logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 68 Kumpul Keluarga (2)

Seminggu sebelum acara wisudanya, pemuda itu datang berkunjung pertama kalinya ke rumah sang kakak, sekaligus melepas rindu pada sang ibu. Selama ini baik Bu Dewi maupun Ranti memang tak pernah menceritakan semua yang terjadi pada pemuda itu. Membiarkan Ryan fokus dengan kuliahnya dan tak melibatkan pemuda itu dalam masalah yang sedang Ranti alami saat ini.
Hanya meminta alamat Ranti, Ryan tak ingin dijemput oleh wanita itu dan memilih menjadikan taksi sebagai kendaraannya dari bandara. Tak sulit bagi supir taksi menemukan alamat kakaknya, rumah yang cukup luas dengan pagar yang cukup besar membuatnya tampak mencolok dibandingkan rumah lain di sekitarnya.
Ryan sempat merasa takjub melihat kediaman Ranti. Kakaknya cukup sukses sepertinya di tanah rantauan. Selama ini Ryan memang mengenal Ranti sebagai sosok yang tekun dan tak mudah menyerah.
Bu Dewi yang sudah menunggu kedatangan putra bungsunya itu segera beranjak saat melihat sosok Ryan yang turun dari taksi. Dipeluknya Ryan yang memang tak pernah lagi bertatap muka dengannya semenjak memutuskan tinggal di rumah Ranti. Selama ini hanya panggilan video yang menjadi pengobat kerinduan di hatinya.
"Assalamu'alaikum, Bu. Ibu apa kabar?" tanya Ryan saat meraih tangan kanan ibunya itu. Mencium tangan wanita itu dengan takzim cukup lama.
Bu Dewi cepat merangkul tubuh Ryan setelah melepaskan tangannya.
"Waalaikum salam ... harusnya Ibu yang bertanya kabarmu. Kalau Ibu tak menelepon, tak ada inisiatifmu menelpon Ibu duluan. Kamu tak memikirkan perasaan Ibu," ucap Bu Dewi sembari mengusap wajah Ryan. Lama tak bersua, rasanya rindu yang dirasakan sudah seperti menggunung saja.
"Bu ... Ryan ini laki-laki. Tak perlu Ibu terlalu khawatir seperti itu. Kalau Ryan tidak menelepon Ibu itu artinya keadaan anak Ibu ini baik-baik saja."
Bu Dewi tersenyum bahagia. Di usianya yang semakin menua, berkumpul bersama kedua anaknya merupakan saat-saat yang membahagiakan.
"Kakak mana? Dua bocah cilik juga. Ryan belum pernah bertemu," ujar Ryan sembari memindai keadaan sekitarnya.
"Kamu tak bawa oleh-oleh, Yan? Kakakmu ada di dalam."
Ryan terkekeh saat mendengarkan pertanyaan ibunya itu.
"Sejak kapan Ryan suka membeli oleh-oleh, Bu? Lagi pula kan nanti Ibu bisa puas menikmati semua makanan yang Ibu mau saat nanti kita pulang."
Bu Dewi menggamit lengan putranya.
"Ayo masuk ke dalam! Ponakanmu sedang main. Sebentar lagi ponakanmu tak hanya dua."
Ryan yang mendengar ucapan ibunya itu sontak terperangah.
"Ibu serius? Gila, nggak capek apa hamil melulu?!"
"Hush ... tak baik berkata seperti itu. Kamu tuh kapan nyusul, kasih ibu cucu."
Ryan terbahak.
"Jangankan cucu, Bu. Menantu pun tak dapat-dapat."
Keduanya melangkah ke dalam rumah. Ranti yang sedang bermain bersama Alif dan Fayza langsung berdiri dan memeluk adiknya itu.
"Ryan ... Kakak kangen! Selamat datang di gubuk Kakak ini!"
Keduanya berangkulan dengan erat. Jika saja Ryan tak cepat menyadari kondisi perut kakaknya yang sedikit membuncit, rangkulan itu tak akan dilepaskannya.
"Segini dibilang gubuk, Kak? Bagaimana rumahnya?"
"Itu ponakanmu. Baru pertama kali ketemu kan?"
Ranti mengarahkan telunjuk kanannya pada sebuah tenda kecil yang terpasang di dalam rumah. Alif dan Fayza memang sedang di dalam tenda itu.
Belum sempat kaki Ryan melangkah ke arah tenda berwarna biru muda itu tiba-tiba terdengar ucapan salam dengan nada sedikit keras.
Ranti menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
"Waalaikum salam, Bu. Masuk saja, Bu!" ucap Ranti saat mengenali sosok yang datang ke rumahnya ini.
Sejak tragedi tempo hari, Ranti memang belum lagi berjumpa dengan sang mertua. Bukan tak ingin, hanya rasa malas mendera jika akhirnya pertemuan mereka harus berakhir dengan rasa kecewa. Sekarang wanita yang telah melahirkan suaminya ini datang sendiri ke rumah. Tak mungkin ibu mertuanya itu akan menginjakkan kaki ke rumahnya jika bukan tanpa alasan. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi.
Tampak Bu Ratna masuk dengan langkah yang tegap ke dalam rumah. Tak sendiri, wanita itu datang bersama Ririn.
"Bu Ratna apa kabar? Silahkan duduk, Bu. Oh iya ... ini Ryan, adik Ranti. Ibu sudah pernah berjumpa saat pernikahan Ranti dulu kan?"
Wanita paruh baya itu cepat mengambil kendali sebagai tuan rumah ketimbang akan terjadi hal yang tidak diinginkan mereka tentunya.
"Wah, enak dong ya! Sudah kumpul keluarga saja! Berkumpul di rumah anakku yang nyaman ini, sementara anakku sedang berjuang, meringkuk di balik jeruji besi ini. Dimana hati nurani kalian?" ucap Bu Ratna sambil mendudukkan tubuhnya di kursi.
Ranti kembali merasa terpancing atas ucapan mertuanya itu. Selama ini dirinya diam bukan karena merasa bersalah, tapi lebih pada rasa menghargai Bayu sebagai suaminya. Haruskah semua fakta itu diungkapkannya sekarang?
"Asal Ibu tahu, rumah ini tak sepeser pun menggunakan uang gaji Bang Bayu, anak Ibu. Rumah dan tanah ini murni seribu persen menggunakan uang hasil usahaku."
Bu Ratna terperanjat, tak menyangka jika Ranti akan menunjukkan reaksinya kali ini.
"Tak mungkin, kamu pikir Ibu tak tahu berapa gaji Bayu? Tak usahlah kamu membuat kebohongan seperti ini!"
Ranti tersenyum sinis. Sementara Ryan bingung atas semua yang terjadi di depan matanya saat ini.
"Kalau Ibu tahu berapa gaji Bang Bayu, Ibu pikir uang itu tak habis untuk keperluan rumah tangga kami dan memberikan uang bulanan kepada Ibu tiap bulannya?"
"Wajar saja Bayu memberikan uang pada kami. Kami ini orang tuanya. Kamu saja ibumu tinggal di rumah ini secara gratis bukan?"
Ranti jelas meradang saat ucapan mertuanya mulai menyinggung ibu kandungnya.
"Ibu pikir ... ibuku peminta-minta seperti Ibu? Cukup duduk di rumah berpangku tangan, uang pensiun almarhum Ayah akan masuk ke rekening ibuku. Adikku? Tak perlu kami mengiriminya uang bulanan, dia pandai mencari uang untuk kebutuhannya sendiri. Jadi silahkan Ibu pikir sendiri, siapa yang parasit di keluarga kami! Keluarga Bang Bayu atau keluargaku?!"
Ranti bergegas masuk ke dalam kamarnya. Tak lagi menghiraukan kehadiran dua wanita yang sama tak warasnya itu. Jika dirinya boleh dihina, tapi tidak orang tuanya.
Bu Ratna dan Ririn pun pergi tanpa pamit akhirnya. Niat semula untuk meminta jatah bulanan menjadi batal hanya karena mulut yang tak tahu adab untuk berbicara.

Komentar Buku (76)

  • avatar
    QuainRichard

    wkwkwk

    49m

      0
  • avatar
    Kurniasih Anza

    bagus ceritanya

    19/01

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice story

    02/10

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru