logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Kesempatan Kedua

~ 3 tahun yang lalu ~
Senja terlihat begitu indah di daerah pesisir pantai. Matahari telah menyusup di kawasan pegunungan di ufuk barat, terlihat dari bibir pantai. Suara adzan berkumandang dari mesjid paling besar di kota pesisir yang kecil.
Seorang pria yang terlihat gagah, berusia sekitar 30 tahun lebih, berusaha untuk mendekatkan perahu kecilnya ke bibir pantai. Perahu kecil yang dipergunakan untuk mencari ikan melaju perlahan sesuai gaya dorongan yang diayunkan oleh si empunya sampan. Mengayuh dengan dorongan lembut dan perlahan karena telah hampir mendekati bibir pantai. Kemudian dengan sigap pria gagah itu berdiri menuju ujung sampan agar bisa melemparkan tali tambatan ke tiang yang terpasang di daratan.
Dengan cekatan, dia turun dari sampan setelah lemparan talinya tepat sasaran. Memijak tanah berlumpur di bibir pantai berpasir hitam. Kemudian menarik tali tambatan agar punggung sampan menyentuh daratan. Dia berusaha menarik sampan dengan cepat. Sedikit terburu-buru. Kemudian mengikat tali ke tiang dengan membelitkan tali beberapa kali ke tiang tambatan. Setelah itu, kembali naik ke sampan dan berjalan perlahan di badan sampan menuju ke ujung sampan.
“Anak muda… kita sudah sampai. Mari… kita turun dan bergerak menuju ke rumah saya,” katanya dengan suara yang sopan dan pelan.
Seorang pemuda yang memakai setelan jas lengkap dari ujung kaki sampai ke atas, terbangun dari tidur. Sedikit susah payah bangkit dari tidurnya. Dia meraih tangan pria gagah, Sang Pembawa sampan. Gerakan pemuda sedikit tertahan untuk bangkit karena sakit kepala yang dirasakan. Dia memegangi kepalanya.
“Kepala kamu sakit, anak muda?” tanya pria gagah pemilik sampan.
Pemuda yang memakai setelan jas lengkap hanya sedikit mengangguk.
“Mari saya bantu,” tawar pria gagah itu sembari merangkul tubuh pemuda yang kurus dan tinggi. Wajahnya terlihat merah karena terbakar matahari. Bajunya sedari tadi basah ketika ditemukan di tengah laut, kini sudah kering di badan. Pemuda gagah itu terus berusaha membantu pemuda yang dirangkulnya hingga berdiri. “Pelan-pelan saja, anak muda,” nyataya sembari memapah tubuh kurus itu berjalan di badan sampan. Dia sangat sabar menuntun pemuda yang tertatih.
Setelah mendekati pangkal sampan, pria gagah yang memiliki kulit sawo matang karena sering terkena terik matahari itu, melompat turun. Lalu menyambut tubuh pemuda yang terlihat lemah untuk menuruni sampan, sampai pemuda itu menjejakkan kakinya di tanah berlumpur.
Pemuda berpakaian ala eksekutif muda itu sudah tak memakai alas kaki. sepatunya sudah entah kemana. Dia tak terpikir lagi dengan sepatunya. Yang dipikir saat ini adalah bagaimana bertahan hidup di tempat yang dia sendiri tidak tahu dimana rimbanya. Pemuda itu merasa bersyukur telah ada seseorang yang menyelamatkan nyawanya.
“Ayo, anak muda. Kita berjalan ke rumah saya. Sekitar 500 meter dari sini. Kamu sanggup berjalan kan?” tanya pria gagah berkulit sawo matang.
Pemuda itu mengangguk perlahan. Tubuhnya masih dipapah oleh penolongnya. Penolong yang menyelamatkan nyawanya adalah seorang nelayan pencari ikan. Nelayan yang bekerja untuk menafkahi anak dan istrinya.
***
“Maaf, hanya pakaian itu yang bisa saya sediakan. Tidak ada pakaian yang lebih bagus dari itu,” nyata pria bertubuh kurus tapi terlihat gagah. Badannya yang lebih banyak otot kering daripada lemak, membuatnya terlihat prima. Dia menoleh ke arah pemuda yang sedang duduk di kursi makan terbuat dari bahan plastik.
Pemuda yang telah memakai baju kaos oblong dengan celana olahraga pemberian pria itupun menatap ke arahnya. Terdiam. Wajahnya terpaku menatap ke arah pria yang menolongnya tadi sore dan sekarang dia telah berada di rumah pria itu. Setelah mandi di kamar mandi yang seada bentuk dan rupanya, pemuda itu memakai baju yang diberikan oleh pria gagah itu.
Pemuda itu menatap pria gagah yang tersenyum kepadanya. Entah apa yang terjadi dalam hidupnya jika tak ada pria yang di hadapannya saat ini. Dia tak sanggup berkata-kata, bukan saja karena pertolongan dari pria gagah itu tapi ucapan pria itu yang meminta maaf karena telah memberikan baju sederhana kepadanya. Pemuda itu tertegun dengan moral yang dimiliki oleh penolongnya.
“Nah… ini dia makanan yang akan kita makan malam ini. Maaf ya, Mas. Seadanya.” Tiba-tiba keluar seorang wanita dengan wajah yang ramah, membawa beberapa mangkok berisi makanan. Meletakkan kedua mangkok yang berada di tangan kanan dan kirinya di atas meja. “Sebentar ya, saya ambilkan nasi dan piring-piringnya.” Dengan cepat wanita yang berusia di awal 30 tahun itu kembali ke dapur. Masuk ke dalam dan tak lama keluar lagi. “Oke. Mari kita makan?” teriaknya dengan nada kecil dan sedikit riang. Senyum manis terukir di wajah.
“Mas, ayo duduk… tamu kita jadi sungkan jika Mas berdiri terus,” pintanya dengan lembut sembari memasang senyum yang ramah. Yang ditegur, tak lain adalah suaminya.
“Ouh… iya. Ayo, kita makan.” Pria gagah itu kaget dan tersadar dengan prilakunya yang tidak sopan. Dengan cepat menarik kursi plastik sehingga tercipta ruang untuk dirinya duduk di depan meja makan yang terlihat sederhana.
Meja makan yang bisa diisi oleh empat orang saja, terlihat begitu hangat dan sempurna. Walaupun hanya tersedia semangkok sayur bayam. Sambal tempe disajikan di atas piring dan ikan sambal di piring lainnya. Mangkok yang lain berisi gulai ikan hasil tangkapan suaminya tadi. Sebakul nasi ukuran sedang yang masih panas terlihat dari asap yang samar-samar mengepul ke udara. Terlihat juga, setoples kaca transparan yang berisi kerupuk berwarna putih di dalamnya. Di sampingnya, ada wadah tempat sendok dan garpu dan tentu saja terdapat beberapa piring dan gelas sebagai peralatan utama di atas meja makan.
Wanita itupun langsung menyendokkan nasi ke dalam piring. Memberikan kepada suaminya yang duduk di samping. Selanjutnya mengambil piring yang lain. Menyedokkan nasi dan memberikan kepada pemuda yang sedari tadi duduk di sebrang meja, terdiam melihat perangai kedua pasangan suami istri yang ramah itu. Istri dari empunya rumah begitu gesit mengambilkan lauk pauk untuk suaminya.
“Maaf, masnya ambil sendiri ya untuk lauk pauk. Ntar takut kalau saya yang ambilkan, kurang sesuai dengan selera dan takaran mas….” Ucapan wanita itu tertuju ke tamunya dan terhenti sesaat. Dia memandang ke arah suaminya.
Suaminya gelagapan. “Ouh iya anak muda. Nama saya Sudar. Sudaryanto.” Pria gagah itu sengaja memancing keadaan agar mendapatkan nama dari pemuda yang ditolongnya karena sedari awal bertemu, dia belum berani menanyakan nama dari pemuda itu.
Pemuda yang memiliki mata bulat dan besar, tersekat ketika akan mengambil ikan sambal untuk dirinya. “Nama saya Raka, Mas.” Terdengar logat melayu yang begitu kental dari nada suara yang dikeluarkan oleh pemuda itu. Dia tertunduk dan dengan perlahan melanjutkan tangannya ke arah piring berisi ikan sambal.
“Ouh, Mas Raka,” sambar wanita di samping pria gagah yang mengaku dengan nama Sudar.
“Panggil saja saya Raka,” nyatanya. “Dan saya harus manggil apa ke….” Bicara Raka tertahan dan kedua matanya melihat ke arah kedua pasangan suami istri di hadapannya.
“Ouh… panggil saja kami dengan Mas dan Mba. Kami bersuku Jawa. Jadi biasa dipanggil seperti itu. Mas Raka….” Merangkul suaminya. “Dan saya Mba Mirna,” nyatanya dengan riang dan tak lupa senyum menghiasi bibirnya.
“Baik Mba.” Raka menatap mereka dengan wajah sendu.
“Ayo, kita makan. Keburu dingin nasi dan lauk pauknya,” tawar Sudar.
“Ouh… iya. Silahkan Raka,” ucap wanita yang bernama Mirna. Sepertinya dia berusaha untuk mengakrabkan diri dengan tamunya.
Sebelum Raka memasukkan makanan yang sudah tersendok di atas piring, dia berujar,”Terima kasih… terima kasih atas pertolongan dan kebaikan Mas Sudar dan Mba Mirna kepada saya.” Pemuda itu menatap ke arah pasangan suami istri.
Tatapan matanya yang begitu sendu dengan bola mata yang besar membuat Mirna merasa iba. Wanita itu dengan cepat membalas dan berkata,”Ayo… ayo kita makan. Setelah makan kita ngobrol panjang ya, sambil minum kopi. Raka bisa minum kopi kan?” Wanita itu tak ingin air matanya jatuh ketika membicarakan hal yang menyedihkan. Padahal Mirna belum tahu secara detail apa yang terjadi dengan tamunya.
Raka mengangguk perlahan. Matanya terlihat semakin sendu.
Ya Tuhan… kehangatan ini tidak pernah aku rasakan selama aku hidup 25 tahun.
Pemuda berambut lurus dan masih terlihat basah itu, perlahan-lahan menyuapi mulutnya dengan makanan sederhana tapi terlihat begitu nikmat bagi dirinya.
***

Komentar Buku (44)

  • avatar
    ManisIda

    sungguh menyenangkan membaca nya , ada suka dan duka , di alur ceritanya sehingga ikut terbawa ke dalam cerita

    03/01/2022

      0
  • avatar
    RauliaAnandaningrat

    good

    04/02/2023

      0
  • avatar
    gamingMacan

    bagus

    24/08/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru