logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

CHAPTER II - MARA

Aku dan semua rekan kerjaku berangkat satu jam lebih awal dari waktu pertemuan dengan narasumber, karena kami perlu mencari di mana lokasi bar yang narasumber itu maksudkan berada. Tidak terlalu susah untuk menemukannya, lokasinya ternyata berada di tengah kota namun sepertinya tidak ada yang menyadari eksistensi dari bar ini, lantaran dari semua keramaian dan gemerlap aktivitas malam yang berada disekitarnya, jarang sekali orang berhenti hanya untuk melihat bahkan berkunjung ke bangunan yang akan kita kunjungi tersebut.
Bar ini juga tidak terlihat seperti bar pada umumnya, ia merupakan sebuah rumah kecil satu lantai berwarna coklat kayu dengan halaman depan yang tidak terlalu luas serta di kelilingi oleh pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa. Rumah ini juga diapit oleh dua gedung yang bisa dibilang lumayan tinggi bila disandingkan dengan rumah itu sendiri, dan karena rumah yang kecil ini, aku juga dapat melihat latar dari gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya. Sekilas mungkin memang terlihat seperti rumah biasa, namun dengan pendar remang lampu yang terlihat dari balik jendela dan juga bentuk lampu signboard yang klasik dan unik ini, aku yakin akan selalu merasa penasaran dengan bar ini jika aku melewatinya. Namun entah kenapa, aku bisa merasakan suasana mencekam yang dipancarkan hanya dari melihat rumah ini, seperti.. mengundangku untuk masuk dan melihat sendiri apa yang ada di balik pintu kayu dengan bel lonceng tersemat di pintunya tersebut. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi aku benar-benar penasaran dan ingin segera masuk kesana sekarang juga.
Rasa penasaranku akhirnya membuatku membuka pintu mobil dan turun dengan segera. Keempat rekan kerjaku masih saja merasa ragu setelah kita mendapatkan semua info berharga ini. Aku menunggu mereka untuk turun tetapi rasanya mereka tidak mau mengikutiku yang penuh rasa penasaran ini.
“Jadi, siapa yang akan menemaniku?” tanyaku pada mereka berempat, mengetuk badan mobil milik Rey ini.
“Rey,” jawab Kayla.
“Rey saja,” kata Banyu sambil menyandarkan badannya pada jok mobil.
“Tapi kasihan Arinda kalau dengan Rey. Rey kan cuek,” Tia menggaruk kepalanya.
“Kalau begitu kamu sajalah, Ti,” kata Rey menyandarkan badannya pada setir mobil, “Lagian, ini kan mobilku dan aku juga yang nyetir, nanti siapa yang akan membawa kita kabur dari sini jika terjadi hal yang tidak-tidak.. Jadi aku standby disini saja.”
“Aku gak mau ah, takut,” tolak Tia.
“Tia sajalah, daripada Rey, dia kadang tidak mendengarkan dengan baik, jadi lebih baik Arinda pergi sama kamu yang lebih bisa diandalkan.” Banyu berputar menghadap ke kursi tengah tempat Tia dan Kayla duduk.
“Betul tuh kata Banyu, kamu saja Tia. Kamu kan harus menuliskan isi materinya juga nanti.” tambah Rey.
“Sudahlah, jadi aku pergi sama siapa?” tanyaku sekali lagi sambil menyedekapkan tanganku karena rasa tidak sabar.
“Tia,” kali ini mereka bertiga menjawab hampir bebarengan hingga membuat Tia menyerah.
“Aah.. Tapi aku takut.”
“Kan kamu gak pergi sendirian. Ada Arinda juga. Arinda gak takut kok.” Kayla mencoba menyemangati Tia dengan menepuk pundak temannya itu.
“Buruan, ini sudah hampir jam 11. Jadi aku pergi sama Tia atau tidak?” mereka bertiga mengangguk bersamaan. Akhirnya aku membuka pintu mobil kembali dan meraih tangan Tia, mengajaknya untuk segera bergegas menuju rumah, Ghost Bar, tersebut.
Kami bisa mendengar suara alunan musik jazz blues yang khas dari dalam bar yang menelan suara lonceng bel ketika pintu kayu ini terbuka. Kami berdua terhenti di depan pintu bar ini, terperangah karena bagian dalam bar ini terlihat sangat luas daripada yang kami perkirakan. Aku mengusap mataku, tidak percaya akan apa yang aku lihat, mengingat kembali betapa kecilnya bangunan bar ini bila dilihat dari luar. Tia menggenggam tanganku erat, agak takut untuk masuk ke dalam bar tersebut walaupun suasana yang terlihat hangat dan ramai namun terasa sepi dan dingin bagi kami berdua. Dari depan bar, sangat terlihat bahwa tempat ini menggunakan tema klasik, elegan, dan estetik. Pemilihan kayu dan warna pada setiap furniture sangat elegan, furniture juga ditata sedemikian rupa agar terkesan nyaman. Di balik meja bartender, terdapat rak pajang yang besar dan luas berisi beragam botol minuman beralkohol, mulai dari yang terlihat sangat biasa hingga yang memiliki bentuk botol unik yang terlihat mahal dan sengaja dipamerkan untuk para pengunjungnya. Para pengunjung bar juga terlihat duduk dengan sangat relax karena alunan lagu dari live music di panggung bar. Hanya dengan melihatnya saja, dapat dikatakan tempat ini termasuk sangat nyaman, ada kesan terlalu mewah yang terlihat dari luar bangunan, walaupun bagiku tempat ini terasa lebih sepi daripada bar-bar yang sudah pernah aku datangi. Tempat ini pasti terkesan misterius dan menakutkan untuk setiap orang yang datang pertama kalinya, karena aku pun merasa begitu.
Aku bersama Tia masuk dan segera duduk di kursi tinggi di depan bartender yang sedang menyiapkan minuman untuk customernya. Aku melihat ke sekeliling ruangan, walaupun ada cukup banyak orang, ruangan ini tidak terasa ramai sama sekali, bahkan cenderung.. sepi. Kebanyakan dari para pengunjung hanya duduk dan meneguk minuman mereka sambil mendengarkan alunan lagu dari panggung dan juga tidak ada yang berbincang satu sama lain walau mereka duduk dalam satu meja, seakan semua yang datang ke sini hanya ingin menikmati waktu mereka masing-masing. Di sisi lain aku melihat seorang wanita muda yang hanya duduk menyendiri memperhatikan gelas berisikan minumannya itu. Raut wajah datar dan mata sendu terlukis di wajahnya, mungkin ini hari yang berat baginya hingga dia terlihat kelam seperti itu, pikirku.
“Hey, kalian berdua!” terdengar suara tinggi dari seorang wanita muda yang sepertinya tertuju kepada kami, hingga membuat kami terkejut. Kami pun menoleh ke arah asal suara tersebut dan mendapati seorang perempuan dengan rambut hitam legam yang mengenakan baju seperti seorang gypsy berjalan ke arah kami dengan kerutan di dahinya, “Bagaimana kalian bisa–”
“Vlogger Arinda Navy?” panggil seseorang yang menepuk bahuku dari belakang, memecah konsentrasiku pada wanita tadi dan dengan cepat menoleh ke arah tepukan tersebut. Seorang pria tersenyum kepadaku. Ketika aku kembali menoleh pada wanita muda yang memanggil kami berdua tadi, wanita tersebut sudah tidak terlihat lagi.
“Tia, kemana perginya orang tadi?” tanyaku pada Tia dan dia hanya menggeleng cepat tidak tahu.
“Iya, saya Vlogger Arinda Navy,” aku mengangkat alis penuh tanda tanya, mungkinkah orang ini.., “Narasumber.. N1?”
“Benar, Panggil saja saya Khandra. Saya pemilik akun email N1,” dia tersenyum dan mengulurkan tangan kepada ku untuk berjabat tangan.
“Baik kalau begitu, Kak Khandra,” aku menyambut uluran tangannya dan berjabat tangan dengannya, terasa sedikit.. dingin daripada tanganku, “ini teman saya, Tia, dia bekerja dibalik layar sebagai penanggung jawab copywriter vlog kami.”
“Salam kenal, saya Tia.”
“Bagaimana jika kita duduk di tempat yang lebih.. private?” ucap Kak Khandra dengan entah kenapa sedikit memelankan suaranya di bagian akhir.
“Baik, tolong tunjukkan tempatnya, Kak Khandra.”
Kami mengikuti Khandra menuju tempat yang agak terisolasi di ujung bar. Sebuah bilik sofa dengan penerangan yang cukup, tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap. Sofa dari bilik yang kami tempati ini memakai lapisan dari kulit sintetis dan berwarna hitam legam, terlihat sangat elegan dan sesuai dengan tema dari bar ini, namun suara decitan dari lapisan kulit sofa dan baju kami saat aku dan Tia mencoba untuk duduk sedikit terlalu, berisik. Aku dan Tia memilih untuk duduk menghadap ke area pintu masuk bar ini, hanya untuk berjaga-jaga bila ada hal yang tidak aku inginkan terjadi. Khandra duduk di seberang kami, tidak memberikan suara apapun saat duduk. Tidak seperti kami, dia seperti sering berkunjung dan memahami keadaan bar ini.
Tia memegang ujung jaketku sangat erat, sepertinya dia masih sedikit takut dengan wanita muda yang tiba-tiba memanggil kami tadi karena memang, teriakannya benar-benar mengejutkan. Membuatku sedikit bergidik ngeri jika mengingatnya. Aku akhirnya mencoba menenangkan dengan memegang tangannya, memastikan semua akan baik-baik saja. Walau sekarang aku pun sedikit tidak yakin akan hal itu.
“Jadi..” aku langsung memulai pembicaraan kami ini tanpa basa-basi, “Bagaimana kakak bisa mendapatkan file kasus itu? Dan mengapa sangat berbeda dari yang diberitakan di publik?”
“Maaf kak, sebelum saya menjawab.. Saya ingin kalian untuk memelankan volume suara kalian saat berbicara.” Khandra menaruh jari telunjuknya di depan mulutnya, menginginkan kita untuk mengikuti permintaannya, “Kita bicara pelan-pelan saja, sepelan mungkin, jangan sampai terdengar oleh pengunjung di sini, kalian tahu kan kalau kasus ini termasuk sensitif di kalangan masyarakat.. Pengunjung di sini juga sensitif terhadap suara.. Jadi, please?”
Aku mengernyitkan dahi, tidak begitu paham apa yang dia maksud dan yang dia inginkan dari kami. Tapi agar semua ini cepat selesai, aku mengangguk pelan, Tia pun juga menyetujuinya. “Baiklah.”
“Kasus ini sudah lama ditutup oleh polisi kan, kak? Bagaimana kakak bisa mendapatkan file tersebut?” tanyaku sekali lagi dengan suara yang lebih pelan. Khandra memberikan tanda padaku agar memelankan suaraku lebih pelan lagi, namun lebih pelan dari ini sudah pasti kita hanya akan jadi berbisik-bisik.
“File yang aku kirim adalah file autentik dari seseorang yang aku kenal. Aku tidak tahu mengapa dia memberikan file ini padaku dan tidak menuntaskannya sendiri, yang pasti suatu hari nanti dia ingin kasus ini selesai.”
“Lalu siapa dia? Apakah dia seorang polisi?” Tanya Tia. Khandra menggeleng pelan.
“Aku juga tidak tahu pasti, tapi tidak mungkin polisi punya file selengkap yang kuberikan pada kalian itu. Kalau mereka punya, kasus ini sudah selesai sejak lama, bukan?”
Apa yang Khandra katakan ada benarnya juga, namun informasi ini terasa janggal, jika memang data yang dia berikan selengkap itu, mengapa harus disebar melalui kami, vlogger, dan bukan pihak yang berwajib? Aku merasakan tanganku semakin dingin setiap ada pertanyaan yang muncul di kepalaku.
“Serial killer ini sudah beraksi hampir 30 tahun sejak tahun 1989 hingga korban terakhir di tahun 2017. Itu pun yang terdeteksi, bisa jadi masih ada lagi tapi belum tersimpan di file itu.” Khandra sesekali melihat sekelilingnya, seperti berharap agar benar-benar tidak ada yang dapat mendengarkan percakapan kami, “Seperti yang kalian tahu, pelaku tidak pandang bulu dalam memilih korbannya, mulai dari laki-laki paruh baya, nenek-nenek, wanita muda, bahkan gadis remaja pun, semua bisa menjadi korbannya. Dia bukan orang sembarangan yang dapat dipandang remeh. Tidak ada yang bisa menaklukkannya, bahkan polisi pun sampai tidak berkutik menghadapi kasusnya. Mungkin... dia adalah orang paling cerdik dan kuat di negeri ini.”
Kami masih menyimak cerita Khandra. Antara percaya dan tidak percaya, jika orang yang disebutkan benar masih hidup di dunia ini. Tia semakin menggenggam erat tanganku setiap Khandra menambah cerita dan informasinya.
“Tidak ada orang yang berani dengannya atau mereka akan mati di tangannya. Bahkan dia memiliki julukan ‘Smooth Sadistic Man’ atau masyarakat menyingkatnya menjadi SS. Dia bisa menghancurkan semua bukti hingga terlihat sangat bersih di mata polisi. Para polisi juga menyerah karena seakan bukti itu tidak pernah ada.”
Aku diam memikirkan bagaimana keadaan dan perasaan para keluarga korban. Pasti mereka sangat terpukul saat mengetahui kejadian yang menimpa para korban pembunuhan.

“Para keluarga korban sangat marah dengan kualitas kerja para polisi itu. Tapi polisi juga tidak bisa membantah kemarahan dari keluarga korban, mereka sendiri tidak dapat menunjukkan bukti nyata jika para korban dibunuh oleh SS.”
“Bagaimana keluarga korban bisa tahu jika korban itu dibunuh serial killer itu, kak?” tanyaku. Khandra mengambil sebuah kertas foto yang berisi sebuah gambar dengan tulisan kanji dari dalam tasnya.
“Kartu ini,” ketuk Khandra pada kertas foto yang sudah ia letakkan di atas meja, ” Kartu ini selalu ada di tempat kejadian perkara, dari sejak awal pembunuhan ini terjadi, kartu tulisan kanji ini selalu ada.. Jadi seharusnya polisi juga tahu tentang arti dari kartu ini.”
“Bagaimana cara membaca tulisan kanji ini?” tanya Tia.
“Mara.”
“Mara?” Tanpa sadar, Tia mengucapkan kata itu dengan suara yang lebih keras dari seharusnya.
Ucapan Tia membuat seluruh pengunjung menoleh kearah bilik sofa kami. Raut wajah mereka berubah. Mereka terlihat seperti orang yang sedang ketakutan. Suhu di ruangan ini seperti turun drastis, suasana bar yang terasa hangat dan ramah kini menjadi dingin dan mencekam. Kami tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kami berdua tercekat, tidak bisa bernapas. Tiba-tiba wanita muda yang sedari tadi duduk diam di depan meja bartender berteriak sangat keras. Dua orang lain di tengah ruangan ikut berteriak dan berlari seperti orang ketakutan. Satu dua orang berlari mendekati kami, berteriak, mengumpat, ekspresi wajah mereka bercampur aduk, takut, sedih, putus asa, dan marah semua bercampur menjadi satu. Mereka terlihat sangat berantakan. Pengunjung yang lain berlari ketakutan hingga saling menabrak satu dengan yang lain, namun ada yang aneh di sini, mereka seperti.. menembus satu dengan yang lain? Perlahan orang-orang itu berubah. Suara teriakan mereka semakin keras, sangat keras hingga aku dan Tia berusaha sekuat tenaga untuk menutup telinga kami dari pekikan suara-suara yang terlempar dari mereka. Suasana semakin ricuh, saat di antara orang-orang dalam bar ini, manusia-manusia yang kami lihat itu perlahan mulai menjadi transparan seiring mereka mengeluarkan segala teriakan yang makin memekakkan telinga.
Aku dan Tia merasa sangat ketakutan. Wajah kami pucat pasi. Kami belum pernah melihat kejadian yang teramat aneh seperti ini seumur hidup kami. Kami ingin berlari dari tempat ini. Namun, kaki kami terasa berat seakan ada yang menahannya dari bawah. Kami berusaha sekuat mungkin untuk berlari dan keluar dari tempat ini, teriakan dan sumpah serapah yang dilemparkan oleh orang-orang yang sedari tadi meneriaki kami membuatku semakin pusing, mereka mengerumuni kami, menghalangi arah jalan kami hingga tanpa sadar badan kami menabrak terantuk pada dinding. Saking kerasnya kami membentur dinding, hingga membuat tubuh kami terpental dan jatuh telentang. Aku tercekat tidak bisa bicara ataupun berteriak, nafasku terasa sesak seakan ada yang menekan dadaku. Orang-orang yang sedari tadi berteriak tersebut semakin mengerubungi kami yang tidak dapat berbuat apa-apa. Aku ingin keluar dari sini, siapapun tolong keluarkan kami dari sini. Rey, Banyu.. Kayla.. Siapapun.. Mama… Aku mencoba melihat Tia yang ternyata sudah tak sadarkan diri dengan tangisan air matanya yang mengalir di pipinya. Khandra? Bagaimana dengan Khandra? Apakah dia baik-baik saja? Aku tertegun melihat Khandra yang ternyata masih duduk di tempat yang sama dan tidak menghiraukan keadaan kami. Mata kami bertemu dan dia memberikan senyuman sinis. Tatapan dan senyumannya seolah-olah menangkapku dalam genggamannya. Siapa dia.. sebenarnya? Lalu, semuanya menjadi gelap gulita.
-o-
“AAH!” Aku terperanjat dari tidurku, terbangun dari mimpi paling aneh yang pernah aku alami. Aku menekan dahiku karena sakit kepala yang tiba-tiba kurasakan. Aku melihat sekelilingku dan mencoba mengingat-ingat kembali mimpi tadi malam. Seketika bulu kudukku berdiri mengingat kejadian yang ada didalam mimpi itu. Mimpi yang aneh dan sangat menyeramkan. Dan yang paling menyeramkan dari mimpi itu adalah, bahwa mimpi tersebut terasa sangat nyata. Andai aku tidak terbangun di kasur ini, aku pasti sudah merasa bahwa itu bukanlah mimpi buruk belaka.
Walau sudah bersikeras meyakinkan diriku sendiri bahwa semua itu hanya mimpi buruk, kejadian di mimpi semalam sungguh terasa sangat nyata.. Terlalu nyata. Tempatnya yang remang-remang, Bar dan botol-botol uniknya, alunan musik jazz blues, bahkan bartendernya pun sangat jelas dalam memoriku. Aku mencoba mengingat-ingat dengan siapa aku masuk ke dalam bar itu, Rey? bukan.. Tia? Iya sepertinya memang benar Tia yang ikut masuk bersamaku. Di sana aku dan Tia bertemu dengan seorang laki-laki yang tidak aku kenal, dan sepertinya aku terlihat sangat tertarik untuk bertemu dengannya. Lalu kejadian setelah Tia membaca tulisan di secarik kertas foto.. Tulisan apa..?
“Arin, mau sampai kapan kamu melihat makananmu terus?” tanya mama mengagetkanku. Papa dan adikku tidak terlalu peduli denganku dan tetap asyik dengan makanan mereka sendiri.
“Ah, iya ma..” aku menggigit pucuk roti panggang sarapan pagiku, berusaha membuyarkan pikiranku dari mimpi itu dan kembali kedunia nyata.
“Jam berapa kamu sampai rumah kemarin?”
“Hm, aku… tidak ingat. Sepertinya kemarin aku langsung pulang setelah rekaman, Sore.. mungkin?” jawabku tidak yakin. Aku merasakan hal aneh, hal yang ganjal dari jawabanku sendiri, tapi entah apa.
“Oh ya? Mama tidak tahu kamu pulang, nak.”
Aku menggigit roti panggangku dan segera beranjak sebelum Mama bertanya hal yang lain lagi padaku, “Aku berangkat, Ma!” segeralah aku berangkat setelah mencium pipi Mama dan melambaikan tangan pada anggota keluargaku yang lain.
Di dalam mobil pun aku masih memikirkan tentang semua yang masih mengganjal di benakku. Aku mengingat senyuman menyeringai orang dalam mimpiku itu. Menakutkan. Selama perjalanan menuju studio, aku benar-benar tenggelam dalam lautan pikiranku. Lautan itu berisikan ingatan akan mimpi semalam. Apa yang sebenarnya terjadi kemarin? Apakah benar itu semua hanya mimpi? Tapi, jika itu benar mimpi, mengapa aku merasa seperti benar-benar mengalami kejadian itu? Kejadian menyeramkan seperti yang terjadi dalam film-film hantu. Ingin mati rasanya. Aku terus menggelengkan kepalaku seakan tidak bisa membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi padaku. Jantungku berdebar memikirkannya. Lalu, siapa sebenarnya laki-laki itu? Senyumannya itu tak bisa aku lupakan. Ah.. tidak sebaiknya aku lupakan saja.. Aku tidak boleh membawa mood kelam ini di tempat kerja, aku Arinda Navy, vlogger profesional, hal seperti ini tidak boleh mengganggu waktu kerjaku.
Tak terasa aku sudah dekat dengan bangunan apartemen tempatku bekerja, tempat dimana kami menyewa ruangan untuk kami pakai sebagai studio kerja kami. Aku masuk dan langsung menuju tempat parkir di basement. Aku melihat Rey yang sedang berdiri di depan pintu lift apartemen dan membunyikan klakson mobilku, memanggilnya agar menungguku juga. Segera aku memarkirkan mobilku.
“Arinda!” panggil Rey saat aku menutup pintu mobilku. Aku melambaikan tangan padanya, “Kemarin kamu pulang sendiri?” aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu darinya.
”Bukannya biasanya seperti itu?”
“Kami menunggu kalian hingga hampir jam 2 pagi, dan karena Kayla tidak kuat menunggu kalian berdua.. akhirnya kemarin kami putuskan untuk pulang duluan.. Maaf ya.”
“Jam 2 pagi? Emangnya kita kemarin pergi kemana? Perasaan aku kemarin langsung pulang setelah kita selesai bikin video deh.”
“Hah? tapi..” Rey terlihat kebingungan dan tidak jadi melanjutkan apa yang ingin dia sampaikan.
Pintu lift terbuka dan kami berdua masuk kedalamnya. Kami berdua sama-sama diam, tidak mengobrol di dalam lift yang hanya berisikan kami berdua saja. Aku sempat melirik kearah Rey dan dia terlihat seperti memikirkan sesuatu dengan sangat serius, hingga kami sampai di depan kamar studio, kami tak berbicara sepatah katapun. Sebenarnya apa yang terjadi.. kemarin? Apa ada yang salah dari perkataanku? Mengapa aku merasa ada yang mengganjal? Ugh, kenapa hal ini membuatku semakin penasaran..
“Ariiin...” Tia menangis tersedu-sedu, dia langsung memelukku erat begitu Aku membuka pintu ruangan studio. Semua rekan kerjaku sudah lengkap di dalam ruangan. Wajah mereka terlihat khawatir, termasuk Rey yang berdiri di sampingku. “Ternyata itu semua bukan mimpi, Rin..”
Aku melihat ke arah yang lain dengan bingung, “Apa maksudmu, Tia?”
“Kemarin malam kamu mimpi menakutkan?” ujar Tia sesenggukan. Aku mengangguk pelan. “Di Bar?” tanyanya lagi. Aku terkejut dengan pertanyaan Tia.
“Iya… kamu tahu dari mana tentang mimpiku?”
Tia menangis semakin menjadi, “Itu kenyataan, Rin. Bukan mimpi!”
Aku sangat terkejut. Badanku lemas seketika dan jatuh terduduk. Rey menangkapku dari belakang.
“Jadi.. itu nyata?” tanyaku pelan. Tia mengangguk. “Teriakan-teriakan itu juga?” Tia mengangguk sekali lagi. Bulu kudukku berdiri lagi. Aku tidak pernah merasakan rasa takut seperti ini.
“Kau juga merasakan sakit dikepalamu kan? Kita membentur dinding saat hendak berlari keluar dari bar!” perkataan Tia mengingatkanku pada sakit kepala yang aku alami tadi pagi, sakit kepala yang aku tidak tahu darimana asalnya itu.. Ternyata..
“Tapi jika benar terjadi, bagaimana kita bisa pulang? Bukankah kita diserang oleh para pengunjung disana?” balasku mencoba menepis bahwa mimpi buruk yang aku alami tadi malam itu adalah hal yang nyata terjadi pada kami berdua.
“Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi..” tanpa sadar aku mengangguk, menyetujui pernyataan Tia, dalam mimpiku pun dia jatuh dan tak sadarkan diri setelah kami dikerubungi oleh para pengunjung bar itu, “Tiba-tiba aku sudah ada di kasur kamarku.. Kalian benar-benar tidak mengantar kami pulang?” tanya Tia melempar tatapannya pada Rey, Banyu dan Kayla. Aku pun melihat kearah mereka, berharap mereka hanya bercanda soal pulang duluan itu.. namun mereka bertiga bertukar pandangan dan menggeleng pasrah, tanganku semakin lemas mengetahui jawaban mereka.
“Aku juga… saat pagi bangun-bangun sudah ada di kamar,” ucapku menambahkan, membenarkan ucapan Tia, “Jadi kemarin benar kita bertemu dengan narasumber?”
“Iya, Rin! Kita bertemu dia kemarin malam! Aku juga masih ingat sama cerita-cerita kasus yang dia bicarakan,” cerita Tia berusaha meyakinkan yang lain.
“Rey, apakah email terakhir dari N1 masih kau simpan?”
“Masih. Ada apa?” tanya Rey padaku. Banyu langsung menyalakan laptopnya dan membuka email yang kumaksudkan.
“Coba cek di google tentang ghost bar itu deh,” aku menghela napas dalam, menenangkan diri. “Atau coba copy alamatnya di kolom search.”
Banyu mengetik nama bar yang kami datangi tadi malam. Tapi anehnya bar itu tidak terdeteksi dalam maps yang ada di google. Lalu, Banyu mengetik lagi alamat bar dari N1. Kami semua mematung. Yang ada di layar laptop hanyalah sebuah rumah tua yang sudah rusak parah dan tampak tidak berpenghuni.. banyak sekali semak tinggi yang menutupi jalan dan pagar rumah. Seperti rumah hantu.
“Tidak mungkin. Banyu, kamu yakin alamat yang kamu ketik itu benar? Coba deh ketik sekali lagi!” aku mendengus kesal, merasa teman kerjaku tidak dapat melakukan permintaanku dengan benar, “Kemarin kita juga sudah mencarinya di maps dan lokasinya tidak seperti ini! Kalian semua lihat sendiri kan kalau tempatnya kemarin masih bagus?!” tanyaku mencari pembenaran. Kayla mengangguk. Tia hanya diam seperti akan menangis lagi.
“Ini sudah aku paste dari email N1, Rin. Tidak mungkin salah. Hasilnya yang keluar juga sama.” Banyu membalas pernyataanku dengan nada yang ikut kesal.
“Aku juga coba cari dari recent maps kita kemarin.. Hasilnya.. Sama.” Rey memperlihatkan layar handphonenya pada kami satu-persatu, agar kami melihatnya dengan seksama.
Aku menelan ludahku sendiri. Berusaha tetap tenang, agar yang lain tidak lebih panik dari aku. Jujur, aku masih tidak percaya. Aku mencoba mencerna lagi apa yang sedang terjadi. Mencerna seperti apa keadaan tempat yang kami datangi, mengingat signboard klasik yang menarik rasa penasaranku, rak pajang besar bar yang penuh botol unik dan elegan, dan alunan lagu yang ada di bar tersebut. Nyata. Tia juga membenarkan bahwa Bar yang kita masuki kemarin itu nyata, semua itu bukan hanya mimpi buruk yang datang begitu saja.
“Rin,” Di kehanyutan diamku, Rey menepuk bahuku, menunjukkan sebuah notifikasi yang muncul di layar laptop Banyu.
Ada email masuk dari N1.
Teman-temanku tampak terkejut sama sepertiku, mereka hanya melihat layar dengan notifikasi yang muncul itu, dan kemudian berpindah kepadaku, seakan menunggu perintahku untuk membuka email tersebut atau tidak. Aku menelan ludahku, memberanikan diri untuk mengucapkan satu kata perintah ini terasa begitu berat.. Tapi aku harus.
“Buka email itu.”
REPLY TO : ARINDA NAVY
SUBJECT : SS
JANGAN BERHENTI SAMPAI SINI. KALIAN HARUS TETAP MELANJUTKANNYA!

Komentar Buku (46)

  • avatar
    AuliaSela

    ceritanya bagus bangetttt tapi kenapa gak pernah up lagi

    20/07

      0
  • avatar
    aryaalif

    Sigit rendang

    12/06

      0
  • avatar
    Jack Andrew

    iloveyou

    24/12

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru