logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

CHAPTER 3 - REKAMAN

Tim kami akhirnya memutuskan untuk melakukan meeting setelah membaca email terbaru dari narasumber, mencoba memutuskan apakah kami akan terus melanjutkan kasus ini atau tidak. Tia dan Kayla sangat menentang keras akan kelanjutan penyelidikan kasus ini dengan alasan mereka takut di tengah perjalanan menyelidiki kasus ini akan terjadi sesuatu terhadap mereka semua. Banyu dan Rey terlihat ragu, mereka ingin berhenti dan menyetujui Kayla dan Tia, tapi file-file itu sangat menarik perhatian mereka. Ditambah, mereka juga penasaran pada bar yang tiba-tiba menghilang begitu saja dari pencarian online dan berubah menjadi rumah kosong. Walaupun aku takut, aku juga sangat penasaran dengan kasus ini. Aku ingin melanjutkan kasus ini hingga tuntas, aku ingin tahu bagaimana akhir dari cerita serial killer ini.. aku ingin dia terungkap, dan tertangkap.
“Tapi... jika kita bisa mengangkat topik ini, aku yakin banyak orang yang akan menonton video kita,” kata Banyu meyakinkan. “Viewers-nya pasti akan naik dan banyak orang yang akan penasaran. Anggap saja ini aji mumpung.”
“Kamu tidak takut? Masalahnya ini sangat mistis. Bagaimana jika mereka sebenarnya bukan manusia? Lihat Tia dan Arinda, tanpa mereka sadari, tiba-tiba sudah ada di rumah.” Kayla mencoba memberikan sanggahannya pada Banyu.
“Halah, tidak mungkin. Bisa jadi narasumber itu mengantarkan mereka berdua ke rumah, kan!” kata Banyu sambil menyedekapkan tangannya, melengos tidak percaya dengan ucapan kekanakan dari Kayla.
“Ta-tapi mana tahu dia alamat rumah kita berdua!” kali ini Tia tidak mau kalah, karena dia merasakan sendiri kejanggalan yang terjadi padanya… sama seperti aku.
“Mungkin saja dia pinjam handphone-mu untuk menelepon orang tuamu saat kalian tiba-tiba pingsan, seperti yang kau ceritakan tadi,” aku diam, masih mendengarkan mereka bertiga berdebat.
“Mamaku.... semua orang di rumahku, tadi pagi bertanya padaku jam berapa aku pulang dari studio, mama terlihat bingung karena aku sudah ada di rumah tanpa sepengetahuannya. Rasanya tidak mungkin jika narasumber itu menggunakan handphone-ku untuk menelepon orang rumah,” kataku. Tiba-tiba aku mengingat wajah narasumber saat detik-detik aku bangun dari tidurku. Senyuman menyeringai, benar-benar menakutkan.
Aku mencoba mengingat-ingat nama narasumber tadi malam, dan semakin diingat, semakin aku lupa siapa namanya. “Tia, apa kamu ingat siapa nama narasumbernya?”
“Hm... Khan...dra? Khandra, Rin!” ah ya aku baru ingat namanya Khandra. Dari perawakannya, sepertinya dia berada di umur 30-an. Kulitnya tidak terlalu gelap, lebih terang dari sawo matang. Ya aku ingat sekarang.
Saat tim sedang berdebat untuk mencapai keputusan bersama, tiba-tiba sebuah email masuk di akun email kami. Banyu yang berada di dekat laptop, mengecek siapa yang mengirim email pada kami.
REPLY TO : ARINDA NAVY
SUBJECT : SS
Mari bertemu lagi, sesegera mungkin. Aku belum selesai memberikan informasi padamu. Masih sangat banyak yang harus kita bicarakan.
Tim kami masih bimbang. Banyak hal yang harus dipikirkan. Tidak hanya untuk saat ini, untuk jangka panjang pun, kami harus memikirkannya juga. Aku menarik napas cukup panjang dan beranjak dari tempat aku duduk.
“Aku akan tetap mengambil topik ini untuk menjadi konten video kita, walaupun akan memakan waktu yang lama dan aku tahu ini akan sangat berbahaya. Jika kalian mau berhenti sampai di sini, aku tidak keberatan, tapi jika kalian mau terus lanjut, ayo kita lanjutkan. Lagian, email sebelumnya mengatakan kita tidak boleh berhenti di tengah jalan, kan?”
Mereka masih merenung, aku membiarkan mereka meninggalkan ruangan untuk berpikir. Mungkin ini pilihan yang tidak terlalu tepat untukku. Aku menyadarinya, namun kasus ini sangat menggelitik pikiranku lagi. Dengan kejadian di bar itu, bar yang tiba-tiba menghilang di pagi hari, narasumber yang meminta bertemu hanya sesuai dengan keinginannya. Benar-benar membuatku sangat penasaran.
Rey keluar dari ruangan meeting, menghampiriku di balkon dengan membawa sebuah minuman kaleng untukku, kopi dingin yang sudah lama kusimpan di kulkas.
“Aku tahu kamu ingin melanjutkan, tapi yang lain...”
“Karena itu aku bilang pada mereka aku tidak akan memaksa mereka, Rey. Aku juga tahu kalau masalah yang akan kita tangani kali ini terasa tidak beres, ada yang aneh dan tidak masuk akal sehat, tapi… aku penasaran, sungguh.”
Rey menyandarkan punggungnya pada terali balkon dan menghela napas panjang, “Aku ikut denganmu. Tapi kalau hanya kita berdua, aku yakin kita pasti kewalahan.”
“Dan kita pasti akan membutuhkan waktu yang lama bila hanya berdua saja. Aku yakin,” Rey mengangguk setuju atas ucapanku.
“Sambil menunggu keputusan mereka, kita harus tetap mengerjakan pekerjaan yang lain juga, Rin. Yah.. semoga mereka bisa mengubah pikiran mereka,” ujar Rey berdiri tegap sambil meregangkan tubuhnya yang lalu meninggalkanku sendirian lagi, dalam lamunanku.
-o-
“Yakinkan kami!” pinta Banyu padaku yang kini berada di hadapan mereka berempat.
“Bahwa kita semua akan baik-baik saja. Bahwa kita akan saling menjaga satu dengan yang lain,” ujar Tia. Kayla mengangguk setuju dengan ucapan Tia.
Aku terenyuh dengan ucapan mereka. Aku percaya pada mereka dan aku juga tahu mereka juga percaya padaku. “Semuanya akan baik-baik saja. Kita berlima adalah tim, kita harus saling menjaga satu dengan yang lain. Kalau satu susah semua susah, kalau satu senang kita semua juga ikut senang kan? Ini pekerjaan kita, seberat apa pun kita harus bisa melewatinya, karena kita berlima adalah tim!” ucapku dengan yakin.
“Oke, kita lanjutkan topik ini!” kata Kayla penuh semangat.
“Aku dan Rey akan menjaga kalian bertiga. Aku dan Rey lanjut!” kata Banyu sambil menepuk punggung Rey keras, aku bisa melihat Rey yang meringis kesakitan dan aku hanya bisa tertawa melihatnya.
“Aku juga, tapi aku tidak mau datang lagi ke Bar itu,” ucap Tia. Mereka tertawa. Aku tersenyum padanya, aku tahu sejak awal datang ke bar itu Tia memang sudah sangat takut, dan sekarang bukan hanya karena tempatnya, namun juga karena kejadian malam itu.
“Tidak apa-apa, aku bisa sendirian bertemu dengan narasumber itu. Asalkan kalian tidak pulang duluan dan menunggu di tempat yang aman,” kataku meyakinkan mereka kembali, “Kalau begitu sekarang, kita harus menjawab email dari narasumber itu lagi.”
REPLY TO : N1
SUBJECT : SS
Apakah ada informasi tentang kasus SS lain yang anda punya, kak? Mungkin yang akan berguna untuk topik kasus ini.
Kami menunggu balasan dari narasumber dengan harapan mendapatkan informasi yang lain. Namun, hingga dua jam lamanya, kami tidak mendapatkan balasan dari narasumber itu. Sambil menunggu, Banyu dan Rey membuka file-file kasus serial killer itu lagi. Ada data diri korban dan beberapa foto para korban yang hampir tidak dapat dikenali dengan luka-luka lebam, sayatan mengenaskan, juga hasil autopsi, dan foto-foto di sekitar lokasi kejadian perkara. Ada juga beberapa dari data korban di mana mereka meninggal di waktu dan lokasi yang sama. Korbannya sebanyak 29 orang. Lukanya tercipta dari tembakan senapan AK-47. Ada foto peluru yang digunakan dan kartu bertuliskan huruf Kanji Jepang sebanyak 25 buah, namun itu adalah satu-satunya bukti dari kejadian di tahun itu. Ada juga beberapa korban pemerkosaan yang ditemukan di dalam ruangan kosong dengan kondisi yang bermacam-macam. Hampir di setiap bukti yang terekam, terdapat kartu yang menunjukkan identitas Serial killer tersebut. Kartu putih dengan tulisan berwarna merah, Mara.
Ketika aku melihat file-file tersebut, aku merasa miris. Bagaimana bisa serial killer itu melakukan hal yang sangat keji kepada para korban. Padahal mungkin saja mereka hanyalah orang-orang awam yang juga tidak mengenal siapa serial killer itu. Banyak hasil autopsi yang tersimpan menunjukkan kekerasan seksual pada hampir setiap korban wanita muda, penuh lebam di wajah hampir tidak dikenali lagi. Menyedihkan.. tidak, pembunuh ini begitu menjijikkan..
Selang waktu berlalu, narasumber itu akhirnya membalas email kami.
REPLY TO: Arinda Navy
SUBJECT : SS
Aku akan menceritakan kasus ini lagi jika kita bertemu. File-file yang aku berikan itu memang belum semua, hanya detail para korban. Aku tidak bisa memberikan detail tentang SS di sini. Dan ingat, tetap patuhi apa yang aku minta, atau hal yang terjadi kemarin malam terulang lagi.
Dipikir-pikir, sedari tadi aku dan yang lain membaca kasus ini, memang hanya ada berita-berita lama, detail korban, hasil autopsi, tapi aku tidak pernah membaca sedikit pun tentang siapa yang membunuh atau yang menjadi tersangka dari kasus ini. Bukti yang ditemukan selalu hanya ada satu atau dua macam, itu pun tidak dapat menunjukkan ke arah pelaku pembunuhan.. dan juga satu foto yang selalu ada di setiap kasus, foto kartu bertuliskan Kanji Jepang dengan bacaan Mara.
REPLY TO : N1
SUBJECT : SS
Baiklah, kalau begitu mari kita bertemu sekali lagi.
-o-
Aku bertemu dengan Khandra tiga hari setelah aku mengajaknya bertemu melalui email. Dengan segala kekuatanku untuk menutupi rasa takutku, aku pun pergi ke bar itu sekali lagi dengan para timku. Kami terkejut, sesampainya di sana, bar itu terlihat sama dengan bar yang kami datangi pertama kali. Bahkan tidak sama seperti yang terlihat di google maps. Aku meminta yang lain untuk tetap tenang. Ini bukan sesuatu hal yang sama, mungkin di maps atau di kolom pencarian google, alamat ini masih belum diubah gambarnya karena mungkin tempat ini termasuk baru dan pemilik bar belum sempat untuk mengganti ulang fotonya.
“Rin, apa kamu yakin pergi ke dalam bar sendirian?” tanya Tia padaku, menahan lenganku yang sudah bersiap membuka pintu mobil.
“Aku akan baik-baik saja. Aku tidak takut pada mereka kok,” ujarku sambil tersenyum. “Tapi kalian harus tetap di sini hingga aku keluar dari bar, ya. Tunggu aku hingga aku keluar dari bar, jangan tinggalkan aku,” aku memasang wajah serius, mengingat terakhir kali kami ke sini.. mereka meninggalkanku dan Tia.
“Iya sudah sana, selesaikan urusanmu dengannya, ” Rey mendorongku agar cepat keluar dari mobil, aku hanya bisa tertawa melihat wajah sok cueknya.
“Well, wish me luck, guys.. aku pergi dulu,” Aku keluar dari mobil dan segera bergegas masuk ke dalam bar.
Di depan pintu bar, seorang wanita melihatku dengan tatapan sinis. Dia mendekatiku, berdiri tepat di hadapanku, menghadangku untuk masuk ke dalam bar, “Untuk apa kau kemari, pergilah!”
Aku hanya memberikan senyuman pada wanita itu dan meninggalkannya begitu saja. “Kau akan mati!” teriaknya yang hanya ku anggap angin lalu.
Atau tidak. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Ketakutan itu muncul lagi. Tapi aku sudah sampai di sini. Aku harus tetap melakukannya. Walaupun mati sekalipun.
Aku menunggu Khandra di meja bar depan barista. Aku memandang gerak-gerik bartender yang sedang membersihkan salah satu gelas kaca. Barista itu menoleh padaku, dan tidak banyak bicara walaupun dia tahu aku datang lagi. Biasanya para bartender di bar lain akan mengajak bicara pelanggan yang pernah datang lagi, tapi bartender ini sangat berbeda sekali, dia sangat pendiam. Bahkan saat aku memesan mocktail pun dia hanya mengangguk tanpa menjawab sepatah kata pun.
Aku teringat keinginanku tadi sore, untuk merekam pembicaraan kami, aku meletakkan tas selempangku yang berukuran sedang di meja bar, berusaha terlihat senormal mungkin untuk mengintip ke dalam tasku, memastikan perekam kecilku menyala dan menempatkannya di tempat yang strategis agar bisa merekam suaraku dan suara Khandra tanpa ketahuan.
“Sendiri?” aku terkejut mendengar suara Khandra yang memanggilku, di saat aku fokus pada perekamku, dengan segera aku mengeluarkan tanganku dari dalam tas dan menutupnya cepat. Dia menatapku dengan sedikit senyuman terlihat di wajahnya dan menaruh minumannya di atas meja bar, di samping minumanku.
“Iya, temanku tidak berani datang ke sini,” kataku. “Bisakah kita mengobrol di sini saja, Kak?” tanyaku berhati-hati.
Khandra tertawa. Aku agak bingung mengapa dia tertawa. Atau mungkin dia tahu aku takut karena itu dia menertawaiku? Kejadian kemarin memang benar-benar masih membekas di pikiranku, dan menurutku sangat wajar jika aku meminta untuk tetap duduk di sini.
“Baiklah, asalkan kita tidak berbicara dengan suara keras dan tidak membuat heboh bar ini lagi seperti kemarin.”
Ucapannya seperti menyalahkan kami berdua karena membuat bar ini kacau. Sungguh menyebalkan.
“Jadi.. apakah kamu pernah membaca tentang pembunuh itu?” tanya Khandra memulai pembicaraan kami.
“Ya, kami sudah membaca beberapa berita di tahun 2017-an. Untuk berita lama, banyak berita yang tidak bisa di buka. Mungkin sudah dihapus dari website-nya.”
“Banyak keluarga yang meminta kejelasan dari kasus ini dan tidak sedikit yang meminta kasus ini dibuka lagi. Jika kamu menyadarinya, sebenarnya kasus ini sering dibuka dan ditutup lagi oleh pihak polisi seiring dengan banyak korban yang bermunculan. Ketika semua orang berpikir pembunuh itu sudah tidak beraksi lagi, beberapa hari setelahnya korban dengan kartu Kanji Jepang itu bermunculan kembali. Bahkan terkadang mayatnya baru ditemukan setelah korban tewas beberapa hari, minggu, ataupun beberapa bulan.”
“Apa keluarga korban tidak menaruh curiga pada polisi? Bisa jadi para polisi itu menutupi kebenarannya, Kak?”
“Aku tidak tahu. Beberapa kali aku melihat polisi merasa kesal, marah karena bertemu dengan kasus yang sama. Terlebih mereka hanya menemukan satu atau dua bukti yang itu pun tidak bisa menunjukkan seperti apa pelaku sebenarnya.”
Aku mendengarkan dengan saksama, “Hmm... selain kartu itu, apakah sama sekali tidak ada hal yang bisa menunjukkan bahwa memang pembunuh itu yang sengaja membunuh korbannya? Atau mungkin persamaan cara membunuhnya, gitu?”
“Bisa jadi tidak. Dia membunuh dengan banyak sekali cara. Pernah ditemukan bukti peluru yang menunjukkan dia memakai senapan, pernah juga dia menggunakan seutas tali walaupun tali itu tidak pernah ditemukan, senjata tajam juga dan bahan kimia atau obat-obatan.”
Semakin menarik, pikirku.
“Kakak, apakah pernah mendengar di mana sekarang pembunuh itu berada?” Khandra menghela napas, dan menggelengkan kepalanya pelan.
“Banyak sekali rumor yang simpang siur, datang dan pergi. Pernah aku mendengar dia mungkin masih mencari korban lagi, ada yang bilang dia sudah berhenti. Ada juga rumor yang bilang kalau dia sudah mati,” jelas Khandra.
“Jadi ada kemungkinan bahwa dia sudah mati?”
“Aku tidak yakin. Jika memang benar dia sudah mati, seharusnya...”
“Seharusnya?” tanyaku penasaran. Mengapa dia menghentikan ucapannya. Apa yang dia sembunyikan?
“Lupakan saja, Bukan apa-apa kok,” aku sedikit curiga dengan perkataannya. Pasti ada sesuatu yang ditutupi olehnya, sebuah informasi yang tidak untuk dibagikan.. bahkan kepadaku yang dia minta untuk membantunya.
Aku meneguk mocktail-ku pelan, dan menghentikannya setelah mengingat pertanyaan apa yang harus aku tanyakan padanya.
“Kak, apa alasan Kakak untuk menghubungi kami? Padahal aku rasa ada banyak konten kreator yang mengangkat kasus-kasus seperti ini, kan?” tanyaku.
“Tidak ada alasan,” jawabnya singkat. “Mungkin.. hanya kalian yang bisa membantu mereka semua.” dia tersenyum kecil, dengan pandangan yang tidak terfokus padaku, namun pada gelas minumannya yang sudah tersisa setengah itu.
“Dan mengapa kita harus bertemu di tempat ini dan di tengah malam seperti ini, apakah tidak bisa di jam yang lebih pagi atau sore? Di tempat yang kita bisa berbicara dengan volume suara yang normal?”
“Aku tidak ingin membahayakan kalian terlalu jauh. Dunia ini penuh misteri dan sangat berbahaya.”
Aku tidak paham dengan perkataannya. Sangat aneh dan tidak masuk akal. Kalau dia bisa berpikir seperti itu, bukankah seharusnya dia tidak usah menghubungi kami sama sekali? Kenapa memberikan informasi setengah-setengah? Ini membuatku frustrasi.
“Jika ada informasi lagi, aku akan segera memberitahu kalian. Oh ya, selama kalian mencari referensi tentang kasus ini, jangan sampai ada yang tahu. Lakukan secara rahasia, dan selalu berhati-hati.”
“Baiklah, aku akan membicarakan ini pada rekanku yang lain.”
Setelah berjabat tangan dengannya dan mengucapkan terima kasihku padanya, aku segera bergegas keluar dari bar dengan jantung yang berdebar sangat kencang. Tanganku meraba-raba isi tas memastikan bahwa alat perekam yang kubawa masih berada di dalam tasku. Tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri, aku berlari cepat ke arah mobil, berharap semoga tidak ada yang curiga kepadaku. Aku membuka pintu mobil dan langsung duduk, mencoba mengatur napasku. Banyu dan Rey hampir terjungkal karena aku masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, seperti dikejar sesuatu.
“Ayo pergi dari sini cepat!”
“Hah! Ada apa?” tanya Banyu. Kayla dan Tia bergantian menguap, sepertinya sebelum aku masuk mobil mereka tertidur.
“Sudah, nanti kalian bisa lanjut bertanya, lebih baik kita segera pergi dari sini sekarang juga.”
Rey segera menjalankan mobilnya tanpa banyak kata. Aku diam sejenak mengatur napasku.
“Bagaimana tadi, Rin?” tanya Kayla. “Apakah ada hal aneh terjadi?”
“Tidak terlalu sih.. Tidak ada yang menggangguku juga,” jawabku. Aku mengambil alat perekam suara yang aku sembunyikan di dalam tasku. “Oh ya.. aku tadi menyalakan perekam suara di tasku.”
“Tidak ketahuan?” tanya Rey, melihatku dari kaca spion tengah.
Aku menggeleng, “Seharusnya tidak, aku tadi menyalakannya sebelum masuk ke bar.”
Aku mengutak-atik alat perekam suara, men-setting untuk diputar ulang, mencoba mengulang pada saat aku memesan mocktail pada bartender, sesaat sebelum Khandra datang menghampiriku.
“Coba putar rekamannya, Rin! Aku mau dengar,” mereka semua menghadap ke arahku, termasuk Rey yang sesekali mengintip melalui spion tengah. Semuanya terfokus pada satu alat yang akan mengungkap bagaimana suara dan semua cerita dan berita yang aku pertanyakan pada narasumber misterius itu.
“Ah, ini dia suaraku saat memesan Mocktail pada bartender.. Khandra datang setelahnya.” Aku menarik napasku dalam mencoba mengatur napasku, “Get ready,”
Aku menekan tombol play recorder, mengulang rekaman suara tadi.
bzzt….krrzz..zzt
“Iya, temanku tidak berani datang kesini…. Bisakah kita mengobrol di sini saja, Kak?”
zzzttt…bzztzskrrrr….
ssszzsttttt…
Betapa terkejutnya aku, hanya suaraku yang terdengar dengan sangat jelas di rekaman itu, suara Khandra terdengar samar-samar.. sangat kecil bahkan tidak terdengar sama sekali.. hanya terdengar suara listrik statis yang menggantikan suara milik Khandra. Aku mencoba menekan tombol play/pause, mengulang percakapan kami berkali-kali. Tapi tetap saja suara Khandra tidak terdengar sama sekali.
Tanganku dingin.
Bulu kuduk di leherku berdiri.
Aku menengadah, menatap ke arah teman-temanku yang melihatku bingung.
“..., tidak ada, suaranya... tidak ada.”

Komentar Buku (46)

  • avatar
    AuliaSela

    ceritanya bagus bangetttt tapi kenapa gak pernah up lagi

    20/07

      0
  • avatar
    aryaalif

    Sigit rendang

    12/06

      0
  • avatar
    Jack Andrew

    iloveyou

    24/12

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru