logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Malam Satu Suro

Nyanyian serangga malam, mengantarkan Arthur dan Ernest yang tengah terlelap, semakin terhanyut ke dalam mimpi mereka. Suara dengkuran dari kedua pemuda yang tengah terbaring tak beraturan di atas tempat tidur berukuran besar yang begitu empuk dan nyaman itu, tampak saling bersahutan.
SREEK ... SREEK ....
Samar, suara seperti langkah kaki yang tengah menyeret gaun panjangnya yang menjuntai menyapu lantai, muncul di tengah nyenyaknya tidur mereka. Suara aneh yang berasal dari luar kamar tamu tempat Arthur dan Ernest berada itu, sukses membungkam ramainya suara jangkrik di luar rumah sana dalam sekejap. Suara misterius itu semakin keras terdengar mendekati ruangan tengah rumah kediaman keluarga Mahardika.
Bersamaan dengan terdengarnya bunyi derit pintu yang dibuka perlahan oleh seseorang, suara langkah kaki misterius tersebut tiba-tiba saja menghilang.
Arthur yang tengah terbaring tengkurap di sisi ranjang bagian kiri, refleks menepuk telinga kanannya. Ketika pemuda berdagu lancip itu merasa ada sesuatu yang menggelitik lubang telinganya. Baru sebentar suasana kembali tenang, Arthur sudah mendapat gangguan untuk yang kedua kalinya. Namun kali ini, giliran tubuh Arthur yang bergidik geli. Tepat setelah ia merasakan embusan napas seseorang menyentuh tengkuknya. "Nest, sanaan gih tidurnya. Napas lo bikin gue merinding tau!" oceh pemuda itu bergumam, tanpa membuka sedikit pun matanya.
Hening. Tak ada sahutan apa pun dari teman yang tidur satu ranjang dengannya. Semilir angin dingin yang menyerang ujung kakinya, membuat Arthur merespon dengan mempererat dekapannya pada bantal guling yang ia peluk.
Sebuah anak sungai, mulai mengalirkan cairan bening yang berasal dari sudut bibir Arthur. Pertanda si empunya mulut kecil yang sedikit terbuka itu, telah kembali terlena dalam tidurnya.
Beberapa helai anak rambut berwarna putih panjang, tiba-tiba saja jatuh tepat di atas wajah playboy sekolah itu yang tengah berpaling menghadap ke samping. Merasa risih dengan rambut yang menutupi separuh wajahnya, Arthur kembali bergumam, meminta agar Ernest dapat menjauhkan kepala dan rambut panjangnya.
Tunggu!
Rambut panjang?
Seingat Arthur, ketiga temannya tidak ada yang memanjangkan rambut mereka. Sadar akan kejanggalan itu, Arthur sontak membuka matanya yang langsung menemukan Ernest tengah tidur mendengkur dengan posisi tubuh memunggunginya. Jika pemuda berdarah Tionghoa itu berada di sisi ranjang bagian kanan, lalu rambut panjang yang masih bertengger manis di wajah Arthur itu, milik siapa?
Masih dengan posisi yang sama, Arthur meneguk salivanya payah. Pikiran negatifnya, mendoktrin pemuda itu untuk mengingat kembali pertemuannya dengan berbagai macam hantu yang menerornya semalaman ini. Sebenarnya, Arthur sangat takut untuk memastikan siapa pemilik rambut tersebut. Namun, karena rasa penasarannya jauh lebih besar. Akhirnya rasa takut itu, Arthur tepis sejauh yang ia bisa. Dengan mata yang sudah ia pejamkan kembali, pemuda berusia 16 tahun itu mengubah posisinya menjadi berbaring terlentang.
1 detik ....
2 detik ....
3 detik ....
Embusan napas seseorang dan rambut panjang tadi, sudah tak lagi mengganggunya. Merasa keadaan sudah aman dan tak ada hal ganjil apa pun yang terjadi pada tubuhnya, Arthur lantas membuka kelopak matanya perlahan.
Awalnya pupil mata milik Arthur hanya terbuka sedikit, namun ... lama kelamaan, mata kecil itu langsung membulat sempurna. Manakala Arthur mendapati sosok hantu wanita berwajah buruk, tengah terbaring melayang di atas tubuhnya. Sepasang mata putih hantu wanita itu menatap lurus ke dalam manik mata Arthur, membuat pemuda itu tercekat. Belum sempat keterkejutan Arthur menghilang. Hantu itu lebih dulu menjatuhkan dirinya menindihi tubuh Arthur.
Teriakan meminta tolong dari mulut pemuda itu seolah tak didengar sama sekali oleh Ernest yang tampak tak terusik tidurnya sedikit pun. Hal itu, tentu membuat Arthur semakin gelisah dengan rasa sesak yang meremas dadanya begitu kuat. Arthur berusaha menaikkan suaranya guna memanggil nama temannya itu, sembari berusaha menggapai bahu Ernest dengan tangannya. Sayangnya, usaha Arthur untuk meloloskan diri dari hantu wanita itu berakhir dengan sia-sia, karena kedua tangan dan kakinya benar-benar sulit untuk ia gerakkan.
Suara bisikan seorang pria yang meminta Arthur untuk membacakan ayat kursi jika ingin terbebas dari gangguan hantu itu, mendadak terngiang di telinganya. Meski Arthur belum mengetahui secara pasti suara milik siapa itu, tapi ia langsung menuruti saran yang diberikan oleh suara gaib tersebut. Dengan tergagap, Arthur mulai membaca penggalan ayat dari Al-Qur'an tersebut.
Meski tersedat-sedat, namun Arthur berhasil membacanya sampai tuntas, dan akhirnya terbebas dari tindihan yang seolah akan merenggut nyawanya.
Sleep Paralysis atau yang terkenal juga sebagai Tindihan. Adalah gejala atau gangguan tidur yang sering terjadi pada setiap orang yang tengah menikmati waktu istirahat mereka. Tak selamanya tindihan itu dikaitkan dengan hal mistis. Karena fakta medis menyatakan: Jika tubuh Anda dalam keadaan sangat lelah atau tengah mengalami stres tingkat tinggi, maka hal itu juga dapat terjadi. Sedangkan menurut para ahli supranatural mengatakan: Tindihan baru dapat dikaitkan dengan hal mistis, jika sebelum tidur dan mengalami tindihan, orang tersebut pernah melewati atau mendatangi tempat-tempat angker. Karena biasanya, sadar atau tidak. Di setiap tempat-tempat tersebut, akan ada saja jin yang tertarik untuk ikut pulang bersama seseorang yang dijumpainya. Dalam keadaan normal, saat tertidur saraf sensorik dan saraf motorik akan ikut beristirahat. Dan saat bangun tidur, kedua saraf itu akan aktif secara bersamaan. Namun berbeda dengan para penderita Sleep Paralysis, karena saraf sensorik (saraf yang di antaranya menyangkut indera pengelihatan, degup jantung dan paru, serta sistem kerja otak) sudah lebih dulu aktif. Sebelum saraf motoriknya (saraf yang menggerakkan otot-otot dalam tubuh) aktif. Itulah alasan kenapa saat mengalami tindihan, tubuh kita sulit untuk digerakkan (lumpuh sesaat).
"Uhuk ... uhuk!" Arthur yang baru saja terlepas dari kejadian buruk yang dialaminya, sampai terbatuk-batuk ketika ia sedang menormalkan organ pernapasannya.
Karena batuknya tak kunjung berhenti, Ernest yang berada di sebelahnya sampai terbangun. Kemudian mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. "Thur! Lo baik-baik aja 'kan? Mimpi apa lo sampe batuk-batuk gitu?" tanya Ernest dengan ekspresi mengantuk yang masih melekat di wajahnya. "Perlu gue ambilin air?" imbuhnya lagi yang tampak khawatir setelah melihat muka Arthur memerah.
"Bentar ya!" tukas pemuda Tionghoa itu turun dari tempat tidurnya.
"Nest, tunggu! Lo, mau ke mana? Uhuk!"
"Ngambilin air minum buat lo di dapur," sahut Ernest yang kini sudah beranjak berdiri di samping ranjang.
"Gu-gue ikut ya. Gue takut di sini sendirian. Soalnya tadi gue baru aja diteror sama hantu yang mukanya nyeremin banget di dalem mimpi!" pinta Arthur yang malah tak begitu diacuhkan oleh Ernest.
"Yaelaah ... jadi itu alasan kenapa lo sampe keringet dingin kayak gitu? Padahal itu cuma mimpi loh. Lagian ini udah hampir pagi juga 'kan? Masa sih itu hantu dari bioskop masih kekeuh neror kita? Tapi, ya udah ... ayo ikut gue!" sahut Ernest yang sebelah lengannya langsung disambar Arthur untuk dipeluknya erat.
Baru beberapa langkah kedua pemuda tersebut menggerakan kakinya menjauh dari tempat tidur mereka. Suara ketukan yang terdengar berulang-ulang dari luar kamar mereka, sudah lebih dulu membuat Arthur dan Ernest melonjak kaget.
"Si-siapa tuh yang ngetuk pintu?" tanya Arthur yang kini berbalik menjadi lebih penakut dibanding Ernest, yang malah mengira mungkin itu Baron yang datang.
"Ah! Masa sih itu Baron? Itu anak begajulan, 'kan gak pernah sesopan itu kalo mau masuk ke kamar kita," tepis Arthur yang merasa tak yakin dengan dugaan temannya.
"Daripada nebak-nebak di luar itu siapa, mending kita buktiin aja sekarang, oke?" ajak Ernest mencetuskan ide. Mengulurkan satu tangannya untuk meraih knop pintu yang kemudian dibukanya dengan sangat hati-hati.
DBUUK!
Seonggok makhluk yang tubuhnya dibungkus sempurna oleh kain putih lusuh, mendadak jatuh ke lantai. Bertepatan dengan terbukanya pintu kamar tamu tersebut oleh Ernest. Melihat makhluk berwajah hancur dengan belatung memenuhi rongga sebelah matanya yang kosong, tengah menggeliat di bawah kaki mereka. Arthur dan Ernest langsung berteriak kencang.
"POCOOONGG!!!"
*****
Satu demi satu jari-jari panjang milik Baron yang jatuh di lorong; yang menjadi sekat antara dapur dan kamar mandi itu, mulai menunjukan pergerakannya. Tak butuh waktu lama, kelopak mata pemuda yang memiliki rahang lebar itu juga mulai berkedip. Disusul dengan terangkatnya kepala Baron yang awalnya hanya tergeletak tak sadarkan diri di atas lantai yang dingin.
"Gue di mana nih?" gumam pemuda itu yang mulai mengamati keadaan sekitar. Melihat selembar kertas jatuh dari punggungnya, Baron lantas mengambilnya kemudian membaca judul yang dicetak dengan huruf tebal bertuliskan Supranatural High School. Pemuda itu terdiam sejenak, seolah teringat akan sesuatu yang menyebabkan ia jatuh pingsan.
"Hantu! Iya! Di mana itu hantu?! U-udah pergi, kan?!" ujarnya bertanya pada diri sendiri sembari bangkit untuk duduk, dengan kedua mata yang bergerak awas mengintai tiap sudut gelap di sekelilingnya.
Setelah memastikan bahwa situasi di sekelilingnya tak lagi terasa seperti di dalam film horor. Baron kembali mengalihkan titik fokusnya pada selebaran yang ada di tangannya. Baru beberapa kalimat Baron dapat membacanya dengan tenang, isakan tangis seseorang sudah lebih dulu membuat tubuhnya kembali menegang. "Siapa tuh yang nangis malam-malam gini?" ucap Baron melipat kertas itu menjadi ukuran kecil, lalu dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya.
Selain rasa penasaran akan sumber tangisan pilu itu berasal, Baron yang juga ingin cepat-cepat pergi dari ruangan paling belakang dalam rumah milik keluarga Mahardika itu, bergegas keluar dari lorong tersebut. Ritme cepat dari langkah kaki yang Baron gerakan, sengaja ia turunkan. Manakala sepasang netranya, menangkap sesosok wanita tengah terisak di balik meja pantry dalam dapur berukuran besar itu.
"Mbok? Mbok lagi ngapain di sana? Dan ... kenapa Mbok nangis sampe segitunya?" Baron yang tampak mengenali sosok itu dari daster motif batik yang dikenakannya, mulai berjalan mendekat. Karena tak ada tanggapan dari wanita yang tengah memunggunginya itu, Baron kembali menegurnya. Terlebih lagi, sosok yang dikiranya adalah asisten rumah tangga tersebut, semakin mengguncangkan bahunya. Pertanda, kesedihan yang tengah dirasakan wanita itu benar-benar sangat dalam.
"Mbok?" Baron menepuk pelan punggung wanita itu.
Wanita yang memiliki lingkaran hitam pekat di antara kedua matanya itu menoleh tajam ke arah Baron yang dihadiahi pelototan mata olehnya. Sekujur tubuh Baron kembali berubah kaku. Sadar bahwa wanita yang disapanya bukanlah Mbok Sri, melainkan salah satu hantu yang menerornya. Sepasang lutut pemuda yang memiliki gaya rambut mohawk itu mulai gemetaran.
"Kembalikan milikku ...." Suara halus dari hantu wanita tersebut, sukses membuat bulu roma di tangan kiri Baron yang mengenakan gelang dari batu giok itu, berdiri tegak.
"L-lo, pengen gelang ini? Ka-kalo gitu, iini ... gue balikin. Tapi please, jangan gangguin gue lagi, oke?" pinta Baron melepaskan gelang itu dan meletakannya di atas meja pantry. Sebelum hantu itu kembali menakutinya dengan cara lain, Baron sudah lebih dulu memilih untuk melarikan diri dari tempat itu.
Bak tengah menjadi peserta dalam lomba lari maraton, Baron mengayunkan tungkainya dalam tempo cepat. Menyusuri ruang makan yang menyambung dengan ruang televisi.
BUGH!
Laju lari Baron seketika berhenti. Bertepatan dengan tubuh bongsornya yang menabrak bahu Arthur dan Ernest, yang juga sedang melarikan diri dari kemunculan pocong di depan kamar mereka. Untungnya sebelum tubuh kurus Arthur dan Ernest jatuh terjerembab di lantai, Baron sudah lebih dulu menarik lengan mereka agar tidak terjatuh. "Kalian, syukurlah ... gue bisa ketemu kalian berdua di sini. Tapi, kenapa kalian keliatan ngos-ngosan gitu?" selidik Baron menunjuk kedua temannya yang tampak kelelahan.
"Kita, kita baru aja ketemu sama pocong di depan pintu kamar, Bar!" jawab Arthur sembari menghirup napas dalam, dengan satu tangan yang memegang kuat pinggangnya.
Sembari memegangi kedua lututnya yang terasa ngilu, Ernest balik bertanya, "Kalo lo sendiri, ngapain lari-lari dari dapur?"
"Sama kayak kalian. Tadi di dapur, gue ... gue ...." Belum sempat Baron menyelesaikan ucapannya. Tawa mengerikan yang berasal dari arah dapur membuat ketiga remaja lelaki itu saling beradu pandang.
"AAAAA ...." Arthur, Baron dan Ernest kembali melanjutkan laju lari mereka. Kali ini, tempat yang menjadi tujuan strategis untuk mereka singgahi adalah kamar Dylan, yang memang terpisah dari rumah pokoknya.
Untuk sampai ke kamar milik anak sang empunya rumah, mereka bertiga harus lebih dulu melewati taman samping dan sebuah kolam renang yang cukup besar.
Dengan langkah tergesa-gesa, Arthur, Baron dan Ernest langsung menerobos masuk ke dalam kamar yang identik dengan warna krem itu. Melihat Dylan tengah duduk di atas ranjang empuknya sembari memeluk erat sebuah bantal, ketiga remaja itu langsung melompat ke atas ranjang. Saling berhimpitan agar tak ada satu makhluk yang tak diundang pun dapat bergabung bersama mereka.
"Eh, kalian apa-apaan sih?" tanya Dylan begitu ruang kosong di samping kiri dan kanannya dirampas paksa oleh Arthur dan Ernest yang menggigil takut.
"Di-di luar ada hantu yang ...." Kalimat yang hendak Baron ucapkan kembali terputus bersamaan dengan padamnya lampu di kamar Dylan.
Ernest, Arthur dan Baron kembali berteriak histeris. Segera menarik selimut yang mereka gunakan untuk persembunyian, kalau-kalau ada hantu yang tiba-tiba saja memaksa masuk ke dalam kamar tersebut.
"Thur! Jangan ditarik-tarik kenapa. Kaki gue kelihatan nih!" protes Ernest pada Arthur yang tengah meremas kuat kain lembut yang digenggamnya.
Di tengah gelap dan sesaknya ruang yang Dylan dapat di dalam selimut. Pemuda berbibir penuh itu sayup-sayup mendengar suara seperti kertas yang diremas-remas. Dylan yang saat itu berada paling dekat dengan sisi ranjang, lantas mengeluarkan satu tangannya yang bergerak merogoh laci di sebuah meja kecil untuk mengambil senter yang biasa ia simpan di sana. Setelah berhasil mendapatkan benda yang diinginkan, Dylan langsung menarik tangannya lagi masuk ke dalam selimut. Kemudian mulai menyoroti satu per satu teman satu gengnya, yang ternyata kompak menggenggam kertas selebaran yang sudah lusuh di tangan mereka masing-masing.
"Tunggu sebentar. Apa ... selebaran yang kalian pegang itu juga dari Supranatural High School?" tanya Dylan yang dibalas anggukan cepat oleh ketiga temannya.
"Di sini, tertulis untuk Dylan Mahardika. Jika ketertarikanmu terhadap dunia mistis membuatmu menjadi seseorang yang lebih peka dari orang lain, maka artinya ... kamu memiliki kemampuan untuk mengembangkan ketertarikanmu menjadi sebuah bakat luar biasa di Supranatural High School," eja Dylan membaca selebaran miliknya dengan dibantu cahaya senter di tangannya.
Kini giliran kertas dalam genggaman Arthur yang disorot oleh cahaya senter dari Dylan. "Untuk Arthur Samuel. Sadar atau tidak, kau memiliki kemampuan ekstra untuk melihat kejadian di masa depan juga masa lampau. Dan kemampuan itu diwarisi dari kakek buyutmu. Jika kau mengembangkannya dengan baik di Supranatural High School, maka kau akan tumbuh menjadi penolong sesama seperti apa yang dilakukan oleh kakek buyutmu semasa hidup," timpal Arthur yang membacakan isi dari kertas selebarannya.
Sedangkan kertas milik Baron dan Ernest sama-sama menyiratkan kalimat yang meruntuhkan predikat mereka sebagai seorang yang pemberani dan seseorang yang penakut.
"Hanya orang takut yang bisa berani, karena keberanian adalah melakukan sesuatu yang ditakutinya. Jadi, tanyakanlah pada diri kalian sendiri. Penakut ataukah pemberani? Dengan masuk ke dalam Supranatural High School, maka kalian akan kami ajarkan menjadi manusia yang pemberani dalam arti sesungguhnya."
SLRAAKK ....
Selimut yang sejak tadi menutupi tubuh empat sekawan itu mendadak terhempas begitu saja ke lantai. Bertepatan dengan selesainya Ernest dan Baron mendiktekan isi selebaran milik mereka. Suara geraman seperti hewan buas yang terdengar lantang di telinga mereka, membuat Dylan CS kalang kabut di atas ranjang. Lampu kamar yang semula padam, kini sudah kembali menerangi ruangan luas tersebut.
Belum sempat mereka menikmati ketenangan, sebuah bayangan tangan berukuran besar yang menerobos dari atas plafon, kembali membuat mereka berempat menjerit ketakutan. Niat mereka yang hendak kembali melarikan diri dari penampakan tangan raksasa itu pun terurungkan, setelah menyadari bahwa kini ranjang yang mereka tempati, sudah tak lagi menyentuh lantai. Ranjang berukuran King size itu melayang di udara, seperti sedang diterbangkan oleh sesuatu. Terlalu syok dengan teror-teror sosok tak kasat mata yang datang bertubi-tubi menimpa mereka, membuat Dylan CS berakhir dengan pingsan di waktu yang hampir bersamaan.
*****
Pagi yang paling dinanti akhirnya menjelang, titik-titik air embun yang membasahi dedaunan, perlahan jatuh merembes ke dalam tanah. Udara sejuk yang dapat dihirup bebas oleh setiap orang yang tengah berolahraga di alun-alun kota Yogyakarta, mampu merefreshkan pikiran dan tubuh mereka. Akan tetapi, kegiatan olahraga itu terganggu kenyamanannya, kala beberapa orang, menemukan empat orang anak muda tengah tertidur pulas di tengah alun-alun.
Namun bukan dengkuran mereka yang membuat banyak pasang mata melempar tatapan aneh pada Dylan CS. Melainkan karena Arthur, Baron, Ernest dan Dylan tengah tidur di tengah alun-alun beralaskan ranjang dari kamarnya.
Tak butuh waktu lama, orang-orang dari berbagai kalangan sudah berkumpul mengitari tempat itu. Dari kejauhan, Devian yang tengah melakukan joging pun menautkan kedua alis tebalnya, melihat kumpulan orang tersebut. Penasaran ingin tahu apa yang sedang terjadi, Devian segera menghampiri kerumunan itu.
"Wah! Amazing, sejak kapan alun-alun bisa dijadikan hotel?" pekik Devian sembari melepaskan lolipop dari mulutnya.
Devian melirik tajam ke samping, kala indera pendengarannya menangkap obrolan beberapa orang yang tengah berkasak-kusuk, menggosipkan penyebab kenapa sebuah ranjang berukuran besar berikut pemiliknya dapat berpindah ke tengah alun-alun. Mungkinkah ada hubungannya dengan malam satu suro yang terjadi semalam?
Setelah mendengar opini para warga, Devian kembali melempar pandangannya ke arah ranjang besar yang terbuat dari besi tersebut. Merasa pernah melihat wajah orang-orang yang tengah terlelap di atas ranjang itu, Devian lantas berjalan masuk ke dalam kerumunan. "Hei-hei! Ayo bangun, udah pagi!" seru Devian mengguncang-guncangkan bahu Dylan dan ketiga temannya yang lain.
Cahaya matahari yang menerpa dari sela dedaunan pohon beringin kembar, menyorot tepat pada bagian wajah Dylan dan Arthur. Memaksa kedua pemuda itu untuk membuka mata mereka cepat. Sedangkan Baron dan Ernest langsung terbangun setelah mendengar gemuruh tawa banyak orang di sekitarnya.
Empat sekawan itu terbangun dengan wajah linglung mereka, yang langsung disambut berbagai macam ekspresi orang-orang yang tengah menonton mereka. "Kita, kenapa bisa ada di sini? Bukannya semalem kita di kamarnya Dylan, ya?!" tanya Baron mulai mengumpulkan pecahan memori ingatannya semalam.
"Jin hitam yang badannya kayak raksasa yang mindahin kalian ke sini," sahut Devian yang kemudian berangsur meninggalkan tempat itu.
Baron yang masih hafal betul wajah Devian, bergegas mengejarnya. Sedangkan Dylan, Ernest dan Arthur masih sibuk memeriksa ranjang, bantal, kasur dan juga pandangan orang-orang yang mengitarinya.
"Ini mustahil! Ini benar-benar mustahil! Gimana kita bisa ada di sini, sekarang?" tanya Arthur frustasi. Ernest mengacak-acak rambutnya karena stres. Sedangkan Dylan hanya dapat menggelengkan kepalanya, seraya menatap kosong tempat tidurnya yang dengan ajaib berpindah tempat.
Setelah puas dengan rasa terheran-heran mereka. Dylan, Ernest dan Arthur memutuskan untuk mengejar Baron yang sudah berada di luar kerumunan.
"Heh, tunggu! Lo, duuh ... siapa namanya ya? ah! Iya, Devian! Berhenti lo di situ. Gue mau nanya sama lo!" seru Baron berusaha menyusul langkah kaki Devian yang kini tengah berdiri di dekat anak sungai.
Masih dengan menikmati permen lolipopnya, Devian memutar tubuhnya menghadap Baron. "Ada apa?"
"Lo, bilang apa tadi? Siapa yang mindahin gue sama teman-teman gue ke sini?" tanya pemuda berhidung mancung itu meminta agar Devian dapat mengulangi perkataannya saat di alun-alun tadi.
"Jin bertubuh raksasa yang mindahin kalian ke sini. Tapi, berhubung kamu bukan tipe orang yang percaya sama hal-hal kayak gitu ... anggap aja kalian bisa berpindah tempat itu berkat pintu ajaibnya Doraemon," jawab Devian yang mulai melanjutkan langkahnya pergi.
Baron yang geram dengan sindiran dari Devian yang jelas-jelas tengah meledeknya, tampak mulai mengepalkan tangannya kuat. "Heh! Cowok Panda! Lo minta di ...."
"Bar! Turunin tangan lo!" perintah Dylan yang entah sejak kapan berada di samping kiri Baron. "Meski teman gue ini gak begitu percaya hal mistis kayak gitu. Lo, bisa kasih tahu kami gak? Kira-kira kenapa kami bisa diteror abis-abisan sama makhluk astral semalaman?" tanya Dylan yang berhasil menahan langkah Devian.
"Itu mudah. Coba aja kamu tanya sama temen yang gampang emosianmu itu. Kira-kira hal apa yang nyebabin mereka datang nemuin kalian semua. Karena waktu di bioskop, sebenarnya aku udah nasihatin dia buat ...."
"Tapi itu gelang udah gue balikin kok sama pemiliknya, semalam!" sela Baron yang mendapat lirikan tajam oleh Arthur, Ernest dan Dylan. Sedangkan Devian yang mendengar pengakuan Baron, hanya dapat mengulas senyumnya tipis.
"Yakin gelangnya udah dibalikin? Terus itu di tangan kirimu apaan?" seloroh Devian, menunjuk pergelangan tangan Baron dengan permen lolipopnya.
Kini semua mata tertuju ke arah tangan kiri Baron yang dihuni sebuah gelang dari batu giok berwarna cokelat pudar.
Baron tersentak kaget melihat gelang yang sudah dilepaskannya semalam, tiba-tiba kembali terpasang di tangannya. "Loh, kok bisa sih ini gelangnya ada di sini lagi? Padahal udah jelas-jelas semalem gue serahin ini gelang sama itu hantu! Tahu bakal diteror kayak gini, gue gak bakal deh ngambil itu gelang yang gue temuin saat keluar dari studio 4 buat nyusul Dylan sama Arthur," gerutu Baron tampak menyesali kesalahannya. Ernest yang sekarang mengetahui sumber masalah yang membuatnya hampir mati terkencing-kencing karena ketakutan, langsung merampas gelang itu dari tangan Baron kemudian diserahkannya pada Devian.
"Ini. Lakuin apa pun yang lo bisa, asal gue sama teman-teman gue gak akan lagi diganggu sama hantu pemilik gelang dan teman-temannya itu," pinta Ernest yang disambut cengiran mencurigakan dari Devian.
"Oke. Aku bakal bantu kalian," ucap Devian yang kemudian melempar gelang yang baru diterimanya itu ke dalam sungai. Dylan CS yang melihat Devian menepuk-nepuk kedua tangannya setelah membuang gelang tersebut, tampak terkejut dibuatnya.
"Loh, kok dibuang? Bukannya kalo di film-film horor, biasanya itu benda harus dibalikin ke tempat di mana dia ditemukan ya?" sergah Arthur yang memprotes cara aneh Devian.
"Alasan kenapa benda-benda milik korban kebakaran itu muncul kembali setelah lama menghilang, adalah karena si pemilik benda, ingin meminta bantuan pada orang yang menemukan benda miliknya, untuk menemukan jasadnya yang tertimbun. Tapi, kejadian itu udah belasan tahun lalu terlewati. Kalo pun kalian ngembaliin itu benda ke tempat semula. Kalian gak akan bisa nemuin jasad pemilik gelang itu. Karena jasad Mbak Lisa yang hangus terbakar itu, udah melebur jadi satu dengan tanah sekarang. Jadi, biarin aja gelang itu hanyut terbawa arus sungai," terang Devian menjelaskan dengan rinci alasan kenapa ia membuang gelang tersebut.
Mendapati Devian mulai bergerak menjauh. Ernest dan Dylan yang teringat akan undangan dari Supranatural High School, memutuskan untuk mengejar Devian. Mengikuti ke mana kaki pemuda berparas baby face itu melangkah. Tentu dengan dibuntuti oleh Arthur dan Baron di belakang mereka, dengan bertelanjang kaki.
Sembari menyusuri jalanan yang terbuat dari susunan batako tersebut, Devian memberitahukan banyak informasi tentang Supranatural High School dan mengarahkan agar keempat sekawan itu dapat masuk ke dalam sekolah itu. Karena meski namanya terdengar mistis, namun pada kenyataannya ... di sekolah yang setara dengan SMA dan SMU itu, juga diajarkan mata pelajaran umum yang biasa diajarkan oleh sekolah-sekolah lain. Di tengah keseriusan Dylan CS menyimak penjelasan Devian, tiba-tiba saja pemuda yang dianggap mereka terlahir spesial itu, berlari cepat ke arah sebuah gedung yang pembangunannya terbengkalai. Setelah sebelumnya permen lolipop yang tengah diemutnya itu, dilempar Devian ke sembarang tempat.
"Dev! Lo mau ke mana?!" seru Dylan terheran-heran.
"Helga! Diam di sana! Jangan bergerak satu senti pun dari tempatmu!" teriakan Devian yang kini sudah mulai menapaki satu demi satu anak tangga menuju rooftop gedung tak berpenghuni itu, memaksa Dylan CS untuk menengadahkan kepala mereka, sejajar dengan langkah memburu Devian yang berusaha keras agar dapat dengan cepat sampai di lantai atas.
Sepasang mata Dylan, Arthur, Ernest dan Baron membulat lebar, ketika mereka menemukan seorang gadis yang mendekap sebuah boneka beruang tengah berdiri di atas pembatas gedung. "Siapa tuh? Mau mati konyol ya, dia?!" tukas Baron yang berinisiatif untuk mengikuti jejak Devian.
Namun niat baiknya untuk membantu menyelamatkan gadis itu, dengan cepat dilarang oleh Devian. Yang malah meminta agar mereka berempat, tetap mengawasi dari bawah sana.
Deru angin yang bertiup kencang, menerbangkan anak rambut hitam sepunggung Helga yang dibiarkan tergerai. Dengan mata kosongnya yang menatap lurus ke arah langit, Helga mulai menggerakan satu kakinya ke depan.
"Ck! Sial. Dia lagi orangnya!" umpat Devian saat mendapati siluet putih membentuk tubuh seorang wanita, tengah merangkul punggung Helga. "Berani kamu melukai Helga. Aku gak akan segan-segan meremukkan tubuhmu," gertak Devian pada sosok transparan yang dilihatnya. Alih-alih takut dengan ancaman Devian, hantu wanita itu malah memamerkan seringai tajamnya. Sedetik, sebelum satu kakinya kembali bergerak. Membuat sebelah kaki Helga juga ikut bergerak maju.
Devian yang merasa diremehkan oleh hantu itu, dengan gerakan cepat langsung menekan kuat bagian tengah punggung Helga dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Sedangkan satu tangannya yang lain, meraup kepulan asap putih yang keluar dari puncak kepala Helga.
Bersamaan dengan diremasnya kuat kumpulan asap itu dalam genggaman tangan Devian yang merapalkan sebuah amalan, jerit kesakitan terdengar mengema di atas rooftop gedung itu. "Kamu sendiri, yang memaksa aku untuk melakukannya!" tukas Devian pada sisa-sisa asap putih yang kian memudar.
Helga yang tampak sudah sepenuhnya mendapatkan kesadarannya kembali, terkesiap kaget. Mendapati bahwa dirinya kini sudah berdiri di ambang kematian. Melihat kakinya berjarak sangat jauh dengan tempat Dylan CS berada, mendadak kepala Helga terasa pusing, pengelihatannya mulai kabur. Dan hal itulah yang menyebabkan Helga kehilangan keseimbangan tubuhnya hingga akhirnya ia terpeleset jatuh.
"Helga!!" Devian yang baru saja menyadari gadis di depannya sudah tak lagi berada di tempat, langsung melongok ke bawah gedung.
Bersambung

Komentar Buku (77)

  • avatar
    damaniklina

    semakin baca kebawa saya semakin suka dengan jalan ceritanya. cerita yang bagus.

    03/02/2022

      0
  • avatar
    Riska Batubara

    bagus

    23/03

      0
  • avatar
    Nur Alif

    bagus

    23/07/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru