logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 14 Menunggu dan Menunggu

Hari pertama.
Rangga hanya menatap kosong rumah yang menjadi saksi bisu kehidupan rumah tangganya yang seumur jagung. Rangga tidak mandi, makan, atau membuka kios. Pria itu hanya diam dan menunggu di depan pintu rumah, mengharap seseorang yang pernah berjanji untuk belajar bersamanya muncul dari sana. Jika azan tidak berkumandang dan shalat lima waktu bukan merupakan kebiasaan, Rangga mungkin juga tidak akan ingat kewajibannya sebagai hamba.
Hari ketiga.
Rangga belum beraktivitas dengan benar. Dia banyak merenungi perbuatan dan sikapnya selama menyandang status suami. Rangga merasa apa yang dilakukan sudah benar, namun ketika Ika tidak puas dan lebih memilih pergi tanpa penjelasan membuat pria itu sadar bahwa ia sudah gagal.
Hari kelima.
Rangga sudah kembali membuka kios. Dia sudah kembali berberes diri, makan tiga kali sehari, dan bahkan kembali berjama'ah di Masjid. Namun kemurungan yang terlihat di wajahnya terlalu jelas untuk diabaikan. Rangga ingin pergi mengunjungi rumah sang mertua, namun Maryam yang merasa Rangga tak akan bisa tetap rasional jika bertemu mereka melarang putranya pergi.
Bahkan karena terlalu khawatir, Maryam tetap tinggal di rumah Rangga dan menyerahkan urusan toko pada pekerjanya. Rangga hanya bisa tersenyum miris saat menyadari fakta ini. Uminya tak mau tinggal di sini saat Ika masih ada, sekarang saat Ika sudah pergi wanita itu memaksa untuk tinggal. Jika Uminya tinggal bersama mereka sejak awal, apakah kepergian Ika dapat diantisipasi? Mungkinkah bila itu benar adanya, saat ini Rangga akan tertawa dan berbincang dengan anaknya yang masih ada dalam kandungan Ika alih-alih bersedih sepanjang hari?
Tidak.
Rangga menolak menyalahkan Uminya atas pilihan Ika untuk pergi darinya. Rangga tidak bisa memaksa orang lain yang enggan belajar dan berkomitmen dengannya tetap tinggal. Rangga sadar akan hal itu, namun hatinya tetap saja sakit karena kekecewaan besar terhadap sikap istrinya. Pria itu berkali-kali berpikir apa yang sulit dari bicara? Kenapa Ika lebih memilih pergi tanpa memberi ruang sedikitpun untuk penjelasan? Rangga merasa seperti seseorang yang sedang tertawa keras namun di detik berikutnya tawa itu musnah karena serangan teroris. Ika melempar bom saat Rangga merasa kebahagiaan berada dalam telapak tangannya.
Ironis.
Puk!
"Sudah, Ngga. Jangan dipikirin lagi." Maryam yang akhirnya tak tahan lagi melihat kondisi putranya menepuk kepala Rangga dengan senyum sedih.
"Mi?" Rangga mengerjap. Ini sudah hari ketujuh yang berarti sudah tepat seminggu sejak Ika 'minggat' dan Uminya tinggal di sini. Selama itu pula Umi tak pernah mengganggu waktu berpikir Rangga yang memang sering terbawa arus. Karena kemiripan Rangga dan Abinya hampir 95%, cara mereka bertindak juga sama. Umi adalah orang yang paling mengenal Rangga dan tahu betul bahwa mengganggu Rangga saat sedang berpikir tak akan membantu apapun.
"Dan membiarkan kamu terus berpikir juga bukan keputusan bijak." Seolah membaca pikiran Rangga, Maryam menjawab tanpa perlu ditanya.
Tatapan Rangga meredup, dia balas menatap Uminya dengan sendu. "Jadi apa yang bisa Rangga lakukan selain berpikir, Mi? Umi sendiri yang bilang kalau Rangga bakal termakan emosi kalau pergi ke sana lagi."
Maryam duduk di samping Rangga dan mengelus rambut putranya yang sudah mulai memanjang. "Memangnya kamu sudah yakin bisa tenang saat bertemu Ibu Jamilah dan Ika? Yakin nggak akan marah-marah?"
Rangga menghela nafas panjang dan menyandarkan kepalanya di bahu Maryam. "Nggak, Mi." Pria itu bergumam kalah. Meski Rangga dikenal santun dan ramah, dia masih manusia yang apabila sudah marah bisa kalap dan tak terarah.
"Ya sudah, jangan ngeluh." Maryam tersenyum. "Daripada banyak mikir, akan lebih bagus kamu banyakin doa sama ikhtiar."
"Usaha gimana, Mi? Kan nggak bisa ke sana ini."
"Ya kan nggak perlu kamu sendiri juga yang ke sana, Ngga. Kamu bisa minta sepupu-sepupumu yang lebih dewasa dan lebih berpengalaman soal urusan pernikahan menemui keluarga istrimu dan membujuk mereka."
"Siapa, Mi?"
Maryam menghela nafas. Salah satu karakteristik lain yang Rangga dapatkan dari Abinya adalah ini. Faiz dan Rangga mungkin pandai dalam berbisnis dan tanggap dalam menghadapi segala persoalan yang berkaitan dengan pekerjaan, namun bila sudah menyangkut urusan pribadinya sendiri, baik itu sang ayah maupun sang anak tak bisa membantu sama sekali. Pendapat Maryam selalu menjadi petunjuk dan panutan bagi keduanya. Entah apa yang akan Faiz dan Rangga putuskan bila tak ada Pendapat Maryam.
Wanita itu menghela nafas. Khawatir dengan kondisi Rangga seandainya dia sudah tidak ada. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan putra satu-satunya ini, Maryam bertanya-tanya benarkah Ika perempuan yang cocok untuk mengimbangi Rangga? Melihat bagaimana menantunya itu mengambil sikap saat ada masalah membuat Maryam ragu. Tapi ibu satu anak itu dengan cepat menepisnya. Siapa dia yang berhak menghakimi Ika? Mungkin saja ada faktor lain yang membuat menantunya itu mengambil keputusan tergesa-gesa kan?
"Bang Rozak sama Ali kan ada, Ngga. Mereka pasti mau dan bisa bantu kamu." Maryam menjawab.
Rangga menegakkan tubuh, menatap Uminya seolah-olah wanita itu adalah makhluk paling jenius di dunia. Dengan senyum tulus pertama selama seminggu terakhir, Rangga mengangguk dan langsung menghubungi kedua sepupu tertuanya.
Maryam hanya bisa menatap punggung putranya yang masih sibuk dengan telepon rumah dalam diam. Meski dia terus berdoa untuk kembalinya Ika dalam hidup Rangga, entah mengapa firasat wanita itu mengatakan bahwa bukan Ika bahagia putranya. Maryam menghela nafas dan lagi-lagi menepisnya. Dia percaya Allah akan memberikan yang terbaik untuk mereka. Setiap orang memiliki jatahnya masing-masing untuk diuji. Karena hidup itu sendiri ujian, wajar saja jika seseorang akan dihadang masalah selama ia hidup. Tergantung orang itu bagaimana cara menyelesaikannya. Selama mereka percaya Allah akan membantu, mereka akan tetap tegak meski ombak menghancurkan terumbu karang. Sebaliknya, jika mereka kehilangan kepercayaan, mereka akan terombang-ambing mengikuti arus hingga sampai pada akhir yang disebut kematian.
Maryam sungguh berharap, seberat apapun cobaan yang menghadang jalan Rangga, putranya ini akan selalu menjadi kelompok pertama. Yang terus percaya dan yakin bahwa Allah akan membantu tanpa pamrih.
"Bang Rozak dan Bang Ali bakal bantu, Mi. Dua minggu lagi mereka bakal ke rumah Mamah Jamilah."
Maryam kembali fokus pada Rangga dan tak dapat menahan senyum yang turut mekar melihat binar di mata putranya. Sayang binar itu kehilangan sinarnya ketika dua minggu yang dijanjikan terlaksana.
Rozak dan Ali, kemenakan tertua Maryam hanya menggeleng sedih setelah pergi hampir seharian. Kedua pria itu hanya bisa menceritakan apa yang mereka lalui selama berada di rumah mertua Rangga.
"Kami memang dipersilahkan masuk, Ngga. Disuguhkan minuman dan dipersilahkan makan sama adik iparmu. Tapi selama enam jam kami duduk, nggak ada seorang pun yang bisa kami ajak bicara dengan benar. Setiap kami bertanya dimana mertua dan istri kamu, iparmu cuma menjawab mereka lagi nggak ada di rumah." Rozak menggeleng pelan.
Di sebelahnya, Ali yang biasanya tenang dan dewasa mendengus dingin. "Mereka semua ada di rumah, Bang! Aku dan Abang jelas mendengar suara Bu Jamilah yang menjawab pertanyaan tetangganya soal Ika. Wanita itu bilang kalau Ika sedang ngidam tapi nggak ada suami yang bisa diandalkan! Dia bilang suami Ika bukan laki-laki bertanggungjawab!" Ali menepuk pahanya dengan geram sebelum beralih pada Rangga yang sudah kehilangan semangat. "Mertua kamu mengatakan itu keras-keras, Ngga. Seolah sengaja supaya kami mendengar. Kalau Bang Rozak nggak menahan Abang, mungkin sudah Abang labrak mertuamu itu! Dia mengabaikan kami selama berjam-jam lalu menghina kamu seolah kedatangan kami nggak ada artinya!" Ali paling membenci jenis orang seperti itu. Selalu merasa benar dan tak bisa menghargai orang lain.
Maryam, yang sedari awal memposisikan diri berdiri di samping Rangga tak henti mengelus lengan putranya yang menegang. Wanita itu juga merasa terpukul dengan sikap besannya itu.
Rozak yang memperhatikan reaksi sepupu dan Bibinya hanya bisa menghela nafas berat. "Kami minta maaf karena pulang tanpa bisa memberi kami kabar baik, Ngga. Tapi kamu jangan menyerah dulu. Segala sesuatunya pasti diberi jalan oleh Allah." Pria itu menepuk punggung tangan Rangga yang mengepal di atas meja dengan sikap menyemangati.
Rangga ingin sekali berjuang, namun semuanya terasa jauh lebih menyulitkan dan menguras emosi.
--₪₪₪--

Komentar Buku (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    3d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    9d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru