logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

5. Tak Tulus

Aku sedang mengganti seprai dan sarung bantal, ketika Mas Ardan masuk ke kamar. Tak kuhiraukan kehadirannya. Aku tetap sibuk dengan tugasku. Dari sudut mata, kulihat ia seperti ragu mendekat. Mau apa lagi dia?
“Ehem, Num. Aku mau ngomong sebentar!” tegurnya, berdiri dengan kikuk di samping ranjang.
“Mau ngomong apa? Tinggal ngomong aja!” sahutku sambil merapikan sudut ranjang.
“Bisa duduk dulu?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.
Aku mendesah. “Telingaku masih bisa mendengar walaupun tidak duduk, Mas! Pekerjaanku masih banyak. Kalau mau ngomong, ya ngomong sekarang!” jawabku malas.
Wajah Mas Ardan tampak sedikit ditekuk. Bibirnya tertutup rapat. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku.
“Gak jadi ngomong? Kalau gitu, aku mau nyuci pakaian dulu!” Aku mulai berjalan menuju pintu kamar.
“Tu-tunggu!” cegahnya.
Aku berbalik dan menatap lurus ke matanya, siap mendengarkan. Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya dia buka suara.
“Ehem … a-aku minta maaf soal ucapanku tadi pagi!” ucapnya, samar terdengar olehku.
“Apa, Mas? Aku kurang jelas dengernya!” Mataku menyipit. Mungkin saja tadi aku salah dengar. Soalnya, selama menikah dengan Mas Ardan, kata ‘maaf’ belum pernah keluar dari bibirnya.
“Aku minta maaf soalnya omonganku tadi! Kamu … benar-benar mau mencari kerja?” tanyanya kemudian. Kali ini terdengar jelas olehku.
“Iya, aku akan mencari kerja mulai besok. Jadi, sebaiknya kamu siapkan segera orang yang akan menggantikan aku di rumah untuk menjaga Ibu,” timpalku tanpa menanggapi permintaan maafnya.
“Num, aku akan tambahi uang bulanan kamu. Tapi, kamu tetap di rumah saja dengan Ibu. Aku janji, tidak akan pernah mengungkit soal uang bulanan lagi!” pinta Mas Ardan tiba-tiba.
Aku terdiam sejenak. Mataku menelisik roman wajahnya yang sulit untuk dibaca.
“Maaf, Mas. Keputusanku sudah bulat. Aku akan ambil waktu satu minggu untuk mencari pekerjaan. Setelah itu, sudah harus ada pembantu di rumah ini. Aku tidak akan berubah pikiran lagi!” tandasku.
“Tapi, aku sudah minta maaf, Num! Kamu pikir bayar pembantu tidak mahal? Mending uangnya untukmu dan Ibu saja, kan? Coba kamu pikirkan lagi! Jangan egois!” bujuk Mas Ardan, membuatku seketika merasa muak.
Aku tertawa sumbang. Kukira ia tulus, ternyata akal bulus.
“Lucu sekali kamu, Mas! Seandainya sejak awal kamu memperlakukan aku dan Ibu sedikit lebih baik saja, mungkin aku tak akan seperti ini. Aku akan dengan ikhlas berada di rumah, mengabdi untukmu dan Ibu tanpa harus memikirkan keluar mencari uang. Kalau sudah tak ada yang mau dibicarakan lagi, aku mau lanjutkan pekerjaan rumah!” Aku kembali berjalan meninggalkan Mas Ardan yang tampak tak puas dengan jawabanku.
Namun, belum sampai aku keluar dari kamar, tubuh tegap Mas Ardan sudah menghalangi. Dengan cepat ia menutup dan mengunci pintu.
“Apa-apaan kamu, Mas! Minggir!” Tindakannya membuatku terkejut dan sedikit takut.
“Pokoknya, kamu harus nurut sama aku! Dengar, Num? Uang bulananmu akan kutambah! Kamu harus tetap di rumah, dan menjaga Ibu. Aku tidak mau membayar pembantu. Titik!” desak Mas Ardan, tak tahu malu.
“Keputusanku sudah bulat, Mas. Meski tanpa persetujuanmu, aku akan tetap mencari kerja. Rencanaku sudah tak bisa diubah lagi. Sekarang, minggirlah dari sana!” Aku mencoba menggeser badannya yang menghalangi pintu.
“Kalau kamu berjanji akan tetap di rumah, aku akan minggir.” Mas Ardan bergeming.
“Oh, mau begitu? Gak masalah. Kalau kamu gak mau minggir, mending aku tidur saja. Yang jelas, kamu tidak bisa mengubah keputusanku, Mas.” Kutelakkan keranjang pakaian di lantai, lalu naik ke atas tempat tidur. Tak lama kemudian, kupejamkan mata. Paling tidak, aku punya alasan untuk tidak mencuci sekarang.
“Argh! Dasar perempuan keras kepala. Kalau begitu, lihat saja! Aku tidak akan pernah memberimu uang lagi sepeser pun! Ingat itu!” ancam Mas Ardan yang kemudian keluar dan membanting pintu. Aku tersenyum sambil memeluk bantal. Hmm, sepertinya tidur siang sebentar, enak juga.
*
Malamnya, aku mulai sibuk membuka-buka media sosial untuk mencari lowongan kerja di kota ini. Beberapa lowongan tampak menggiurkan, tapi sayang ada batasan usia. Lowongan pekerjaan lainnya malah hanya menerima wanita single, alias belum menikah. Huft, ternyata ada banyak juga tantangannya untuk mencari kerja sekarang.
Kulirik Mas Ardan yang berbaring di samping. Dia sepertinya belum tidur. Sambil membelakangiku, ia sibuk dengan ponsel di tangan. Beginilah rutinitas kami setiap malam hari. Tak pernah ada obrolan apalagi bercanda saat berada di peraduan. Hanya saling diam, dan memamerkan punggung masing-masing.
Mendesah, aku turun dari ranjang. Kuambil sebuah tas berisi dokumen-dokumen yang selama ini teronggok di atas lemari. Sedikit berdebu karena tak pernah disentuh. Kukeluarkan ijazah, piagam-piagam, transkrip nilai, sertifikat, curriculum vitae, dan dokumen penting lainnya. Dari pantulan cermin, kulihat Mas Ardan memandangiku penasaran.
“Masih ada waktu kalau kamu mau berubah pikiran, Num. aku benar-benar akan menambah jatah uang belanjamu dan Ibu. Kamu tinggal di rumah saja. Tak usah cari kerja. Lagi pula, siapa yang mau menerima wanita bersuami dan sudah berumur? Sekarang itu, persaingan kerja sangat ketat!” cerocos Mas Ardan panjang lebar.
Aku tak menggubrisnya. Alih-alih menyemangati, ia malah mencoba untuk menjatuhkan mentalku. Bukannya aku tak sadar diri. Memang kenyataannya saat ini persaingan dalam mencari kerja sangatlah ketat. Namun, tak ada salahnya mencoba dengan kemampuan yang aku punya. Kalau sudah rejeki, tak akan ke mana juga.
“Denger gak, kamu? Mumpung aku masih bisa berubah pikiran, Shanum! Jangan seenaknya sendiri!” imbuh Mas Ardan dengan nada yang sedikit ditinggikan.
“Maaf, Mas Ardan yang terhormat. Aku akan tetap mencari kerja. Kalau kamu punya uang lebih, mending dipakai saja untuk mentraktir temanmu di kafe!” sindirku sambil memisahkan dokumen fotokopian dan yang asli.
“Apa kamu bilang? Ngajak ribut, kamu?” Mas Ardan bangkit dan duduk di tepi ranjang.
“Yang dari tadi ngoceh terus, siapa? Bukannya Mas sendiri?” Aku pun dengan cepat membereskan kertas-kertas penting itu dan mengamankannya kembali ke dalam tas.
“Sudahlah, Num. Mengalah saja. Biasanya kamu selalu nurut sama aku. Kenapa sekarang kamu jadi keras kepala begini?” Mas Ardan tampak gusar.
“Baru sadar kamu, Mas? Cobalah tanyakan pada dirimu sendiri, kenapa aku sampai berubah seperti ini. Pikirkanlah!”
Malas berdebat dengan Mas Ardan, aku beranjak, lalu keluar dari kamar. Lebih baik aku bicara dengan Ibu sekarang. Kudekati sosok ringkih yang masih betah duduk di depan TV itu. Matanya fokus menatap layar.
“Bu … Ibu kok, belum tidur?” sapaku pelan dan duduk di sampingnya.
“Eh, kamu, Num? Kamu juga belum tidur?” Wajahnya seketika sumringah melihatku. Ibu senang jika ditemani menonton TV.
“Belum, Bu … Shanum, mau ngomong sesuatu sama Ibu,” ucapku sedikit ragu.
“Ngomong apa, Num?” tanya Ibu. Ia memandangku lekat.
Kuraih tangannya dalam genggaman.”Bu … Shanum, boleh ijin kerja? Nanti … akan Shanum carikan teman untuk Ibu di rumah. Shanum akan usahakan cari pekerjaan yang dekat dari rumah.”
Ibu terdiam sejenak. Mungkin berusaha mencerna apa yang baru saja aku ungkapkan. Matanya menatapku lekat, seolah mencari-cari sesuatu.
“Shanum … mau kerja apa nanti?” Ada getaran yang kurasakan dari pertanyaan Ibu.
“Belum tau, Bu. Tapi, Shanum akan cari yang sesuai dengan keahlian saja,” jawabku.
Kepala ibu mengangguk-angguk. “Ya … gak apa-apa kalau Shanum mau kerja. Ibu doakan, dapat pekerjaan yang bagus.” Tangannya lalu meremas tanganku, seakan memberi semangat. Aku merasa sedikit lega.
“Ibu gak apa-apa kan, kalau nanti ditemani orang lain di rumah?” Ini adalah hal terpenting yang harus kutanyakan. Kalau Ibu sampai merasa tak nyaman, aku tak tega. Walau bagaimanapun, kebahagiaan ibulah yang terpenting.
“Maksudnya, gimana, Num? Siapa nanti yang temani Ibu?” Alisnya bertaut.
“Ma-maksudnya, nanti Shanum akan carikan orang untuk menjaga Ibu selama Shanum kerja.”
“Nanti … digaji? Begitu, Num?” Wajah Ibu tampak sedikit cemas.
“Iya. Udah, Ibu gak usah berpikir yang aneh-aneh. Pokoknya doakan saja, Shanum dapat pekerjaan secepatnya!” ujarku dengan senyum terkembang.
“Tapi … nanti uangnya dari mana, Num?” Wajah ibu tertunduk, melihat ke lantai.
Aku baru saja akan menjawab ketika suara Mas Ardan terdengar. “Nah, coba Ibu bujuk Shanum biar tidak usah kerja! Daripada menggaji orang, lebih baik uangnya untuk kalian saja!”
Aku dan Ibu sontak menoleh. Entah sejak kapan lelaki itu menyender di dinding. Mungkin sudah sedari tadi ia mendengarkan percakapanku dan ibu. Aku menatapnya tajam. Baru saja aku mendapatkan ijin dari Ibu, sekarang Mas Ardan malah berkata begitu. Ibu kelihatan gelisah sekarang. Matanya sendu memandangku, seperti meminta jawaban.
“Dengan aku bekerja atau tidak, sebenarnya kamu tetap berkewajiban menafkahi Ibu dan aku, Mas! Pastinya kamu tahu itu. Jangan kamu jadikan itu sebagai ancaman. Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab!” desisku pelan. Tak enak berdebat dengan Mas Ardan di depan Ibu.
“Hah. Pokoknya, kalau kamu kerja, aku takkan memberi uang sepeser pun!” Mas Ardan teguh dengan pendiriannya.
“Ardan … tega kamu!” sergah Ibu dengan suara bergetar.
“Ya makanya, bujuk menantu Ibu itu biar diam saja di rumah. Lagian, penampilan begitu juga, sok-sokan mau cari kerja! Gak akan ada yang melirikmu!” imbuh Mas Ardan, melukai harga diriku.
“Oh ya, Mas? Sayangnya, aku akan bekerja dengan otakku. Tidak hanya mengandalkan penampilanku saja!” balasku santai.
“Susah ngomong sama kamu!” tandasnya, kemudian masuk lagi ke kamar.
Sepeninggal Mas Ardan, Ibu menjadi benar-benar murung. Ada rasa khawatir dalam hatiku. Kalau banyak pikiran, bisa-bisa tekanan darah ibu naik lagi.
“Bu … Ibu gak usah pikirkan apa yang Mas Ardan katakan tadi, ya. Pokoknya, Shanum hanya minta ridho dan doa Ibu. Insya Allah, Shanum akan dapat pekerjaan yang layak!” Aku mencoba menguatkan Ibu.
“Kamu … yakin, Num?”
“Shanum yakin, kalau Ibu yakin!” tegasku.
“Kalau begitu … pergilah. Jangan khawatirkan Ibu. Ibu di rumah sendirian, juga tidak apa-apa, Num.”
“Tidak boleh. Shanum akan tetap cari teman untuk Ibu di rumah.”
Wanita tua di hadapanku itu mengangguk mantap. Sekarang wajahnya tak ada kekhawatiran lagi. Maka, dengan bismillah, kuputuskan akan mulai sungguh-sungguh mencari kerja besok.
***

Komentar Buku (61)

  • avatar
    EdiWawanedy

    suka cerita nya dan menyedihkan

    11d

      0
  • avatar
    Putri Ilma

    bgus

    20d

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    06/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru