logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7

Aku Menyerah
Bab 7
Pov Yanto
Hari ini sungguh melelahkan, seharian berkutat dengan angka-angka yang membingungkan. Sebenarnya sudah lama aku ingin keluar dari tempat kerja yang sekarang, namun sayang sudah berkali-kali aku mencoba mengirim CV ke beberapa kantor tidak pernah mendapat panggilan kerja.
Mungkin karena hanya tamatan SMA membuatku sulit mencari pekerjaan di jaman sekarang. Walaupun pekerjaanku saat ini sudah menjanjikan tetapi aku tidak terlalu nyaman.
Bosku adalah teman baik istriku, Yana. Aku tidak menyukai bagaimana cara dia memandang istriku. Sesama lelaki aku tahu itu pandangan lain, bosku ada rasa sama istriku.
Karir istriku memang sebelum menikah sangat cemerlang, posisinya sangat bagus. Apalagi, dia juga cantik dan ramah. Banyak sainganku dulu yang berebut perhatiannya. Bagai ketiban durian runtuh alangkah bahagianya waktu itu dia memilihku.
Langsung saja aku meminta ibu untuk melamarnya, walaupun ibu kelihatan keberatan tapi akhirnya setuju dengan ancaman aku akan merantau ke luar pulau. Ibu pun setuju dengan syarat aku harus memberikan setengah gajiku ke ibu.
Walaupun berat, nggak apa-apalah. Aku yakin kelak disaat Yana tahu dia pasti bisa mengerti keadaanku. Ini juga kan demi restu dari ibu supaya aku bisa menikahinya.
Hingga suatu hari saat Yana ijin hendak mengambil griya di perumahan aku mulai khawatir. Nanti siapa yang jaga ibuku, sedang kakakku satu-satunya tidak bisa diandalkan. Untuk makan saja masih sering minta ibu.
"Kamu ya, Mas? Yang ngadu ke ibu?" Suatu hari saat baru pulang kerja sudah diberondong racauan istriku.
"Ngadu apa sih, Dik?" Pura-pura tidak tahu kujawab pertanyaannya.
"Nggak usah pura-pura deh, Mas!" raungnya mulai kesal.
Aku memang cerita ke ibu supaya Yana diberi nasihat. Tapi, aku tidak menyangka kalau justru ini malah memperuncing masalah diantara mereka. Hah pusing kepalaku. Padahal, kata ibu juga benar lebih baik uangnya buat renovasi rumah ibu. Lha kok malah semakin meradang.
*****
"Mas, aku mau keluar sebentar." pamit istriku saat aku lagi menonton layar televisi bersama ibu.
"Mau ke mana?" tanyaku.
"Ke rumah bapak, mau jenguk ibu katanya lagi kangen. Mas, mau ikut? Aku tungguin di depan sementara Mas, ganti baju ya?" ajaknya.
Saat kujawab tidak dengan alasan kasihan ibu di rumah sendiri, dia malah langsung pergi. Tapi, gara-gara ucapan ibu, Yana berbalik langkah dan terjadilah perang adu mulut. Aku heran kenapa Yana, tidak pernah bisa mengambil hati ibuku.
Atas saran ibu aku susul Yana di rumah bapaknya, takut dia memberikan semua uangnya. Aku juga butuh merenovasi rumah ibu. Saat sampai depan pintu ruang makan, aku melihat Yana memberikan sebuntelan plastik hitam, tapi aku tidak tahu apa isinya karena telat datang lebih awal.
Penasaran dengan itu, langsung kuserang pertanyaan saat kami berdua di kamar. Menurut penjelasannya sih, sepertinya memang bukan uang. Ya sudah aku percaya saja.
*****
Keesokan harinya aku dikejutkan dengan telepon dari ibu, yang menyuruhku menyusul ke sebuah kafe katanya penting. Saat kuminta ijin Bos untuk ke luar sebentar ternyata tidak bisa karena kerjaan di kantor banyak yang numpuk.
Terpaksalah aku hubungi ibu eh malah marah-marah menyalahkan Yana. Tak perlu nunggu lama kuhubungi Yana dan meminta tanggung jawab untuk menjemput ibu dan membayar makanannya.
Bukannya nurut alih-alih malah ganti aku yang disalahkan gara-gara minta uang untuk bayar sekolah malah dibuat makan-makan. Benar-benar mau pecah kepalaku.
*****
Sorenya saat kuketuk pintu rumah ternyata terkunci. Kugedor saja biar mereka dengar, kudengar derap langkah semakin mendekati pintu tapi kenapa masih belum dibuka. Kudengar ada suara bisik-bisik dibelakang pintu, saat terbuka kulihat wajah Yana pucat dan panik.
Saat kutanya bilangnya nggak apa-apa cuman kaget. Tapi, dalam hati aku curiga sepertinya ada sesuatu. Tapi apa, sudahlah segera kutepis penasaranku daripada pusing, semoga itu hanya perasaanku saja.
Belum juga mandi langsung diseret ibu ke kafe untuk mengambil KTP mbak Mirna. Sepulang dari kafe, ibu minta diantar ke rumah temannya mbak Mirna, aku disuruh hanya menunggu diluar.
Saat keluar aku tidak tahu tiba-tiba ibu membawa pulang serta seorang wanita. Aku pun dikenalkan dengan Ajeng, nama wanita itu.
Sepanjang jalan pulang, Ajeng yang berboncengan denganku banyak bercerita, dia periang dan mampu membawa keceriaan tersendiri dalam diriku yang sedang kalut perihal rumah tangga.
Sesampai di rumah kulihat wajah Yana cemberut dan menunjukkan gelagat tidak suka dengan Ajeng. Wajar, karena aku suaminya dia pasti cemburu.
Menjelang tidur aku lihat ponselku berbunyi tanda notifikasi pesan masuk. Kubuka ternyata dari Ajeng yang memintaku mengantarkannya pulang besok pagi sebelum berangkat kerja. Pucuk dicinta ulam tiba.
Pagi harinya aku langsung mandi dan bersiap-siap lebih pagi dari biasanya. Terlihat kecurigaan dari Yana, tapi akhirnya dia percaya dengan alasanku. Saat di meja makan aku sempat melirik Ajeng, dia memang cantik walau tidak secantik Yana. Tapi dia mampu menggoyahkan imanku.
Disaat ibu sedang berseteru dengan Yana, aku justru sibuk saling melirik dengan Ajeng. Biarlah Yana kuabaikan sebentar, aku males tiap hari mendengar keluhannya tentang ibu.
"Oh iya, Yan nanti kalau berangkat sekalian antarkan Ajeng pulang ya? Kasihan pulang sendiri pagi-pagi jalanan masih sepi." ucap ibu. Tanpa disuruh pun aku sudah ada janji sama Ajeng buat anterin dia pulang pagi ini.
Walaupun Yana terlihat jengkel tak kuhiraukan dia. Tetap aku pura-pura biasa saja. Saat keluar dari kamar pun aku langsung melesat kedepan dan hanya kulambaikan tangan untuk berpamitan.
Biar dia juga tahu bagaimana rasanya cemburu seperti aku, saat dia ngobrol bercanda dengan Bayu, bosku itu.
*****
Ditengah perjalanan aku dan Ajeng bercanda tertawa dan saling bercerita. Seolah tak puas di jalan saja, aku pun memilih berhenti di taman kota dekat dengan rumahnya sekedar untuk mengobrol.
Akhirnya, atas kesepakatan berdua aku minta ijin bosku dengan alasan kurang enak badan. Semoga dia tidak mengadu ke istriku. Kami pun pergi menonton makan dan jalan-jalan. Menjelang sore baru kuantarkan dia pulang.
Saat sampai di rumah aku pura-pura tidak terjadi apa-apa. Yana pun seperti biasa tidak ada rasa curiga. Baguslah kalau begini terus hehe.
Belum juga sehari merasa tenang, terjadi pertikaian lagi antara Yana dengan ibu. Lagi-lagi soal makanan, heran aku.
"Ada apa? Kenapa kalian kaget dengan ucapanku? Apa aku salah bicara tadi?" sahut Yana, sesaat aku dan ibu kaget dengan ucapannya.
Yang kuingat sekarang justru Ajeng, bersamanya aku merasa tenang, pun ibu juga suka dengan Ajeng. Aku pun memberinya pesan dan akhirnya kami janjian ketemu lagi.
Berdalih alasan keluar mencari makan dengan ibu, kutancap gas dengan semangat. Kuturunkan ibu di rumah mbak Mirna dan aku langsung menuju rumah Ajeng. Sudah hampir larut aku baru pulang ke rumah, setelah menjemput ibu lagi.
Ternyata Yana sudah terlelap, aku pun buru-buru membersihkan diri dan segera menyusulnya ke tempat tidur. Dengan pelan sekali kurebahkan tubuh ini biar Yana tak terbangun.
*****
Pagi harinya saat ditanya perihal kepulanganku semalam, aku jawab seadanya sambil lalu. Biar dia tidak terlalu curiga. Kulihat dia mulai santai dan pagi ini katanya dia mau berangkat pagi-pagi.
Aku heran sama istriku, kerja serabutan di rumah-rumah tetangga saja gayanya belagu. Dengan pakaian yang agak rapi aku jadi sedikit curiga, benarkah dia kerja serabutan? Ah sudahlah pusing aku mikirin dia.
Dia pun berpamitan dan berlalu ke luar menuju motor maticnya, yang memang dibeli sebelum menikah denganku. Namun mendadak darah seakan naik ke pucuk kepala.
"Yana ...!!!" teriakku kencang biar dia dengar sebelum benar-benar pergi.
Bersambung...

Komentar Buku (71)

  • avatar
    Alia Maisarah

    Seronok

    07/07

      0
  • avatar
    NurjannaNayla

    baguss bangett Sumpahh cerita ny mirip kek cerita asli ku😃

    11/06

      0
  • avatar
    Seva Apalah

    bagus

    07/01

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru