logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6

Aku Menyerah
Bab 6
"Ada apa? Kenapa kalian kaget dengan ucapanku? Apa aku salah bicara tadi?" sindirku.
"Ini sudah malam, Dik! Mana mungkin juga Ibu keluar mencari makan sendiri?" sanggah mas Yanto.
"Siapa yang bilang sendiri, Mas? Bukankah tadi Ibu bilang kalau mau menelepon Ajeng, kan?" Aku mulai geram dengan mereka.
Ibu hanya diam menunduk tapi saat kulirik, tidak sengaja menangkap senyum sinis mengejekku. Tuh, kan ketahuan dramanya.
"Sudahlah, dia itu Ibuku tidak mungkin kubiarkan kelaparan, mengertilah!" serunya tanpa merasa bersalah.
"Aku juga istrimu, Mas. Tanggung jawabmu. Kurang mengerti apa aku selama ini?!" sergahku tak mau kalah.
"Tapi, Ibu lebih tua harusnya kamu sadar itu!" jeritnya mulai memancing emosiku.
"Aku sadar? Bukannya kebalik? Harusnya yang sadar itu kamu, Mas!' teriakku tidak tahan lagi. Kutaruh mie instan yang tadi ingin kumasak, di atas meja dan kutinggalkan begitu saja dengan kemarahan yang hampir tidak bisa lagi kutahan.
Dengan langkah cepat menuju ke kamar. Duduk ditepi ranjang, merenungi semua kejadian yang terjadi dalam rumah tangga. Terasa sakit ini tidak bisa ditahan lagi, akhirnya air mata luruh juga.
Rasanya sesak di dada saja tidak cukup mengingat semua perilaku mereka. Kepala seakan berdenyut nyeri di setiap tetes air mata dari rasa sakit ini.
Bertahun-tahun aku pendam sendiri rasa sakit diabaikan, disisihkan, bahkan terkadang lebih sering diremehkan. Seolah aku pantas disingkirkan dan suami tak pernah peduli. Dia selalu berpikir bahwa ibu adalah prioritas.
Akulah yang diwajibkan mengalah, seolah raga ini tak dihargai masih ada rasa. Rasa yang sama, ingin dicinta, dibela dan dilindungi. Padahal dia juga tahu, aku adalah tanggung jawabnya di akhirat kelak.
Menyayangi dan bertanggung jawab terhadap ibu tidak salah, yang salah adalah ketika tidak bisa berlaku adil di antara kami. Harusnya mas Yanto sadar bahwa dia adalah jembatan kami, mampu berdiri tegak ditengah bukan hanya berat di satu sisi.
Bagaimana kami bisa menghargai satu sama lain kalau nakhodanya saja tidak bisa mengendalikan keadaan. Sekali ada ombak besar tidak menutup kemungkinan kapal akan karam.
"Dik, aku mau ke luar sebentar sama ibu cari makanan. Nanti Mas bungkuskan." serunya tiba-tiba masuk kamar dan berlalu tanpa peduli menanyakan keadaanku.
"Nggak usah terimakasih". sahutku masih terbawa emosi.
"Terserah kamu sajalah," geramnya sambil lalu melangkah ke luar kamar.
Kudengar ibu dan mas Yanto ke luar menuju teras depan. Dengah langkah pelan kuikuti dibelakangnya sampai kedepan. Beruntung mereka menutup pintu jadi tidak tahu keberadaanku yang mengendap-ngendap. Dengan cepat langkahku terhenti karena mereka tiba-tiba berhenti tepat di samping motor.
Sepertinya ponsel mas Yanto berdering. Kutajamkan telingaku dibelakang pintu persis supaya terdengar siapa yang menelepon.
"Halo, iya dik Ajeng ini Mas baru mau jalan sama Ibu, tunggu sebentar ya,"
Jedduuuar bagai suara petir yang memekakkan telinga. Begitu pula hati yang kurasa saat ini.
Hati yang sebentar lalu baru kudamaikan. Sekarang terasa jatuh hancur berkeping-keping. Apa benar itu kamu, mas? Tak terbersitkah sedikit rasa empati dan kasihan untukku saat ini? Setega itukah dirimu sekarang?
Dimana rasa yang kau agungkan dulu. Rasa sayang setiap kita bercanda. Memang semenjak kita pindah kerumah ibu, aku tahu ada yang berubah. Apa yang kuminta dan kuberi tak pernah terlihat benar. Tapi, aku selalu menepis rasa itu, mencoba percaya bahwa kamu setia.
Ingin rasanya aku berlari dan kembali kerumah orang tuaku. Tapi, itu berarti aku kalah dengan kedzaliman kalian. Tidak, mas! Aku tidak akan ke luar dari rumah ini sebelum melihat kalian tahu siapa di sini yang paling kuat.
Mulai saat ini, aku tidak akan berdiam diri saat kalian menindas. Aku akan berjuang demi diriku sendiri. Akan kubuat kalian menyesal telah menyia-nyiakan aku. Mulai sekarang aku juga akan bertindak tegas padamu, Mas! Maaf, kamu salah memilih lawan.
*****
Hari masih subuh saat aku bangun, gegas kuambil wudlu dan melaksanakan kewajibanku di dua rakaat. Semalam karena kecapekan menangis sampai tidak tahu jam berapa aku terlelap.
Bahkan, aku juga tidak mendengar kepulangan ibu dan mas Yanto. Lagian, aku juga sudah tidak peduli. Setelah selesai berdoa aku menuju dapur dan menyiapkan sarapan hanya untukku saja.
Aku juga tidak peduli mereka nanti bagaimana sarapannya. Kuhabiskan nasi gorengku segera dan bersiap berangkat kerja.
Baru memasukkan suapan terakhir, pertanyaan ibu sontak membuatku kaget. Dari mana datangnya nggak ada suara tiba-tiba muncul begitu saja.
"Mana sarapanku, Yan?" tanyanya tapi lebih membentak.
"Aku masak nasi saja, Ibu kalau mau nasi goreng bikin sendiri, Bu." jawabku semanis madu. Iya, madu yang akan kau bawa kerumah ini.
"Lhah harusnya tanpa disuruh kamu tahu kerjaanmu sebagai istri, kan? Kamu tuh semakin hari semakin ngelunjak terus! Nggak tahu diri banget! Dah sana cepetan buatin dulu sarapanku sebelum kerja!" semburnya percaya diri seolah aku mau disuruh-suruh seperti biasa.
"Bikin saja sendiri. Aku mau siap-siap berangkat kerja!" Haha kaget dia.
"Dasar menantu kurang ajar, nggak punya sopan santun, tunggu saja aku aduin kamu sama Yanto nanti!" teriaknya yang semakin tak kudengar.
Usai berdandan didepan meja rias di kamar. Aku langsung menyambar tas dan ponsel diatas ranjang. Kulirik mas Yanto baru keluar kamar mandi, masih bau sabun dan sampo yang menusuk hidung tapi terasa menyejukkan.
"Mau bareng sekalian, Dik berangkatnya?" tanya mas Yanto lembut. Tumben ngajak bareng biasanya juga nyuruh berangkat sendiri.
"Nggak, Mas makasih. Hari ini aku ada kerja tambahan jadi kudu berangkat lebih pagi. Kalau nunggu takut telat nanti." Alasanku karena aku juga males berangkat bareng.
"Kayak orang penting saja kamu, paling juga disuruh ke pasar beli sayuran haha," Sesukamu lah Mas. Nanti kalau sudah waktunya kamu bakal tahu siapa aku sekarang. Semoga kamu cepat sadar sebelum terlambat. Dari pada nanti akan jago penyesalan yang berat buatmu. Bukan aku percaya diri, tapi aku tahu persis karaktermu.
"Oh iya, Mas semalam pulang jam berapa, kok sampai aku nggak tahu? Emang beli makannya di mana sih, Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu dengan siapa dia janjian. Kuuji kejujuranmu mulai saat ini, mas.
"Oh, anu itu jam berapa ya, Dik. Mas juga lupa, soalnya sampai rumah rasanya capek banget jadi Mas langsung istirahat. Lagian, cari makannya deket kok, Mas mau bungkus buat kamu, katanya nggak usah.
Daripada nggak dimakan, ya sudah nggak jadi bungkus deh," jawabnya cengar cengir mudah terbaca kalau ketahuan belangnya.
"Sudahlah terserah apa katamu, aku berangkat dulu ya," pamitku mencium tangannya takdzim.
Aku berlalu keluar dan mengeluarkan motor matic kesayanganku, yang kubeli sendiri dari hasil keringatku sebelum menikah. Setelah menikah pun hampir tidak pernah dibelikan apapun memakai uangnya.
"Yanaa ... !!!"
Baru saja menghidupkan mesin terdengar suara jeritan mas Yanto dari dalam rumah. Segera kupacu motorku berlalu cepat meninggalkan rumah. Aku males berdebat lagi, mas!!!
Bersambung...

Komentar Buku (71)

  • avatar
    Alia Maisarah

    Seronok

    07/07

      0
  • avatar
    NurjannaNayla

    baguss bangett Sumpahh cerita ny mirip kek cerita asli ku😃

    11/06

      0
  • avatar
    Seva Apalah

    bagus

    07/01

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru