logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 70 Hutang (2)

Ranti menarik napas panjang saat mendengar nama itu disebutkan ibunya. Bukan hanya lelah, hatinya pun terasa sesak saat mengingat ada kata hutang di antara dirinya dan adik kandung suaminya itu. Pinjaman dua puluh juta baru dibayar dua juta saja, setelah belasan bulan terlewati. Entah apa lagi maksud kedatangan wanita itu kali ini.
"Nina datang sendiri, Bu?" tanya Ranti dengan raut wajah lesu.
Bukan tak ingin menyambut tamu, tapi hatinya merasa masih tak nyaman setelah bertemu dengan ibu mertuanya tadi. Energi yang baru saja terkuras belum lagi kembali.
"Berdua dengan Randu. Temuilah! Barangkali saja uang kalian mau dibayarkannya. Berpikir positif saja!"
"Siapa, Kak?" tanya Ryan dengan wajah tak mengerti.
Ryan tahu sifat kakaknya, walaupun pendiam wanita itu biasanya ramah dengan setiap orang yang dikenalnya. Tak mungkin kakaknya enggan untuk bertemu dengan seseorang yang sengaja hendak menemuinya jika tak ada apa-apa.
"Adik Bang Bayu."
Ryan semakin tak mengerti. Jika memang tamu yang datang itu saudara kandung kakak iparnya, mengapa Ranti tampak enggan bersua? Apakah tamu ini tipikalnya sama dengan si nenek lampir tadi?
"Bu, minta Bu Ayu dan Bu Rina membawa Alif dan Fayza bermain di luar. Ranti tak ingin jika terjadi keributan, mereka akan mendengarnya."
Bu Dewi menganggukkan kepalanya.
"Ingat, kamu hamil. Usahakan tak emosi saat bertemu dengannya, lepas dari apa yang akan terjadi nanti!"
"Ryan akan temani Kakak. Ayo!"
Dengan langkah tak bersemangat Ranti berjalan keluar kamar, diikuti ibu dan adiknya. Bu Dewi memilih langsung ke arah kamar cucunya. Kedua balita itu sedang bermain di dalam tenda. Dia harus melaksanakan permintaan Ranti kali ini. Mental kedua cucunya itu harus dijaga agar tidak merekam memori buruk tentang keluarga besar mereka.
"Nin ... maaf lama menunggu. Kakak sedang tak enak badan.
Ranti tak berbohong. Perdebatannya dengan sang ibu mertua tadi membuat tubuhnya serasa panas dingin tak karuan.
"Tak apa. Kami juga tak lama."
Ranti menangkap raut wajah tak bersahabat dari adik iparnya itu. Sementara Randu, tetap seperti biasa. Wajah datar tanpa ekspresi apa-apa.
"Oh ya, maaf sebelumnya. Saya mohon izin duduk di sini. Bukan karena ingin ikut campur, tapi untuk memastikan Kakak saya kondisinya aman-aman saja. Saya tak ingin, Kakak saya harus teraniaya saat berada di dalam rumahnya sendiri," ucap Ryan dengan maksud untuk menyindir. Entah Nina dan Randu paham atau tidak maksud ucapan Ryan itu.
Ranti tak lagi memperkenalkan Ryan kepada kedua tamunya. Rasanya wajah satu-satunya adik lelakinya itu masih tertanam di memori ingatan Nina kala berjumpa saat pernikahannya dulu. Urusan Randu yang tak mengenal Ryan, rasanya itu akan menjadi tugas Nina untuk menjelaskannya.
"Ada yang penting hingga kalian datang ke sini?"
Ranti langsung menanyakan tujuan kedatangan keduanya, tanpa basa-basi. Jika boleh meminta, Ranti ingin pembicaraan mereka ini tak lama.
"Masalah hutang kami, Kak. Kenapa Kakak menitipkan pesan pada Bang Ilham agar kami membayarnya? Kakak tak bisa memintanya kepada kami langsung? Kenapa harus menitipkan pesan itu pada Bang Ilham? Kakak seolah-olah ingin mempermalukan kami," ucap Nina dengan nada tak suka. Wanita itu tampak tak dapat menyembunyikan kekesalannya.
"Aku? Tak salah kalian bicara?" jawab Ranti dengan nada agak tinggi.
Wajar saja Ranti merasa kesal dengan tuduhan Nina karena tak merasa pernah menitipkan pesan seperti itu pada Ilham. Tapi tak mungkin pula jika Ilham mengada-ada. Atau mungkin, Bayu yang menitipkan pesan itu? Ranti tiba-tiba teringat ucapan Bayu saat awal penahanan dulu.
"Ya jelaslah, Kakak. Tak mungkin tak ada angin tak ada hujan sampai Bang Ilham sengaja datang ke rumah dan menyinggung hutang kami pada Kakak. Sebegitunya Kakak pada kami ya! Padahal kami ini saudara kandung Bang Bayu, suami Kakak."
Ranti tiba-tiba ingin mual saat mendengar rangkaian kata yang diucapkan Nina itu. Keluarga suaminya ini sepertinya memang perlu dicek kejiwaannya oleh psikiater.
"Kalian mau percaya atau tidak terserah. Yang jelas ... Kakak tak pernah menyinggung masalah hutang itu pada Bang Ilham."
Nina tampak gelisah.
"Kalau bukan Kakak, dari mana Bang Ilham tahu masalah hutang kami?"
Ranti menyunggingkan senyum tipis di bibirnya.
"Kalian sudah bertanya ke Bang Bayu? Bisa jadi ... Bang Bayu yang menitipkan pesan itu. Jangan hanya karena kalian tak suka dengan Kakak, tuduhan keji kalian timpakan ke Kakak saja."
"Bang Bayu tak akan sejahat itu pada kami. Bang Bayu pasti paham, kalau belum kami bayar ... artinya memang uangnya belum ada."
Sontak saja Ranti naik pitam saat mendengar ucapan Nina itu.
"Jadi kalian pikir aku yang jahat? Aku mencoba menahan diri selama ini, mencoba bersabar menunggu uang yang ada di tangan kalian. Tak pernah aku menyinggung masalah itu di depan Bang Bayu. Karena apa? Aku tak ingin menambah beban pikiran abang kalian."
Ryan mengusap wajahnya berkali-kali. Ingin ikut bicara, tapi masalah ini bukan kapasitasnya. Bukankah tadi niatnya hanya ingin mendampingi kakaknya saja?
"Bahkan di saat abang kalian terpuruk, tak terlintas dalam benak kalian jika uang itu dibutuhkan saudara kandung kalian untuk menyelesaikan masalahnya. Itu uang yang kami pinjamkan, bukan kami berikan."
Ranti berusaha meraup oksigen yang ada di sekitarnya. Ryan memegang lengan kakaknya dan mencoba memberi kode agar wanita itu tak menumpahkan emosinya secara berlebihan. Ranti tak memperdulikan kode adiknya itu.
"Tak mungkin kalian tak mampu mencicilnya secara rutin tiap bulan, jika kalian memang berniat untuk membayarnya. Usaha kalian masih berjalan kan sampai saat ini? Kalian pikir aku tak tahu? Bahkan saat kelahiran putrimu, aku dan Bang Bayu sempat ke rumah kalian. Apakah kalian pernah menyinggung masalah hutang itu pada kami? Seolah-olah ... jika kami tak ingat, kalian pun lebih lagi melupakannya."
Nina terdiam. Giliran Randu yang bicara.
"Sesama saudara, mungkin baiknya tak terlalu perhitungan, Kak."
Kali ini Ranti benar-benar tak dapat menahan emosinya.
"Perhitungan yang bagaimana? Jika mau dihitung, berapa besar uang yang diberikan Bang Bayu pada pernikahan kalian? Apakah kami pernah menghitungnya? Ingat akad kita kala uang itu berpindah tangan. Pinjaman ... bukan pemberian. Aku ingatkan itu, barangkali saja kalian lupa."
Ryan menyodorkan segelas minuman kepada kakaknya itu. Pemuda itu sempat ke dapur untuk mengambil air putih saat melihat emosi Ranti yang meledak-ledak tadi.
"Aku cuma mengingatkan kalian. Yang namanya hutang ... sampai meninggal pun akan disebut hutang. Camkan itu! Pergilah, jangan pernah kembali ke rumah ini jika masih membahas masalah yang sama seperti ini. Bukan aku yang menagih, tapi Bang Bayu, abang kalian sendiri. Karena Abang kalian tahu kondisi kalian, bukan dia buta dan tuli."
Kali ini ucapan Ranti melemah. Selanjutnya kakinya melangkah menuju pintu yang terbuka. Membuka pintu dengan selebar-lebarnya, memberi isyarat pada kedua tamunya untuk berlalu dari hadapannya.

Komentar Buku (76)

  • avatar
    QuainRichard

    wkwkwk

    49m

      0
  • avatar
    Kurniasih Anza

    bagus ceritanya

    19/01

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice story

    02/10

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru