logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Selamat Berjuang

Helga yang tampak sudah sepenuhnya mendapatkan kembali kesadarannya, terkesiap kaget. Ketika mengetahui, bahwa dirinya sudah berdiri di ambang kematian. Melihat kakinya berjarak sangat jauh dengan tempat Dylan CS berada ... mendadak, kepala Helga terasa pusing disusul pengelihatannya yang mulai kabur. Dan hal itulah yang menyebabkan Helga kehilangan keseimbangan tubuhnya, hingga akhirnya ia terpeleset jatuh.
"Helga!!" Devian yang baru saja menyadari gadis di depannya sudah tak lagi berada di tempat semula, langsung melongok ke bawah gedung. Dan,
TAP!
Satu tangan Devian berhasil menangkap salah satu lengan seseorang yang akan terjun dari lantai empat, gedung kosong itu. Namun alangkah terkejutnya Devian, kala ia mendapati bahwa lengan yang berhasil diraihnya adalah tangan kanan sebuah boneka beruang. Bukan tangan Helga yang justru tengah bergelantungan sembari menggenggam kuat tangan kiri boneka tersebut.
"Coco ...."
Suara lirih yang sempat terucap dari mulut Helga terputus, bersamaan dengan robeknya dada boneka beruang bernama Coco itu, mengakibatkan tubuh lemah Helga benar-benar jatuh ke dasar gedung.
"HELGAAA!!!" Devian memekik keras, setelah tangan boneka beruang pemberiannya sudah terpisah dari anggota tubuhnya yang ikut terbawa oleh Helga meluncur cepat ke bawah sana.
Dengan matanya yang terpejam. Helga dapat merasakan betapa kuatnya desir angin yang seolah tengah berusaha untuk menahan tubuh ringkihnya, agar tidak hancur saat menabrak bumi. Namun, setelah sadar bahwa angin hanyalah salah satu hal di dunia ini yang tidak dapat ia lihat wujudnya, namun bisa ia rasakan keberadaannya. Membuat Helga berpasrah diri, menyambut kematiannya yang akan segera datang menjemput.
HOP!
Tidak sakit.
Apakah saat ini Helga sudah benar-benar meninggal? Sehingga ia tidak merasakan sakit yang teramat sangat, begitu tubuhnya menghantam permukaan tanah? Tapi, kenapa sekarang telinga Helga mulai menangkap sayup-sayup suara orang yang menanyakan keadaannya? Apakah itu suara para malaikat?
"Hei, lo gak apa-apa 'kan?" tanya Dylan tampak cemas.
"Ayo, bangun!" titah Ernest khawatir.
"Tolong buka mata lo," pinta Arthur.
"Cepetan bangun. Tangan gue udah pegel nih, nahan bobot badan lo," keluh Baron yang sukses membuat Helga membuka netranya lebar.
Ternyata, Helga tidak jadi meninggal. Karena dengan cekatan, keempat pemuda tampan di dekatnya, sudah lebih dulu bekerja sama; menautkan tangan mereka, untuk menahan tubuh Helga yang jatuh dari atap sana.
Melihat gadis yang berusaha ditolongnya telah selamat, Devian lekas menuruni tangga. Keluar dari gedung terbengkalai itu, untuk memastikan bahwa Helga baik-baik saja.
Langkah lebarnya mendatangi Helga yang tengah dikerubungi empat orang pemuda di sekelilingnya, kian melemah. Manakala Devian, menangkap kekhawatiran yang cukup berlebih dari sikap Dylan yang terus menanyakan pada Helga, apakah ada bagian dari tubuhnya yang terluka sembari menggenggam kedua bahu gadis itu.
"Nggak. Aku gak kenapa-kenapa kok. Makasih ya? Kalian udah nolongin aku," tutur gadis imut itu seraya menundukan kepalanya, yang berpaling menatap kondisi boneka beruangnya yang mengenaskan.
"Coco ...." Helga mendesah pelan.
Devian mengembangkan senyumnya lebar, lantas memberikan potongan tangan boneka beruang yang digenggamnya pada Helga yang tengah menimang boneka tersebut. "Udah, gak apa-apa. Nanti gue bisa beliin yang baru lagi."
Suara Devian yang seolah tak menghargai jasa baik Coco yang secara tidak langsung juga telah berkorban demi menyelamatkan Helga. Membuat gadis berparas imut itu secepat kilat mendongakan kepalanya, untuk menatap lekat wajah Devian yang ternyata sudah berada di hadapannya.
"Gak. Aku gak mau dibeliin boneka baru. Mana mungkin aku ngebuang gitu aja sesuatu yang udah rela berkorban demi menolongku. Biar nanti, Coco ... aku jahit aja," tolak Helga ketus, disambut kekehan geli oleh Devian yang langsung mengacak gemas rambut gadis itu.
"Oke! Kalo gitu ... jangan tunjukin lagi muka sedihnya dong. Jelek tau!" celetuk pemuda bermata kecil itu beralih merusak tatanan poni yang menutupi dahi Helga.
Melihat keakraban yang terjalin antara Helga dan Devian, kini giliran Dylan yang merasakan ada sesuatu yang aneh, tengah bergemuruh di dadanya. Otaknya pun mulai dipenuhi pertanyaan, tentang siapa Helga, dan apa hubungannya dengan si anak indigo, yang juga telah menyelamatkan Dylan dari teror para hantu mengerikan semalam.
Belum sempat sebuah lontaran pertanyaan terucap dari bibir Dylan yang rupanya telah tertarik dengan paras cantik Helga, Devian sudah lebih dulu menyela dan mengajak mereka semua untuk pergi dari tempat itu. Karena Dylan, Arthur, Ernest, Baron dan Helga harus mempersiapkan diri untuk berangkat menuju sekolah baru mereka sore nanti.
*****
Devian bak seorang supir kendaraan umum yang mengantarkan kelima penumpangnya untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun bedanya, Devian mengantarkan penumpangnya itu, hanya dengan berjalan kaki. Guna membunuh jalan panjang berliku yang mereka lewati, Ernest dan Arthur memanfaatkan kesempatan itu untuk berkenalan dengan Helga, lantas mengintrogasinya. Kenapa Helga bisa sampai tak menyadari tubuhnya dikendalikan oleh sosok tak kasat mata, seperti hantu wanita, yang Devian ceritakan tengah memeluk erat punggung Helga di atap gedung tadi.
Sembari mendekap erat boneka beruang berhoodienya, Helga menjawab, "Aku ... aku gak tahu. Aku beneran gak tahu kenapa aku bisa sampe ada di tempat itu."
"Loh? Emang waktu kerasukan tadi, lo gak ngerasain apa-apa sebelumnya?" tegur Baron merasa aneh.
Mendengar ada sesuatu yang perlu diluruskam dari ucapan Baron barusan. Devian buru-buru menyela. "Helga tidak kerasukan dia cuma ketempelan. Kalau kerasukan, suara dan sikap Helga akan berubah total, tapi jika hanya ketempelan, Helga sendiri masih bisa mengendalikan separuh tubuhnya. Meski sebagian syaraf yang lain telah dikuasai oleh makhluk astral yang melekat di punggungnya." Devian mengambil jeda, mengamati keseriusan Dylan CS yang menyimak penjelasannya. "Dan alasan kenapa Helga tidak menyadari akan apa yang sudah raganya perbuat itu, mungkin ... karena jin wanita tadi, menyerang atau mengendalikan kinerja saraf otaknya secara perlahan. Semacem hipnotis gitulah, yang bikin si korbannya hilang kesadaran, meski dengan mata yang masih terbuka. Dan buat kamu, Helga. Lebih berhati-hati lagi ya ke depannya. Karena aura yang terpancar dari tubuh kamu itu, bener-bener menggoda mereka," imbuh Devian menutup penjelasannya.
Setelah begitu rinci mendengar penjelasan dari Devian. Kelima remaja yang berjalan beriringan dengannya itu, membisu. Mungkin, mereka semua tengah mencerna sedikit demi sedikit ucapan Devian barusan.
Suasana menghening. Pergerakan angin musim panas yang berembus dari arah depan, membuat Devian sesekali mengerjapkan matanya yang terkena tiupan debu jalanan. Suasana sepi itu memecah, ketika Ernest menyampaikan rasa penasarannya pada Devian.
"Lo ... beneran anak dukun ya, Dev? Kayaknya paham bener lo sama masalah yang berbau mistis gitu," celetuknya yang disambut tawa renyah Devian. 
"Atau jangan-jangan, lo salah satu murid dari SHS kali ya? Terbukti 'kan, dari lo yang sejak awal udah nyaranin kita semua buat masuk ke itu sekolah, yang belum jelas lokasinya di mana," sambung Baron menimpali.
Dan pemuda yang mengenakan celana training panjang bergambar panda, yang berjalan paling depan itu hanya menggelengkan kepalanya lemah.
"Gue gak sekolah di situ. Cuma, SHS emang tempat paling tepat dan aman buat orang-orang terpilih kayak kalian."
DEG!
Orang-orang terpilih?
Kira-kira, apa maksud terselubung yang terkandung dalam kalimat Devian ya? Jika benar. Arthur, Baron, Dylan, Ernest dan Helga adalah orang-orang pilihan. Lantas, untuk misi apa mereka semua dipilih? Dan semua pertanyaan itu, baru akan terjawab. Jika mereka berlima, sudah bersekolah di Supranatural High School.
Jauh berbeda dengan Arthur, Ernest dan Baron yang banyak mengobrol dengan Devian.
Dylan. Yang berjalan di posisi paling ujung kanan bersebelahan dengan Arthur itu, diam-diam terus mencuri pandang ke arah Helga yang lebih banyak diam, dengan melangkahkan kaki rampingnya di sisi kiri Arthur.
Meski jarak pandangnya terhalang oleh tubuh bongsor Baron dan Ernest yang berjalan di belakangnya. Namun entah kenapa, seiring semakin lekatnya Dylan memperhatikan Helga. Tiba-tiba saja, satu sudut bibir Devian tampak tertarik ke atas.
Entah kebetulan atau memang ada unsur kesengajaan. Ternyata, jarak antara rumah kelima remaja yang dipilih sebagai calon murid baru di Supranatural High School itu, cukup berdekatan. Hanya terpisah oleh sebuah jalan besar dan beberapa gang kecil saja, yang membuat letak rumah mereka terasa berjauhan.
Yang pertama sampai ke rumah lebih dulu, adalah Ernest. Kemudian Helga, lalu Arthur, setelah itu Baron dan terakhir ... barulah Devian mengantar Dylan sampai pagar depan halaman rumah besarnya.
"Masuk gih!" titah Devian yang suaranya sedikit tidak jelas, karena pemuda itu sambil memainkan permen lolipop di dalam mulutnya.
Sembari mengamati jam yang melingkar di tangan kirinya, Devian melanjutkan kalimatnya. "Jangan lupa, jam empat sore nanti. Kamu harus udah siap-siap. Karena kamu dan yang lainnya harus nyampe di sana, tepat saat matahari terbenam. Oke, Mase! Aku cabut duluan ya? Nanti sore, aku bakal jemput kalian lagi, daaah!" pamit Devian melambaikan sebelah tangannya, sebelum ia memutar tubuhnya membelakangi Dylan yang masih tertegun di tempatnya.
Melihat Devian berangsur pergi. Ada sedikit keresahan yang menguap dari dalam hati Dylan. Ini masih menyangkut hubungan antara Devian dan Helga yang menurutnya terlalu dekat. Mulut Dylan yang ingin mengeluarkan pertanyaan itu, seketika kembali terkatup. Dylan ragu. Apakah tidak apa-apa jika ia menanyakannya langsung pada Devian? Kalau nanti, pemuda berhidung pendek itu balik bertanya, untuk apa Dylan menanyakan hal itu. Maka, apa yang harus Dylan lakukan?
Seolah mendengar pertarungan batin yang sedang dialami oleh Dylan saat ini. Mendadak, Devian berhenti mengayunkan tungkainya. Berhenti bergerak dari tempatnya, dengan kedua tangan yang ia sembunyikan di dalam saku celana. "Soal itu ... aku gak punya hubungan spesial apa pun kok sama Helga. Aku cuma sekadar tertarik aja, sama kayak apa yang kamu rasain juga ke dia," ungkap Devian yang disambut delikan mata dari Dylan yang masih dipunggunginya itu.
Lagi. Devian kembali mengangkat ujung bibirnya sedikit, memamerkan senyuman licik pada jalanan kosong di depannya. Sedetik sebelum ia berlalu pergi dari pengelihatan mata Dylan.
Seiring semakin jauhnya jarak antara Devian dengan rumah yang Dylan tempati. Gumpalan asap putih yang tiba-tiba saja keluar dari bawah tanah yang baru saja Devian jejaki, berubah wujud menjadi sesosok makhluk tinggi besar yang mengenakan jubah berwarna putih. Bahkan, wajahnya juga tak dapat terlihat, karena tertutupi oleh tudung putih dari jubah tersebut.
Sosok yang tengah melayang itu, terus mengekor di belakang Devian. Seperti peliharaan yang mengikuti ke mana pun tuannya pergi.
"Akhirnya ... kau dapat menemukan mereka, pentagram emas dalam satu waktu sekaligus," ujar sosok itu yang direspon dengusan kecil dari Devian.
"Bukan aku yang menemukan mereka. Tapi, Supranatural High School-lah yang udah lebih dulu mendapatkan mereka," ralat Devian, sejurus setelah ia melepaskan permen bergagang dari dalam mulutnya.
Setelah mengatakan hal itu. Dari arah belakang, tepatnya dari atap rumah Arthur, Baron, Dylan, Ernest dan Helga yang baru saja Devian lintasi. Mendadak, memunculkan cahaya kuning keemasan yang terpancar cerah hingga menembus ke langit. Membentuk sebuah simbol bintang yang terkurung oleh sebuah lingkaran berukuran besar.
*****
Wanagama.
Adalah salah satu nama hutan lindung yang berada di empat desa, di kecamatan Patuk dan Playen, Gunungkidul, Yogyakarta. Cagar alam yang berjarak 35 Km ke arah selatan dari kota Yogyakarta itu, telah lama menjadi lokasi pembelajaran para mahasiswa yang mengambil jurusan kehutanan di UGM. Selain menjadi paru-parunya kota Pelajar. Hutan Wanagama juga menjadi destinasi wisata yang cukup diminati para pecinta alam. Dan kehadiran Pangeran Charles yang sempat berkunjung menikmati kayanya flora dan fauna di hutan Wanagama  beberapa tahun silam, semakin menguatkan daya tarik bagi para pengunjung yang kelewat penasaran, dengan rute jalanan hutan yang pernah sang Pangeran lalui.
Siapa sangka. Di balik indahnya hutan Wanagama, kala matahari masih mengapung tinggi di atas langit. Ternyata, hutan tersebut juga dapat menjadi tempat yang paling dihindari di kala malam menjelma. Yang menyulap tempat sejuk tersebut, menjadi lokasi yang sepi nan menyeramkan. Dan bahkan, slentingan kabar dari para penduduk, yang konon pernah melihat penampakan dari beragam macam wujud penunggu hutan Wanagama, juga kerap memancing berdirinya bulu kuduk orang yang mendengar.
Sore itu, Devian benar-benar mengantarkan kelima teman barunya mendatangi hutan Wanagama. Tepat di depan sebuah pagar kawat yang tingginya menjulang, pemuda lolipop itu menghentikan ayunan kakinya yang terbalut sepatu sport warna merah. "Nah, sudah sampai. Aku cuma bisa nganter kalian sampai di sini. Selanjutnya, silakan kalian masuk ke dalam dan teruskan perjalanan kalian sendiri. Hati, akan menuntun kalian untuk menemukan gerbang utama masuk ke dalam Supranatural High School. Dan jalan yang nanti kalian lewati, akan menjadi penentu. Di kelas apa, kalian akan tinggal. So, selamat berjuang!"
Mendengar arahan yang Devian katakan, membuat Helga dan Dylan CS yang sedikit kerepotan dengan tas besar yang mereka gendong, menautkan kedua alis mereka.
Baron yang keheranan melihat Devian mulai beranjak pergi, segera menangkap sebelah bahu Devian yang tengah menyembunyikan kedua tangannya, di dalam kantung hoodie pandanya.
"Heh! Tunggu-tunggu! Mau ke mana lo? Kok malah cabut sih?" protes pemuda bongsor itu, membuat Devian menoleh.
"E-emangnya ... lo gak ikut masuk, Dev?" imbuh Ernest menanyakan. Devian mengulas senyumnya tipis, lantas menggelengkan kepalanya.
"Nggak. Yang boleh masuk jam segini itu, ya ... cuma orang-orang yang udah punya undangan dari SHS. Udah, buruan masuk gih sana. Sebelum itu matahari bener-bener tenggelam. Oh iya, nanti ... apa pun yang terjadi saat kalian berpisah di tengah hutan. Jangan lupa, terus berdzikir ya? Percaya aja, bahwa di dunia ini, gak ada yang paling kuat. Selain kekuatan Allah. Oke? Goodbye!" Devian melambaikan tangannya kilas, sebagai ucapan selamat tinggal untuk kelima temannya.
Sebelum punggung Devian benar-benar hilang tertelan jalan tanah yang menurun, pemuda berhidung pendek itu sempat menatap Helga sedikit lebih lama. Meski tak menyampaikan pesan apa pun untuk gadis pendiam itu, namun dari caranya memandang. Jelas sekali, bahwa Devian mengkhawatirkan Helga.
Baron menggeram. Kesal dengan tingkah Devian yang lagi-lagi pergi di saat ia masih membutuhkan penjelasannya. Jika tidak ditahan oleh Dylan, pemuda emosional itu pasti sudah mengejar Devian dan memaksanya untuk mengantar Baron dan teman-temannya hingga sampai di depan bangunan sekolah SHS.
"Udah, biarin aja dia pergi. Toh, sebelum kita berangkat tadi, kita udah denger sendiri 'kan di telepon, kepala sekolah SHS sendiri yang ngeyakinin kita, kalo SHS itu bener-bener ada. Udah, ayo! Kita masuk aja. Sebelum ada petugas yang nuduh kita sebagai pengunjung ilegal di sini."
"Tapi, Dy! Lo gak curiga apa dengan pesan yang tadi Devian sampein? Dia bilang kita bakal terpisah di tengah hutan loh. Kalo itu terjadi, gimana kita bisa sampe di SHS? Lagian, bentar lagi itu malem. Kalo kita berpencar, terus kita ketemu hewan buas di hutan, kita mau minta tolong sama siapa coba?" tegur Arthur yang dengan langkah malas, membuntuti Dylan. Di susul Helga, Ernest dan juga Baron yang berbaris mengikuti jejak Dylan memasuki hutan.
"Ya, makanya ... kalian jalannya jangan jauh-jauh. Berbaris kayak gini aja."
Entah untuk keberapa kalinya, Baron berdecak sebal. Lelah, melihat jalan setapak di depannya yang seolah tak berujung. Maraknya suara serangga hutan yang mengusik gendang telinganya, membuat Baron terusik. Meluapkan kemarahannya, dengan menebas rimbunnya semak yang menghalangi kedua kakinya untuk menyusuri hutan, menggunakan tangan.
"Gue rasa kita lagi dijahilin deh, sama itu Anak Panda! Mana ada coba, bangunan sekolah yang katanya ada di balik hutan segede ini. Mana disuruh datengnya sore-sore gini lagi," gumam Baron ngedumel.
"Bar! Lo gak capek apa? Dari tadi ngoceh mulu. Namanya juga sekolah supranatural, ya mungkin aja 'kan itu bangunan tertutupi pagar gaib. Atau bahkan dilapisi tembok dari dimensi lain. Lo gak lihat apa, gimana caranya Harry Potter pergi ke sekolahnya? Dia aja harus nabrakin diri ke tembok peron stasiun dulu, baru bisa masuk ke sekolah Hogwarts. Terus, di film Narnia juga 'kan, ga jauh beda caranya," timpal Ernest menyangkutpautkan kondisi nyatanya dengan dunia fantasi dalam film.
"Eh, dodol! Itu cuma film! Dan film fantasi kayak gitu tuh, dianggap nyatanya ya ... cuma dalam dunia khayal si penulis doang. Gak bakal mungkin, terwujud di dunia nyata!" sembur Baron sembari menoyor kepala Ernest dari belakang.
Melihat temannya di bully oleh preman sekolah, bukannya menolong ... Arthur dan Dylan malah terkekeh geli. Dan menganggap, bahwa pertikaian mereka adalah obat mujarap untuk menyembuhkan rasa letih mereka setelah menempuh perjalanan panjang menelusuri hutan.
Jauh berbeda dengan keempat temannya yang terus saja membuat gaduh. Helga. Satu-satunya perempuan yang ikut mengekspedisi hutan Wanagama tersebut, malah terlihat gelisah. Arthur yang menangkap keresahan dari raut wajah gadis di belakangnya itu, sontak menanyakan hal apa yang membuat Helga menjadi seperti sekarang ini.
"Lo gak sakit 'kan? Atau ... barangkali, lo kecapekan ya? Kalo gitu, kita istirahat aja dulu di sini sebentar," celetuk Dylan perhatian. Yang malah disambut cibiran oleh Baron.
"Ehm. Keliatan banget pilih kasihnya tuh! Dari tadi, gue minta istirahat bentar aja, gak digubris. Nah, sekarang? Pas liat si Helga kayak gini, lo malah nyetusin buat istirahat. Jangan-jangan, lo naksir ini cewek ya?!" sindir Baron asal.
Dylan mendelik, melihat jari telunjuk Baron tertuju ke arahnya. Meski dengan warna pipi yang sedikit memerah,  pemuda yang hobi membaca majalah misteri itu langsung membantah dengan gelengan kepala. Dan mengatakan, bahwa semua tuduhan itu tidaklah benar. Dylan berkelit, jika Helga bukan seorang perempuan, tentu Dylan juga akan memperlakukannya seperti Baron dan yang lainnya.
"Ck! Elaah ... gak percaya gue!" tepis Baron yang disusul lirikan usil dari Arthur dan juga Ernest.
Suara gemuruh yang berkecambuk di balik gumpalan awan hitam di atas permukaan langit. Mengundang udara dingin, untuk datang membalut hutan yang kian menggelap. Dylan CS yang tengah beristirahat sembari berbagi bekal minuman dan makanan ringan, sontak bangkit berdiri. Kala menyadari, tak ada lagi celah yang dapat diterobos oleh sinar matahari, sore itu. Kilatan petir yang terlihat menyambar-nyambar di sudut langit bagian Timur, menambah kecemasan yang tengah mereka berlima rasakan.
"Padahal baru jam setengah enam sore, loh. Kok udah gelap gini, ya? Harus siap-siap nyalain senter nih kayaknya," gumam Arthur yang segera merogoh isi tasnya. Sedangkan Dylan yang beberapa detik lalu masih memperhatikan atap bumi, menginstruksikan pada keempat temannya untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum hujan dan gelap menghambat pencarian mereka.
Setelah memasukan kembali bekal makanan ke dalam tas mereka masing-masing, Dylan CS kembali menapaki dedaunan kering yang berserakan di lantai hutan.
Suara ranting-ranting pohon yang bertabrakan karena dipermainkan oleh angin kencang, menenggelamkan suara-suara serangga hutan yang sempat meramaikan tempat itu. Ernest yang berjalan paling belakang, menggedikan bahunya beberapa kali. Kala pemuda Tionghoa itu, merasakan tiupan angin menggelitiki tengkuknya. Sesaat setelah merasakan merinding yang teramat sangat, Ernest lantas menangkap pergelangan tangan Baron di depannya.
"Bar! Gue pengen pipis," ujar pemuda bermata sipit itu memancing emosi Baron.
"Ya terus, kalo lo pengen pipis. Gue harus mangap gitu? Iih ... ogah banget. Emangnya muka gue kloset apa!"
"Ya gak. Maksud gue, gue minta dianterin nyari tempat strategis buat pipis gitu, mau ya ... lo anterin gue? Pleasee ...," bujuk Ernest memohon dengan memasang wajah memelas.
"Udah, anterin aja sono, Bar! Kasian tahu. Anak orang itu," timpal Dylan ikut membujuk. Baron memutar bola matanya sebal, sembari bergerak melewati Ernest yang tengah menahan hasratnya; ingin buang air kecil.
"Kenapa lo malah diem sih, Sipit! Katanya tadi mau pipis. Ayo, gue anterin. Tapi kalo kelamaan. Gue gak akan segan-segan buat ninggalin lo!" gertak Baron galak.
Melihat hati malaikat di balik wajah sangar temannya itu, Ernest langsung menyunggingkan cengiran khasnya. Kemudian setengah berlari mengejar Baron yang sudah jauh meninggalkannya.
"Ati-ati, Nest! Kalo mau buang hajat, numpang-numpang dulu ya! Biar gak dijahilin makhluk astral penunggu hutan ini!" pekik Arthur menggoda temannya yang terkenal penakut itu.
Karena tak ingin berpisah atau berpencar. Dylan, Arthur dan Helga pun memutuskan untuk menunggu Baron dan Ernest di tempat itu. Guna membunuh rasa bosan, Arthur memilih mendengarkan musik dari ipod, menggunakan earphone yang menyumpal telinganya. Sedangkan Dylan yang duduk di atas sebuah batang pohon yang tumbang, terus memerhatikan gelagat Helga yang tampak seperti orang kedinginan. Sebenarnya Dylan sangat ingin memberikan sweater tebal yang dikenakannya pada Helga. Namun niatan itu Dylan urungkan, mengingat ketiga temannya pasti akan semakin rajin saja menggodanya, jika Dylan melakukan hal konyol itu.
Karena tak tega melihat Helga menggigil kedinginan, Dylan berinisiatif untuk membuat api unggun kecil.
"Kalian berdua, tunggu di sini bentar ya? Gue mau cari ranting kering dulu buat api unggun," amanat Dylan, yang entah didengar oleh Arthur atau tidak. Karena pemuda itu terlalu fokus pada ipodnya. Sedangkan Helga yang melihat Dylan beranjak pergi, tampak tak begitu peduli. Karena yang dilakukan gadis itu hanyalah mempererat pelukannya pada Coco.
Selang beberapa saat sepeninggal Dylan. Embusan angin yang kembali datang, membawa serta suara halus seorang wanita yang memanggil-manggil nama Helga. Membuat si empunya nama, langsung melonjak tegang.
"Helga ... kemarilah ... datanglah padaku ...."
Suara tanpa wujud itu, semakin jelas terserap oleh indera pendengaran gadis itu. Karena penasaran dengan sosok yang memanggil-manggil namanya. Helga pun mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Menyoroti setiap semak dan pohon yang tumbuh lebat di sekitarnya, dengan cahaya senter.
"Siapa di sana? Gimana kamu bisa tahu namaku?" tanya Helga seraya mendekatkan diri ke arah jalan setapak di samping kiri, tempat Arthur duduk memunggunginya.
Helga yang baru saja menangkap sekelebat bayangan bermata merah dan berambut panjang melesat terbang menuju ke tengah hutan, diam membeku. Kala kesadarannya pulih, Helga bergegas mengejar sosok yang sempat tersenyum menyeringai ke arahnya tersebut.
Arthur yang masih asyik dengan musik di telinganya, dibuat terhenyak. Kala pemuda itu tak menemukan lagi kedua temannya di tempat itu. Padahal awalnya, Arthur ingin memperdengarkan lagu kesukaannya, pada Helga dan Dylan. Mantan Playboy sekolah itu semakin dibuat syok, saat melihat seorang kakek bertubuh bongkok, sedang sibuk menyapu dedaunan kering di bawah pohon besar yang memiliki serabut panjang seperti akar dari tiap dahan yang sampai menjuntai menyentuh tanah.
Dengan nyali yang sudah menciut. Athur yang sudah memiliki firasat buruk itu, memberanikan diri untuk bersuara, "Ssi-siapa lo? Sse-setan apa orang?!"
Mendengar pertanyaan itu. Sang kakek, sontak menghentikan aktivitasnya sejenak. Lantas menunjukan wajahnya pada Arthur.
"Aaaaa ...!!!"
"Tolooongggg!!!"
Jerit ketakutan dan suara meminta tolong yang menggema di seluruh penjuru hutan, membuat Dylan yang sudah mengumpulkan banyak ranting kering itu, kembali menjatuhkannya ke tanah.
"Itu, kayak suara teriakannya ...."
Kalimat yang hendak Dylan ucapkan menggantung. Pikirannya langsung menjurus pada keempat temannya, yang Dylan tinggal.
"Arthur. Baron. Ernest. Helga. Apa yang terjadi dengan kalian?"
Kecemasan seperti itulah yang terus menerus berkecamuk dalam dada Dylan, yang langsung berlari kencang menerobos rimbunnya semak belukar di depannya.
Bersambung

Komentar Buku (77)

  • avatar
    damaniklina

    semakin baca kebawa saya semakin suka dengan jalan ceritanya. cerita yang bagus.

    03/02/2022

      0
  • avatar
    Riska Batubara

    bagus

    23/03

      0
  • avatar
    Nur Alif

    bagus

    23/07/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru