logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 5

Aku Menyerah
Bab 5
Kupantau Asty dari tirai di ruanganku, sepertinya terjadi pertengkaran secara sepihak. Dari pihak mbak Ajeng masih saja mengeluarkan kata kasar, sedangkan karyawanku masih mencoba meminta kejelasan tentang keluhannya.
Kuputuskan ke luar dan menemui mereka. Tapi, aku harus menyamar agar dia tidak tahu identitasku. Kupakai masker dan kacamata hitam, setidaknya dia tidak bisa melihat wajahku secara langsung.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu, Mbak? Mungkin bisa dijelaskan sambil duduk dulu. Silakan." Kutunjuk kursi dipojok ruang tunggu agar bisa leluasa ngobrolnya.
"Anda siapa," tanyanya sambil menatap curiga sepertinya dia mengenali suaraku.
"Perkenalkan, saya Dyah pemilik salon ini. Mungkin Mbak bisa jelaskan dari awal apa yang dikeluhkan dari salon saya, siapa tahu memang pihak kami yang lalai?" ucapku memberi angin segar karena setelah itu dia tersenyum tipis.
"Kalau memang pihak kalian yang lalai, kompensasi seperti apa yang kalian berikan?" Ternyata ada maunya?
"Tergantung seperti apa dulu dan sejauh mana kelalaian dari pihak kami?" ungkapku tetap profesional.
"Baiklah, kemarin saya perawatan dari sini menggunakan paket spesial. Tapi, sesampai di rumah justru kebalikannya, bukannya terasa nyaman eh malah rambut saya terasa gatal-gatal, spesial dari mana coba?" geramnya dengan memberi contoh menarik memperlihatkan rambutnya.
"Sebentar ya Mbak, saya konfirmasi dulu dengan pihak kami," Kuhampiri bagian pendaftaran sebelum pelanggan melakukan perawatan.
Dari semua informasi yang kudapat kemarin memang dia melakukan perawatan itu. Tapi, dari pihak kami sudah memberikan detail produk secara rinci.
"Maaf dengan Mbak siapa ini?" Kutemui lagi dia di ruang tunggu.
"Ajeng."
"Begini, Mbak Ajeng setelah saya konfirmasi dengan karyawan bagian pendaftaran, memang kemarin anda melakukan perawatan di sini, tapi saya yakin anda juga sudah dijelaskan secara detail produk dari kami.
Untuk segala jenis rambut juga sudah ditawarkan sesuai karakter rambut anda. Jadi, sepertinya tidak mungkin kalau produk dari kami yang bermasalah.
Bahkan, anda juga sudah terdaftar sebagai member salon kami, setelah di cek memang anda pernah memakai produk yang sama dengan yang dipakai kemarin.
Pada waktu itu, anda juga tidak mengeluhkan seperti yang anda alami kemarin." jelasku panjang lebar.
"Bisa saja, kan kemarin kalian memakai produk yang lain, tidak sama seperti waktu itu. Pokok saya minta tanggung jawab dari kalian. Jangan sampai saya viralkan dan laporkan salon ini!" ancamnya.
"Bagaimana kami harus bertanggung jawab jika kesalahan bukan dari pihak kami. Kalau memang anda mau melaporkan, silakan. Saya mungkin juga bisa melapor balik dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Di sini setiap sudut terpasang CCTV dan produk dari kami siap diperiksa sesuai prosedur. Bagaimana, anda siap?" Kutantang balik ancamannya.
Aku mendirikan usaha ini juga memakai prosedur, dari segala jenis produk sudah diperiksa sesuai standar kesehatan dan kehalalannya. Berdiri berdasarkan hukum-hukum dan tata tertib yang sudah dilaksanakan sesuai hukum di negara ini.
Kulihat dari gestur tubuhnya dia mulai beringsut tidak nyaman. Mungkin dia pikir bisa mencari perawatan gratis dengan menggertak. Tapi, ternyata dia salah sasaran, mulai sekarang aku tidak akan tinggal diam untuk siapapun yang mengusik hidupku.
"Kalian akan mendapatkan balasan karena meremehkanku?" sungutnya jengkel.
"Anda mengancam saya? Saya punya rekaman segala aktifitas di sini, apa anda tidak takut berucap demikian kepada saya?" takkan kubiarkan dia mendikteku terus.
"Dari suaramu sepertinya aku kenal, tapi ah sepertinya tidak mungkin. Wanita itu kere dan bodoh haha." Sepertinya dia juga mengingatku tapi tadi dia bilang apa? Kere dan bodoh? Keterlaluan!!!
"Yah, kita memang tidak saling mengenal, bukan berarti dirimu lebih baik dari wanita yang kau bicarakan tadi. Ehm ... bisa jadi wanita itu jauh lebih bernilai dan mungkin belum waktunya dia menunjukkan siapa dirinya?"
Dari rautnya terlihat semakin kesal karena kupojokkan terus. Akhirnya dia berdiri dengan angkuh dan berlalu tanpa permisi meninggalkan salon. Dasar orang aneh.
*****
Aku pulang dengan membawa aneka makanan yang kubeli tadi di jalan setelah dari tempat kerja. Ibu yang membukakan pintu dengan cemberut tak menggubris salamku. Dilihatnya aku membawa makanan langsung saja main drama.
"Apa itu, Yan. Sini biar kubuka, tahu saja kalau aku sudah lapar dari tadi. Seharusnya kalau kamu berangkat kerja tinggalkan dulu makanan di rumah biar aku nggak kelaparan. Jadi istri harus berguna." Masih saja gerundel padahal bungkusan sudah direbut. Bukannya terimakasih dulu gitu.
Setahu ibu dan mas Yanto memang aku bekerja serabutan dari rumah ke rumah milik tetangga, tergantung kebutuhan mereka. Karena setiap bawa lauk pasti ibu mengira hasil pemberian mereka yang mempekerjakan tenagaku.
"Maaf, Bu tadi pagi aku buru-buru takut telat. Itu lauk buat makan malam juga ya, Bu." jelasku sambil berlalu meninggalkan ibu di dapur.
Kubuka pintu kamarku dan merebahkan diri sejenak sebelum beranjak mandi. Aku capek hidup begini terus, apa aku harus nekat beli rumah sendiri tanpa ijin mas Yanto ya? Andaikan minta ijin pun belum tentu di kasih. Sudah pasti malah uangnya diminta buat renovasi rumah ibu mertua.
Sebaiknya besok aku pergi ke rumah bapak saja untuk meminta pendapat, siapa tahu dapat memberikan solusi yang terbaik.
Sebelum bapak mertuaku meninggal, beliaulah yang justru lebih sering mendukungku dan melindungiku dari cercaan ibu mertua. Karena penyakit stroke merenggut bapak mertua tahun lalu, sekarang aku berasa sendiri di rumah ini.
Suami yang seharusnya menjadi sandaran dan harapan hanya bisa menjadi penonton saat ibu menggangguku dengan segala perintah dan cacian. Suami yang seharusnya kuandalkan nyatanya tak bisa bersikap tegas dan melindungi.
Baru hendak beranjak ke luar kamar, terdengar suara berisik seperti orang mengendap dan berlari keluar rumah. Kutemui ibu yang sedang menonton layar televisi terkejut dengan kedatanganku, seperti orang ketakutan yang kedapatan melakukan kesalahan.
Tidak perlu bertanya aku langsung tahu jawabannya. Segera beranjak dari ruang tengah menuju ke dapur. Ternyata benar, semua lauk dan sayur yang kubeli untuk makan malam raib tak bersisa. Kucari di lemari pendingin pun tak nampak. Di meja makan pun tak ada. Siapa lagi kalau bukan mbak Mirna, si biang kerok.
Bersamaan hati yang tak keruan, terdengar motor mas Yanto diparkir depan rumah. Segera kusambut kedepan dan mencium tangannya takzim. Kutunggu di meja makan selama mas Yanto mandi.
"Mas sudah lapar banget, Dik. Hari ini masak apa?" tanya mas Yanto sembari menarik kursi dan menjatuhkan tubuhnya mencari posisi nyaman.
"Maaf, Mas hari ini aku kerja dan cuma beli lauk matang," tandasku.
"Ya sudah ayo kita makan, sekalian panggil ibu ajak bareng makannya."
"Tunggu ya, Mas. Aku panggil ibu dulu."
Aku kembali ke meja makan beriringan dengan ibu disamping. Ibu sepertinya tidak nyaman tapi aku pura-pura tidak tahu saja.
"Ayo, Bu kita makan, oh iya Bu lauk yang kubeli tadi mana, biar kusiapkan sekarang," tanyaku.
"Sudah habislah, aku makan semua. Siapa suruh kamu pergi tak meninggalkan apapun di rumah!" desis ibu.
"Tapi lauk yang kubeli tadi banyak banget, Bu. Tidak mungkin Ibu habis makan sendiri. Terus sekarang gimana kita makannya, Bu?" cecarku.
"Ya beli lagi apa masak gitu, kok tanya saya!" geramnya.
"Gimana ini, Mas? Beli lauk lagi? Sini bagi uangnya, Mas?" Kutatap wajah suamiku.
"Aku juga sudah nggak ada uang, Dik. Masak sajalah seadanya." Aku juga nggak mau keluar uang lagi, enak saja. Aku yang kerja mereka yang habiskan. Padahal aku yakin pasti mbak Mirna yang ambil tadi.
"Baiklah, tunggu ya Mas aku buatkan mie instan tapi maaf mienya cuma tinggal satu, kita bagi dua ya Mas."
"Lha, buat aku gimana?" tanya ibu khawatir.
"Lha, bukannya Ibu sudah menghabiskan semua lauk dan sayur tadi. Banyak lho, Bu aku belinya. Masak sih, Ibu mau makan lagi?" desisku pura-pura tidak tahu.
"Yan, aku juga mau makan lagi, bilangin istrimu jangan pelit jadi menantu!" Ibu mulai menghasut.
"Tapi, bukannya Ibu sudah makan barusan? Kok laper lagi? Jangan-jangan Ibu cacingan?" Terka mas Yanto. Ingin ngakak takut dosa, iya kali cacingan.
"Ya sudah kalau nggak dapet makan lagi, biar aku telepon Ajeng saja. Siapa tahu malah diajak makan di luar!" ancamnya.
"Kalau Ibu mau silakan saja, Bu. Kami nggak melarang kok. Jangan lupa ya Bu nanti bungkus juga buat kita, kan orang kaya pasti bukan masalah, kan?" Tantangku. Kali ini aku tidak mau mengalah lagi.
Kulihat raut muka ibu dan mas Yanto kaget, mungkin tidak menyangka aku akan berkata demikian.
"Ada apa? Kenapa kalian kaget dengan ucapanku? Apa aku salah bicara tadi?" ucapku memasang muka tak berdosa.
Bersambung...

Komentar Buku (71)

  • avatar
    Alia Maisarah

    Seronok

    07/07

      0
  • avatar
    NurjannaNayla

    baguss bangett Sumpahh cerita ny mirip kek cerita asli ku😃

    11/06

      0
  • avatar
    Seva Apalah

    bagus

    07/01

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru