kanan dari rumahku. 
Sepanjang jalan menuju masjid. Anggi sedikit menjelaskan tentang hijab dan kewajiban muslimah untuk mengenakannya. Dia bilang, kalau seorang perempuan muslim yang udah balig wajib menutup aurat dan berhijab. Hal ini tertulis dalam firman Allah yang berbunyi, 
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” QS: Al-Ahzab [33]:59.
Aku hanya diam dan mengangguk mendengar sedikit penjelasan Anggi. Tiba-tiba aku teringat kerudung putih dan 'pink' pemberian Ayah sekitar satu tahun lalu. Ayah pernah memintaku untuk mencoba memakainya. Namun, waktu itu masih menolak karena belum terbiasa dan masih merasa malu. Aku memang belum pernah memakai jilbab sekalipun. Meski ayah berkali-kali menyinggung soal jilbab, aku tidak pernah mendengarkannya. Berbeda dengan Ayah, Ibu justru tidak terlalu peduli tentang kewajiban itu. Bahkan, sampai sekarang pun Ibu belum mau memakainya. Menurut pandangannya, yang penting hatinya dulu harus baik. Setelah itu baru persiapkan tentang kewajiban berhijab. Tentu pemikiran yang salah. 

Komentar Buku (234)

  • avatar
    e******s@gmail.com

    sangat seru dan menginspirasi

    11/06/2022

      0
  • avatar
    Wan Wan

    aduh, urusan mental ini selalunya dalem banget. jadi ikut terhanyut 😿 love yang banyak buat author mwah walaupun bikin sedih dari awal blurbnya 🙂🧡🧡🧡🧡🧡🧡

    19/05/2022

      0
  • avatar
    AmaliaRedyta

    Wah, bagus ini ceeitanya. Semangat update babnya, kak!

    31/03/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru