logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Kemarahan Sang Ayah

Seketika suasana menjadi hening. Saat Silva tiba-tiba membicarakan tentang ayahnya. Baik Malika dan Shereen sudah sangat hafal dengan sifat atau pun kepribadian ayah sahabatnya itu. Menyadari mereka terdiam, Erga pun memilih ikut membisu tanpa kata.
Perasaan Silva sudah tidak menentu. Berapa kali ia mengecek jam pada ponselnya. Ia semakin tidak tenang saat melihat banyak pesan & panggilan tidak terjawab dari ibunya, yang terpampang jelas pada notifikasi di layar ponselnya.
"Akhirnya sampai juga, oke sampai sini aja ya, Sayang. Aku pulang dulu ya, thanks. Ka, Reen, gue duluan ya," ujar Silva yang hendak keluar dari dalam mobil.
"Ya, Sayang. Semoga orang tuamu nggak marah atau menghukummu saat kamu sampai di rumah, ya," tukas Erga dengan raut wajah khawatirnya.
Sedang Malika dan Shereen hanya mengangguk mengiyakan seraya mengatakan sesuatu yang membuat Silva sedikit lebih tenang. Usai berpamitan, Silva membuka pintu mobil lalu keluar dari dalam mobil Erga.
***
Di perjalanan menuju rumah Malika dan Shereen, mereka bertiga tidak sengaja bertemu ibunda, Silva dari arah sebaliknya. Shereen pun menyuruh Erga memberhentikan mobilnya.
“Eh, stop dulu deh, Ga. Tuh kayak nyokap-nya Silva yang di motor,” tunjuk Shereen.
Lalu setelah Erga memberhentikan mobilnya, Shereen membuka kaca mobil dan menyapa ibunda dari Silva. Shereen pun keluar dari mobil dengan maksud berbasa-basi sekaligus menjelaskan semuanya. Kemudian disusul oleh Malika yang juga keluar dari dalam mobil.
"Tante, mau ke mana? Cari Silva ya? Dia udah pulang ke rumah kok, Tan," berondong Shereen.
"Syukurlah kalau dia udah pulang. Tante cuma khawatir sama dia, papanya itu lho ... ehmm, kalian tahu sendirilah," tukas ibunda Silva, ada sedikit rasa kelegaan meski ia tahu jika saat ini pasti putri sulungnya sedang dihukum oleh suaminya sendiri.
Erga yang hanya duduk di depan kemudi, tidak turut turun bersama Malika dan Shereen. Mungkin ia merasa malu atau tidak enak hati, jika harus bertemu langsung dengan orang tua dari kekasih barunya itu. Ia hanya memerhatikan dari balik kaca jendela mobil yang tampak gelap dari luar.
"Maaf ya, Tan. Tadi jalanan macet banget, padahal dari sebelum maghrib kita udah pulang." Shereen menundukkan kepalanya memohon maaf.
Begitu pun dengan Malika yang menampakkan wajah memelasnya agar ibu dari sahabatnya itu, tidak naik pitam dengan mereka. "Dari tadi Tante menghubungi Silva, susah sekali. Apa sinyal atau karena di jalan kali, ya, sampai dia nggak dengar suara dering handphone-nya."
"Mungkin begitu, Tan. Mungkin ... ehmm, dia nggak dengar." Shereen lagi-lagi berdrama di hadapan ibu dari sahabatnya itu.
Tanpa berbasa-basi lagi, mereka pun pamit untuk pulang dan kembali masuk ke dalam mobil milik Erga. Untung saja ibu dari Silva tidak bertanya, mereka habis pergi ke mana dan dengan siapa saja.
Memang ayahnya Silva disiplin sekali, terutama kepada anak-anaknya. Sebab beliau adalah anggota TNI Angkatan Laut. Jadi anak-anaknya tidak boleh keluar rumah sampai larut malam. Sedang jika sudah pergi dari siang sebisa mungkin sebelum maghrib sudah tiba di rumah.
***
Berlanjut satu hari sebelum hari ulang tahun Silva. Malika dan Shereen pun mulai merencanakan sesuatu untuk mengerjakan Silva. Mereka berdua bekerjasama dengan Erga, Vera dan yang lainnya. Mereka semua berkumpul di rumah Shereen membicarakan rencana yang akan mereka rencanakan.
“Jadi gimana rencana selanjutnya, Ga?” tanya Shereen.
“Kayaknya rencana awal kita ubah aja deh. Gue nggak tega kalau harus berpura-pura mengabaikan Silva,” tutur Erga.
“Ya nggak bisa gitu dong, mending kayak gitu aja. Kita buat dia sampai kayak mau nangis atau kalau perlu sampai nangis benaran,” sambung Malika, yang tidak setuju jika rencana awal diubah.
“Ya benar, gitu aja. Kita semua besok jalan. Ajak Silva juga, tapi kita semua cuekin Silva. Jangan ada yang ajak dia bicara,” sahut Vera menerangkan rencana detailnya.
“Ok deh sesuai rencana awal,” kata Erga, yang pada akhirnya memilih untuk mengalah.
Malamnya, Erga memberitahu Silva kalau rencananya mereka semua mau bermain billyard keesokan harinya. Namun, sepertinya Silva tidak dapat ikut. Sebab beberapa hari yang lalu ia sudah diperingatkan oleh ayahnya, bahwasanya ia tidak boleh keluar rumah dulu selama seminggu kecuali, kuliah.
Peraturan yang dipegang oleh ayahnya memanglah sangat ketat. Silva sudah mendapatkan hukuman dari ayahnya, untung saja ponsel miliknya tidak ikut disita oleh ayahnya yang tegas lagi berwibawa.
Karena berapa hari yang lalu, Silva sempat telat pulang ke rumah. Kembali ke berapa hari yang lalu, di mana Silva segera berlari sekencang-kencangnya saat ia sudah keluar dari mobil milik kekasihnya itu.
Silva sampai di depan pintu gerbang rumahnya dengan napas tersengal. Ia berusaha mengatur dan mengendalikan napasnya. Dengan langkah gontai, perlahan ia mendekati pintu gerbang rumahnya. Perasaannya masih tak tenang dan gelisah. Seketika peluh mengucur deras di sekujur tubuhnya. Ia merasakan hawa di sekitarnya menjadi sangat panas.
Perasaan takut pun menyeruak begitu saja, ia bimbang apakah harus masuk ke dalam rumah atau bagaimana? Kini kegalauan menghinggapi relung hatinya. "Aduhh ... gi–gimana nih? Papa pasti marah besar sama gue," lirihnya dengan bibir bergetar menahan resah.
Silva pun memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berapa detik kemudian, ia pun memutuskan untuk membuka pintu gerbang di hadapannya. Ia sudah siap atas segala resiko yang akan ia hadapi ketika dirinya masuk ke dalam rumah.
Pelan-pelan Silva membuka pintu gerbang rumahnya, ia belum menyadari jikalau ada sepasang mata memerhatikannya. Silva pun menutup pintu gerbangnya kembali. Di rumahnya memang tidak memiliki penjaga rumah atau security pribadi. Baru saja Silva berbalik badan hendak melangkah ke pintu utama, nyaris jantungnya berhenti sepersekian detik.
Di depan teras rumahnya, sang ayah sudah menunggu kedatangannya. Dengan tubuh tegap khas tentara, beliau berdiri berkacak pinggang menatap lurus ke arah putri sulungnya itu. Sorot matanya seolah membunuh Silva dalam sekali kedipan mata.
"Jam berapa sekarang?" tegur ayahnya tegas dengan nada tinggi.
"Ma–maaf, Pa ... a–akuu ... ehmmm, aku pulangnya telat," jawab Silva terbata-bata.
"Bicara yang tegas, ini jam berapa? Anak gadis nggak pantas keluyuran jam segini. Kamu habis dari mana, Silva?" bentak sang ayah seraya membulatkan kedua bola matanya.
"A–aku minta maaf, Pa. Aku salah ...," jedanya yang mulai terisak.
Plakk!
***
Hi, Readers!
Ini novelku yang pertama di platform ini.
Semoga kalian suka dengan ceritaku ini. Silahkan beri review/krisan yang membangun. Aku pasti akan menerima kritik & saran yang membangun.
Terima kasih & selamat membaca.
Ikuti jejakku di IG: @yenifri29 & @yukishiota29

Komentar Buku (13)

  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    05/08

      0
  • avatar
    riwprojects

    semangat kak Yuki bagussss kok

    24/06

      0
  • avatar
    Indra Suryanto

    Bagus

    16/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru