logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 8 Ngilu

Arana bingung. Dia intip ruang tamu lewat garis tipis pintu kamar yang dia buka. Ada Galih yang duduk kelelahan di sofa. Cowok itu bersandar, memijit pangkal hidungnya sambil memejam mata.
Arana tahu cowok itu baru pulang dari kampusnya. Enggak, deng. Galih pasti habis pulang dari kerjaan yang nggak Arana ketahui. Udah jam sembilan malam, nggak mungkin Galih dari kampus. Galih kan nggak ngambil jadwal malam. Entah kalo banyak tugas.
Dan point-nya sekarang, Arana tengah bingung. Bingung pilih keluar kamar atau tidak. Sebagai perempuan yang tahu dengan kewajiban, tentu dia punya naluri untuk menghargai suami. Ya, walau suaminya nggak menghargainya.
Tapi, biarlah. Toh setiap urusan itu kembalinya pada Tuhan. Kalo kita balas perbuatan buruk orang dengan keburukan, urusannya bukan ke orang itu sebenernya, tapi ke Tuhan. Kalo kita balas dengan perbuatan baik, urusannya ke Tuhan juga. Nah, untuk hati yang masih belajar ikhlas tentu Arana memilih yang baik, bukan?
Arana menghela napas, merapikan khimarnya, kemudian keluar. Dia hampiri posisi Galih lalu duduk di sampingnya. Galih kaget, duduk tegap dari sandaran. Antara takjub dan bingung, dia menatap Arana dengan sedikit seringai.
“Ngapain?”
Arana kikuk, menggaruk pipi kanannya. Dia bingung sendiri. Jadi malu dan serius nggak tahu mau ngapain.
Galih yang terheran melihat Arana salting langsung terkekeh. “Ngapain, sih?”
“Nggak tau.”
“Trus ngapain ke sini?”
“Nggak boleh?”
Galih mengernyit, terkekeh lagi.
“Tunggu gue mandi dulu, baru kita ke kamar.”
Arana menyahut ngeri, “Ngapain?”
“Ngapain?” Galih terbahak. “Ngapain, ya?”
Dengan tampang jijik Arana menjauh. “Jangan ngarep, ya!”
“Mikir apa, sih? Pijitin gue entar. Pegel-pegel nih, capek gue.”
Imajinasi Arana langsung melambung, membuat dirinya spontan memeluk lengan. Merinding.
“Nggak mau. Sewa aja tukang pijit.”
“Lah trus lo rela kalo tukang pijitnya cewek?”
“Cari yang cowoklah.”
“Lo aja deh.” Galih membelakangi Arana sambil melepas hoodie-nya, menyisakan kaus hitam polos yang melekat. Tangannya menepuk pundak, isyarat agar Arana segera memijitnya.
Arana membuang napas. Dia nurut, mendekat ke punggung Galih. Aroma maskulin dari tubuh Galih semakin jelas dia hirup. Dia sentuh pundak Galih, mencoba memijitnya. Dia nggak tahu pijitannya direspon oleh senyuman tipis yang terukir di bibir Galih.
“Masih nangis?” tanya Galih.
“Aku nggak cengeng, ya.”
Galih senyum lagi.
“Gue nggak gitu lagi deh.”
“Oh, makasih.”
“Giliran ke elo.”
Jemari Arana terhenti. “Maksudnya?”
“Kita coba.”
“Hah?”
“Belum tau rasanya, 'kan?”
“Hih ngeri. Serem amat.” Arana langsung beranjak dengan gelengan jengkel menatap Galih.
“Kan ada pahalanya.”
“Percuma. Kamu aja nggak shalat.”
“Jadi shalat dulu?”
Arana bungkam. Mendadak dia panik ketika Galih beranjak sembari menyeringai.
“Oke, shalat dulu. Tunggu, ya.”
Begitu Galih menghilang ditelan belokan jenjang, Arana langsung ngacir ke kamar, mengunci pintunya hingga level terakhir. Oh, dia nggak bakal buka pintu itu sampai Galih benar-benar nggak ada di rumah.
**
Kamar Arana telah rapi. Gorden jendelanya dia sibak supaya cahaya mentari diizinkan masuk. Dia buka juga jendela, menghirup udara pagi yang masih diliputi embun. Usai itu dia mengernyit saat tak sengaja melihat mobil Galih yang masih terparkir di halaman.
Hari ini Galih ada jadwal kuliah, Arana tahu itu. Dan Galih selalu disiplin berangkat pagi supaya nggak kejebak macet. Biasanya dia langsung pergi tanpa Arana ketahui. Tapi sekarang ... kok?
Arana bergegas keluar kamar, hendak mengecek kamar Galih. Kali aja cowok itu ketiduran. Kan dia sendiri yang bilang kalau dia kecapean. Tapi harus dicek dulu. Ada kemungkinan juga Galih pergi tapi nggak bawa mobil.
Arana tiba di pintu kamar Galih dan mencoba mengetuknya. Nggak ada respon. Dia coba lagi, tetep nggak ada. Akhirnya, dia nekat buat membuka pintu itu yang nyatanya nggak dikunci.
Dan, dia tutup mulut yang refleks beristighfar lantaran melihat cowok yang dia cari itu tengah menggigil berkelumun di bawah selimut tebal, dari ujung kaki hingga dagu. Arana hampiri cowok itu, duduk di tepian kasur. Dia sentuh kening dan mata Galih yang terpejam rapat.
“Ampun, panasnya,” lirih Arana cemas. Dia berdiri, mengetuk dagu dengan telunjuk, berpikir apa yang mesti dilakukan. Setelah ada lampu bohlam nongol di atas kepalanya, Arana langsung buru-buru keluar. Tak lama kemudian dia muncul lagi membawa baskom dan handuk yang sama-sama kecil.
Dia lempar handuk ke kasur. Dia isi air dari wastafel ke baskom. Lalu dia duduk di tepian kasur—di samping Galih—setelah meletakkan baskom dan handuk di atas nakas.
Arana coba merendam handuk, memilinnya, meletakkannya di kening Galih. Dia tak acuh pada racau nggak jelas dari bibir suaminya. Dia rendam kembali handuk yang terasa panas akibat sentuhan kening Galih. Di saat itu Arana tertegun, mendengar jelas igau Galih walau samar-samar.
“Gin ....”
Mendadak tangan Arana lemas. Dia tatap lekat wajah Galih guna memastikan prasangka.
“Gin ... Gina ....”
Lama tercenung, Arana lantas tersentak sadar. Dia halau perasaan anehnya dengan senyum paksa. Kembali dia rendam dan memilin handuk diiringi lirih Galih menyebut nama Gina.
Bukan namanya.
Arana mendesah senyum. Ayolah, itu wajar. Jangan dibawa perasaan. Toh Arana kan belum ada rasa apa-apa ke Galih. Jadi hal sesepele itu nggak berpengaruh.
Tapi, anehnya, ada ngilu setiap nama itu terucap. Ngilu? Dari mana asalnya? Karena apa? Atas apa?
Pandangan Arana berubah blur. Saat nama itu disebut lagi dan lagi, barulah Arana sadar bahwa ada yang aneh dengan dirinya. Terbukti jelas ketika ada air jatuh tanpa meminta izin terlebih dahulu.
“Arana?”
Arana menoleh ke sumber suara. Ada wanita syar’i yang berdiri di kusen pintu. Wajahnya teduh menenangkan. Andai saja hati anaknya bisa mengikuti jejaknya, pasti Arana menjadi wanita yang paling bahagia.
“Mama?”
**
“Sini duduk,” titah Ayu sembari menepuk sofa di sampingnya. Arana nurut. Begitu Arana duduk, Ayu segera mendekap Arana dan menyentuh dagunya lembut. “Sejak kapan Galih sakit?”
Arana menunduk, memijit jemari yang tidur di pangkuan.
“Nggak tau pasti, Ma. Aku baru liat pagi tadi.”
Ayu mengernyit. “Maksud kamu?”
Arana menghela napas, memberanikan diri menatap mertuanya walau dia tahu itu bakal jadi masalah. Sebab, sebentar lagi matanya bakal lancang menangis. Dan itu bakal jadi pertanyaan besar Ayu pada Arana maupun Galih.
“Akuu, baru liat Galih pagi tadi karna ... karna mobilnya masih di halaman. Biasanya pagi-pagi dia udah berangkat.”
“Arana.” Ayu menatap iris almond Arana tajam. “Mama nggak ngerti.”
Arana menggigit bibir bawahnya, menunduk, menumpahkan tangisnya. Ayu menggeleng tak percaya. Dia buat Arana menghadapnya. Dia pegang rahang Arana agar gadis itu mendongak, membalas tatapannya.
“Jangan bilang kalo kalian nggak sekamar.”
Arana menghela napas lagi. Dia mengangguk membenarkan kalimat Ayu barusan.
Ayu beristighfar, mendesah lalu menyentuh keningnya.
“Sejak kapan?”
“Sejak pindah ke sini, Ma.”
“Trus kamar kamu di mana?”
Arana menunjuk pintu ruangan yang nggak jauh dari posisi.
“Siapa yang punya ide? Galih?”
Arana mengangguk. Dia seka air matanya lalu memejamnya rapat. Dia harus siap diinterogasi Ayu sebentar lagi.
“Itu bocah bener-bener yaa,” geram Ayu mengepal tangannya. “Tapi di rumah Mama kalian emang sekamar kan?”
“Iya.”
“Kamu tidur di kasurnya, ‘kan?”
Arana menggeleng. “Di sofa, Ma.”
“Astaghfirullah ....” Ayu menutup mulutnya kaget. “Jadi, selama ini, kalian belum pernah ....”
Arana tersenyum hambar. Menggeleng lemah.
“Ya Allah, ya Allah. Itu bocaaah!” seru Ayu mengusap wajahnya kasar. Lalu beralih ke Arana. “Kenapa kamu nggak cerita sih, sayang? Mama kira kalian baik-baik aja tau!”
Arana diam. Harusnya Ayu tahu sebab kenapa dia tak mau cerita. Kalau dia cerita, mungkin Ayu bakal menuntut Galih untuk tanggung jawab. Lalu Galih menuruti mamanya, menghormati Arana dengan alasan perintah Mama. Ada unsur terpaksa. Dan Arana nggak mau itu terjadi. Biarlah dia bersabar sebentar, asal Galih sudah betul-betul terbuka hatinya dan terhubung bersama dengan dia di jalur Allah.
Sama-sama mencintai karena Allah.
Entah itu butuh sekian tahun untuk mewujudkannya.
Dia akan menunggu.

Komentar Buku (110)

  • avatar

    Aku kecewa sama pembaca yg ngasih bintang satu atau sengaja mengurangi bintang. Kalian tahu nggak sih, kalau rating itu berarti banget untuk penulis. Dukung dengan kasih bintang 5 buat Author kesayanganku ini, please!

    03/01/2022

      4
  • avatar
    Nurlaila Djadi

    novel yang sangat menggugah isi hati dgn gendre yg religi. sangat bagus untuk di baca.

    03/01/2022

      1
  • avatar
    Halimah Sadiyah

    aku pengen SD 2 juta sama dia pengen selamat jalannya Angel

    13d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru