logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Rintik

“Kamu siapa?”
“Pacar gue.” Galih yang menjawab.
Sementara Gina, cewek bertubuh proporsional itu tersenyum sinis pada Arana.
"Iya, saya pacarnya. Kamu istrinya, ya? Istri bualan. Ups." Gina menutup bibir mungilnya dengan jemari lalu terkekeh. "Sori. Kebablasan."
"Pacar?" Arana menggeleng lemah, nggak habis pikir. Mendadak rasa laparnya enyah. Dia raih dompetnya kemudian berjalan menjauh, keluar dari restoran. Dia abaikan bisik-bisik pelayan dan macam-macam makna tatapan para pengunjung. Lama-lama di sana cuma buang energi.
Arana melewati mobil Galih yang terparkir, berjalan gontai di trotoar. Kembali dia terawang kejadian tadi, di mana Galih mengusap leher dan area dada cewek itu, tanpa segan, apalagi malu. Pacarnya? Cih. Arana jijik mendengarnya.
Dia benar-benar dianggap sampah, dijadikan umpan hanya untuk meraih aset warisan. Arana merasa dirinya tak berharga. Harga dirinya diinjak. Perasaan campur-aduk itu pun menuntut air matanya untuk turun, membasahi cadarnya.
Arana melambaikan tangannya untuk menyewa taksi. Belum sempat dia membuka pintu mobil, tiba-tiba tangannya dicegat kasar oleh tangan kekar dari belakang.
"Pulang," titah Galih menarik tangan Arana, membawanya menjauh dari posisi taksi.
"Apa, sih? Lepasin, nggak!?" seru Arana dengan mata yang masih berair. "Aku bisa pulang naik taksi, nggak butuh tumpangan kamu!”
Galih berhenti, berbalik menatap mata almond istrinya. Samar-samar dia melihat air mata mengalir, membuatnya sadar Arana tengah menangis.
"Ngapain coba naik taksi!?" Lagi-lagi Galih membentak. Arana heran. Dia tatap lekat wajah Galih yang lebih tinggi darinya.
"Urus aja sana pacarmu. Terserah aku mau naik taksi apa enggak, bukan urusan kamu. Lagian kamu nggak peduli."
"Lo cemburu?"
Mata Arana melebar. Cemburu? Untuk apa dia cemburu? Hei, cemburu itu tanda cinta. Dari mana emangnya cinta itu berasal kalau memang benar dia cemburu?
Catat, Arana sakit hati karena merasa nggak dihargai. Itu saja.
Galih membuang napas. "Kan gue pernah bilang sama lo. Gue tuh nikahin elo karna Papa, nggak lebih. Jadi hubungan kita cuma status. Gue bebas mau berhubungan sama siapa aja, lo juga berhak gitu. Lo boleh pacaran sama cowok lain kayak gue pacaran sama Gina. Gue nggak ngelarang elo."
"Kamu anggap aku apa!?" sahut Arana spontanitas, membuat Galih seketika bungkam. Mata nyalang Arana menatap tajam mata Galih, seolah ingin menusuk lewat tatapan. "Gimanapun juga aku istri kamu, Galih. Terserah kamu nikahin aku atas niat apa, aku nggak peduli. Tapi aku minta kamu ngehargai aku sedikit. Laki-laki waras mana yang rela nyuruh istrinya sendiri buat pacaran dengan orang lain? Apa kamu nggak malu? Nggak jijik? Aku bukan benda yang dengan mudah kamu pindahkan ke tangan orang lain! Aku bukan cewek murahan. Tolong kamu rekam itu!"
Arana menangis, membiarkan cengkeraman tangan Galih yang semakin kuat.
"Aku bukannya cemburu. Aku belum cinta. Gimana bisa aku mencintai hamba yang belum mau mencintai Tuhan-nya?"
Arana melepas kasar tangannya dari cengkeraman. Sebelum benar-benar pergi dia sempatkan berkata, "Aku nginap di rumah Ibu. Soal tadi jangan khawatir. Aku nggak bakal ngadu."
**
“Jangan pernah lari dari masalah! Kan Ibu udah pernah bilang!”
“Aku nggak ada masalah sama Galih, Bu. Aku pulang karna kangen sama Ibu, itu aja.”
“Ibu sekolahin kamu supaya nggak jadi pembohong, Arana! Lagian mana bisa kamu bohongin Ibu! Wajah kamu itu bisa Ibu baca. Udah berapa tahun Ibu gedein kamu, ha!?”
Arana menghela napas mendengar bentakan Ibu yang disusul batuk. Sudah tahu sakit, Ibu masih saja niat marah-marah.
“Ibu nggak bakal nanyain masalah kalian apa. Udahlah, sekarang makan sana! Ibu tau kamu laper.”
Arana bangkit dan menghampiri dapur. Dia buka songkok di meja makan. Ada lauk goreng, ayam bumbu, mendoan tempe dan tumis kangkung. Kening Arana berkerut. Untuk apa makanan sebanyak ini? Kan, di rumah hanya ada ibunya sendiri.
“Ada tamu, Bu? Kok Ibu masak banyak?”
Risa yang tengah melipat kain di sofa menjawab, “Nggak. Lagi pengen masak banyak aja. Eh tau-tau kamu yang datang. Abisin aja sama kamu. Ibu masih nggak berselera makan.”
Arana tersenyum haru. Matanya berkaca-kaca. Walau mereka nggak ada tali darah sedikit pun, batin di antara mereka bisa terkontak layaknya ibu dan anak kandung. Biarlah watak ibunya sedikit keras, tapi di balik itu ibunya sungguh sayang dengan Arana.
**
“Bersikaplah dewasa. Jangan suka lari dari masalah, tapi berusahalah untuk menyelesaikannya. Hidup kamu masih panjang, jangan cuma karna masalah sepele jadi rapuh. Ini masih mending kamu bisa lari ke Ibu. Kalo misalnya Ibu udah nggak ada, ke mana kamu mau ngadu?”
Arana makin erat memeluk lengan Ibu. Kini mereka berdiri di depan rumah. Setelah seharian menemani Ibu, sore ini Arana bakal balik ke rumah suaminya. Ya, atas perintah ibunya sendiri.
“Jaga diri kamu baik-baik.”
Arana mengangguk. “Obatnya diminum teratur, ya, Bu.”
Risa tersenyum tipis disusul anggukan. Dia usap ubun-ubun anak tirinya ketika Arana mencium lembut punggung tangannya.
“Assalamu’alaikum, Bu.”
“Wa’alaikumussalam.”
Setelah kepergian Arana, Risa hanya mampu menghela napas sambil menyeka air mata yang turun.
**
Di ambang pintu, Arana ragu memilih membukanya atau enggak. Di halaman rumah terparkir mobil sport milik Galih, menandakan cowok itu ada di dalam rumah. Sebenarnya dia belum siap berhadapan dengan Galih setelah pertengkaran tadi malam. Tapi kalau dirinya bersembunyi terus-menerus, berarti dia nggak mengindahkan nasihat Ibu yang melarangnya untuk lari dari masalah.
Arana merapikan posisi cadarnya. Dia coba mendorong gagang pintu, mungkin nggak dikunci. Dan benar aja, Arana dapat masuk tanpa mengeluarkan kunci duplikat dari dompetnya dahulu.
Setelah masuk dan menutup pintunya kembali, tubuh Arana kian mematung. Sepasang muda-mudi yang duduk bersebelahan di sofa ruang tamu kian membuat gadis itu meringis.
Cewek berambut blonde pirang yang tengah memoles kapas basah ke wajah Galih membalas tatapan Arana dengan seringai. Sementara, Galih yang wajahnya lebam sana-sini hanya bereaksi dingin.
“Untung aku cepet ngobatin kamu, Gal. Kalo enggak keburu fatal luka kamu,” ujar Gina sembari menyentuh pelan darah di sudut bibir Galih. Cowok itu spontan meringis, menepis pelan tangan Gina.
Gina meraih plester dari kotak P3K, lalu menempelkan benda itu ke pelipis kanan Galih yang sempat sobek dan sudah dibersihkan dengan antiseptik.
Arana yang melihat adegan itu tak berkutik sama sekali.
Harusnya dia yang berada di posisi Gina. Walau dia tahu cinta itu belum ada, Arana merasa pantas untuk mengobati suaminya. Yah, meski dia tahu betul Galih tak akan sudi diobati olehnya.
“Udah beres,” kata Gina seraya membereskan kotak P3K.
Sambil senyum Galih membalas, “Makasih.”
“Aku pulang, ya. Anyway kakak di sana horor banget. Ganggu suasana aja.”
Sebelum bangkit, Gina sempatkan mengecup pipi Galih. Obat mujarab katanya. Kemudian cewek berpaha mulus itu berjalan melewati Arana sambil memasang wajah sinis.
Dalam sedetik suasana berganti hening. Arana masih mematung. Sementara Galih bangkit membawa kotak P3K menuju dapur.
Tersentak dari diamnya, Arana segera mengejar laki-laki itu dengan langkah cepatnya.
“Kamu kenapa?” tanya Arana setelah menarik tangan Galih untuk membuat mereka berhadapan. Entahlah, Arana sendiri nggak tahu dari mana keberanian itu berasal. Dia hanya merasa perlu untuk melakukan itu.
Lihatlah wajah ganteng cowok itu. Tulang pipi kanannya membiru. Ada sobekan berdarah di sudut bibirnya. Pelipis kanannya yang sempat mengalir darah sudah ditempel dengan plester. Juga terlihat jelas bekas aliran darah di bawah lubang hidungnya.
Luka khas adu tinju.
“Berantem?”
“Bukan urusan lo,” balas Galih ketus lalu berbalik. Namun dengan sigap Arana memblokir jalannya.
“Aku istri kamu Galih!”
“Trus?” Galih mendesah sinis. “Jangan mentang-mentang udah jadi istri lo sok sibuk ngurusin gue. Cukup gelar istri tuh cuma status, nggak usah dibikin lebih.”
Plak!
Satu tamparan melesat mulus di pipi kanan Galih, menambah nyeri di sekujur wajahnya. Galih menyentuh bekas tamparan. Matanya nggak lepas dari mata yang menatapnya nanar. Ada air yang membasahi mata itu. Juga membasahi cadarnya.
“Astaghfirullah ....” Arana melewati Galih, berjalan menuju kamarnya. Dia tinggalkan Galih sendiri, mematung menatapnya penuh arti.

Komentar Buku (110)

  • avatar

    Aku kecewa sama pembaca yg ngasih bintang satu atau sengaja mengurangi bintang. Kalian tahu nggak sih, kalau rating itu berarti banget untuk penulis. Dukung dengan kasih bintang 5 buat Author kesayanganku ini, please!

    03/01/2022

      4
  • avatar
    Nurlaila Djadi

    novel yang sangat menggugah isi hati dgn gendre yg religi. sangat bagus untuk di baca.

    03/01/2022

      1
  • avatar
    Halimah Sadiyah

    aku pengen SD 2 juta sama dia pengen selamat jalannya Angel

    14d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru