logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 71 Jatah Bulanan (1)

Ranti duduk menunggu suaminya yang sedang dijemput petugas lapas. Seperti biasa, seminggu dua kali Ranti menjenguk suaminya. Jika biasanya Ranti pergi sendiri, kali ini berbeda. Ryan memaksa untuk ikut serta.
Beberapa lauk sengaja disiapkan Ranti hari ini. Memastikan Bayu tetap menikmati makanan yang biasa disantapnya sehari-hari saat ada jadwal kunjungan yang sudah ditetapkan.
"Kakak biasa datang sendiri ya?" tanya Ryan sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ada beberapa keluarga tahanan juga yang saat itu ada di ruangan yang sama.
"Iya. Mau sama siapa lagi memangnya?" ujar Ranti sambil tersenyum.
"Keluarga Bang Bayu misalnya?"
"Tak pernah kami bareng."
Kalimat singkat itu cukup menjelaskan kepada Ryan jawaban atas pertanyaannya tadi. Kakaknya tak memiliki hubungan yang cukup baik dengan keluarga suaminya.
Bayu muncul dari balik pintu besi. Berjalan cepat di belakang seorang petugas lapas.
"Abang sehat?" tanya Ranti sembari berdiri menyambut kedatangan suaminya itu. Meraih tangan kanan laki-laki itu dan menciumnya dengan takzim.
Ryan melakukan gerakan yang sama seperti kakaknya. Bayu sempat terkejut dengan kehadiran pemuda itu. Tak lama. Lantas memberikan pelukan khas dua orang yang lama tak berjumpa.
"Kapan datang?" tanya Bayu kepada adik iparnya itu.
"Kemarin, Bang. Mau menjemput Ibu dan Kakak untuk wisuda Ryan."
Bayu tersenyum. Wajahnya memang tak lagi secerah dulu. Wajah yang dulunya klimis, sekarang jauh berbeda. Terlihat sekali laki-laki itu menanggung beban sejak mulai dilakukan penahanan dulu.
"Alhamdulillah. Abang ikut senang mendengarnya."
"Abang bagaimana kabarnya?"
Bayu diam seolah berat untuk mengatakan. Matanya menerawang jauh ke depan dengan menyandarkan punggung pada kursi yang tersedia.
"Kamu lihat sendiri. Abangmu tak seperti dulu lagi.
Abang tak dapat menjaga kakakmu dengan baik sementara ini."
Ranti meraih lengan suaminya.
"Jangan berkata seperti itu, Bang. Kita sudah sepakat, akan menghadapi ini bersama."
Bayu meraup wajahnya dengan kasar. Lagi-lagi hatinya merasa tak terima dengan semua yang harus dihadapinya saat ini.
"Abang mau makan sekarang?" tanya Ranti sembari meraih paper bag yang dibawanya tadi. Ada roti dan beberapa bungkus mi instan, beberapa sachet kopi instan, dua bungkus nasi Padang yang sudah dipisahkan lauknya, kering teri tempe, kering kentang, dan tak ketinggalan sebotol kecil sambal ijo.
Ranti memang tak dapat setiap hari mengantarkan makanan untuk suaminya. Hanya di saat jadwal kunjungan saja Bayu mendapatkan menu makanan yang agak berbeda. Di hari lainnya, Bayu akan mendapatkan menu makanan khas para tahanan di lapas ini. Karena itu, Ranti menyiapkan stok makanan kering setiap kali mengunjungi suaminya itu.
"Nanti saja, Dek. Anak-anak apa kabarnya?"
Bayu hanya meraih sebotol minuman kemasan dari dalam plastik yang disodorkan istrinya.
"Sehat. Semakin aktif dan lincah mereka, Bang. Tak perlu Abang risaukan."
Bayu menghela napas panjang, membayangkan betapa sulitnya saat tak mampu melihat tumbuh kembang buah hati mereka setiap harinya. Alif hampir masuk SD saat masa hukumannya berakhir nanti. Sedangkan Fayza pasti sudah duduk di bangku TK.
"Kandunganmu ada masalah?" tanya Bayu sembari menolehkan wajahnya ke arah Ranti.
Bagaimana hati Bayu tak nyeri? Ada dua balita yang menjadi beban istrinya seorang diri di luar sana. Sekarang ditambah lagi satu nyawa yang ada di dalam perut istrinya. Menjalani kehamilan seorang diri tanpa dampingan suaminya, laki-laki yang telah menanamkan benih pada rahim wanitanya.
Pilu. Hanya satu kata itu yang mungkin dapat Bayu kala mengingat perjuangan wanita yang telah dihalalkannya dulu itu di luar sana. Sedikit syukur terselip saat menyadari ada kehadiran ibu mertuanya. Paling tidak, wanita itu akan melakukan yang terbaik untuk istri dan anak-anaknya.
Ranti menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.
"Anakmu ini sangat tahu kondisi bundanya. Tak ada ngidam, tak ada keluhan, semuanya berjalan seperti hari-hari biasa."
Bayu mengalihkan pandangannya pada Ryan, pemuda yang sedari tadi memilih diam sembari memainkan gawainya.
"Setelah wisuda nanti, apa rencanamu?"
Ryan menghentikan gerakan jemarinya setelah menekan tombol kirim pesan pada aplikasi berlogo hijau di layar pipih itu.
"Tadinya mau mencari pekerjaan di Jawa, Bang. Tapi melihat kondisi Kakak saat ini, mungkin sementara Ryan di sini dulu menemani Kakak dan Ibu. Paling tidak ... sampai Abang keluar dari sini."
Ryan berusaha menata kalimatnya agar tak menyinggung dua peristiwa menyedihkan yang dilihatnya kemarin. Kalaupun abang iparnya tahu, itu bukan dari mulutnya.
"Terima kasih atas pengertianmu. Maaf jika akhirnya harus merepotkanmu, Ryan. Abang benar-benar minta maaf karena membuatmu merubah banyak rencana dalam hidupmu. Keputusanmu untuk menemani Ranti dan Ibu, Abang sangat menghargainya."
"Tak apa, Bang. Bukankah gunanya saudara untuk itu? Abang tak usah merasa bersalah. Saat ini Ryan yang menolong keluarga Kakak ... bisa jadi suatu saat keluarga Kakak yang menolong Ryan. Bukankah hidup kita tak ada yang tahu bagaimana ke depannya nanti?
Kalimat Ryan itu jelas membuat hati Bayu bergemuruh seketika. Walaupun Bayu tahu, tak ada niat pemuda itu untuk menyindirnya, tetap saja Bayu merasa tak enak hati. Apakah mungkin Ryan tahu tingkah keluarganya pada Ranti selama ini?
"Rencana Adek, nanti Ryan bantu di pengembangan usaha Adek saja di sini. Tak perlu mencari pekerjaan di luar sana. Abang tak masalah kan?"
Ini yang membuat Bayu terkadang merasa malu pada istrinya. Usaha roti yang jelas-jelas milik istrinya itu tak pernah diakuinya secara terang-terangan di depan Bayu. Ranti selalu mengakui usaha itu sebagai milik berdua. Bayu paham, Ranti tak ingin membuatnya berkecil hati dengan pencapaian yang telah diraih istrinya itu.

Komentar Buku (75)

  • avatar
    Kurniasih Anza

    bagus ceritanya

    19/01

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice story

    02/10

      0
  • avatar
    udinKomar

    oke

    14/06/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru