logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 64 Tak Ada Harga Untuk Saudara (2)

"Tak usah khawatir, Kakak sudah menjelaskan segalanya pada suamimu. Tak perlu suamimu resah, istrinya ini cinta mati pada dirinya," lanjut Firman sambil tertawa.
Ranti tak mampu untuk menahan lagi. Bulir bening itu akhirnya lolos dari netranya. Ya Allah, ternyata satu episode ujian dalam hidupnya berakhir dengan indah.
Bayu merangkul Firman. Membisikkan terima kasih berkali-kali pada laki-laki yang telah mengorbankan banyak waktu dan pikirannya untuk menangani kasusnya.
"Kakak pamit dulu, Ran. Tak bisa lama-lama. Kita bertemu lagi besok. Salam untuk ibumu."
Firman pamit undur diri. Meninggalkan pasangan suami istri itu.
"Abang bicara dengan Kak Firman?"
Bayu menganggukkan kepalanya.
"Untuk apa? Abang tak percaya Adek lagi?" tanya Ranti dengan nada sendu.
Bayu meraih jemari istrinya. Menatap wanita itu dengan perasaan yang bercampur aduk.
"Bukan tak percaya. Tapi ingin memastikan segalanya. Abang tak mungkin bisa lega, terkurung di balik jeruji besi entah untuk berapa lama tanpa mendapatkan kejelasan untuk sesuatu yang menjadi tanda tanya di hati Abang. Abang tadinya berpikir ... saat Abang tak lagi mampu membahagiakanmu, Abang siap untuk melepaskan, jika memang itu yang terbaik. Kebahagiaanmu di atas segalanya. Abang tak akan menuntutmu untuk berkorban lebih banyak."
Hening. Tak ada lagi kata yang terucap dari keduanya. Sampai akhirnya Ranti menghela napas panjang.
"Dan setelah Abang bicara ... bagaimana?"
Bayu tampak tersenyum.
"Tak ada keraguan. Abang lega saat Firman ikhlas melepaskanmu. Abang tadinya berpikir, laki-laki itu masih berpikir untuk bersamamu. Apalagi saat melihat kondisi Abang saat ini. Alhamdulillah, Abang salah menduga."
Ranti menarik napas lega. Satu hal yang masih tak diceritakannya pada sang suami. Keikhlasan Firman tak akan terjadi jika bukan karena permintaannya. Bayu tak salah menduga, laki-laki itu masih menyimpan rasa untuknya. Sudahlah, yang terpenting episode itu sudah diakhirinya.
"Abang siap untuk vonis besok?" tanya Ranti lagi. Tak ingin memperpanjang masalah yang awalnya sempat menghimpit dadanya.
"Siap tidak siap, Abang harus siap. Walaupun jujur, kesiapan itu tak pernah ada sampai kapan pun. Abang tak siap terkungkung dalam jeruji besi itu, Dek. Abang tak siap berpisah dengan kalian lebih lama lagi."
Bayu menyugar rambutnya dengan kasar.
"Banyak istighfar, Bang. Adek yakin, Abang, kita, akan berhasil melaluinya. Abang harus percaya, kami akan selalu bersama Abang."
"Begitu putusan itu terbit, status pekerjaan Abang pun akan mulai diproses, Dek. Abang akan diberhentikan sebagai aparatur negara. Tak ada lagi gaji yang akan Adek terima setiap bulannya selama Abang dipenjara. Abang tak lagi mampu menafkahi kalian, istri dan anak-anak Abang."
Kali ini Bayu terisak. Berat beban yang harus dipikulnya. Mendekam di penjara, ditambah lagi kehilangan pekerjaan yang selama ini digelutinya.
Ranti mencoba kuat. Tak ingin menambah rasa bersalah suaminya itu dengan ikut meneteskan air mata.
Diraihnya tubuh sang suami. Pelukan hangat diberikannya untuk laki-laki itu, ayah dari anak-anaknya.
"Allah sudah mengatur rezeki keluarga kita. Mungkin bukan dari Abang, pundi-pundi keuangan kita mengalir dari Adek. Abang tahu? Usaha kafe kita pendapatannya semakin meningkat. Kami tak akan kelaparan di luar sana, Bang."
Ranti memang patut mengucap syukur. Saran Agung untuk menambah variasi jumlah makanan di kafenya ternyata menunjukkan hasil yang positif. Omset kafe semakin meningkat setiap harinya.
"Yang penting Abang sehat, tak usah banyak pikiran. Untuk urusan rezeki, Bang harus percaya. Allah tak akan menukarnya. Kita sudah ada takaran rezeki masing-masing."
Ranti mengurai dekapannya. Diusapnya air mata yang mengalir dari kedua netra suaminya.
"Bapak dan Ibu sudah tahu tentang sidang vonis besok?"
Bayu menganggukkan kepalanya.
"Sudah. Kemarin dulu Bapak sempat kemari. Bang Ilham juga sudah tahu saat berkunjung kemarin. Semoga Bapak dan Ibu juga kuat sepertimu, Dek. Abang merasa bersalah ... telah membuat mereka kecewa dan juga malu atas kasus ini."
Ranti menepuk-nepuk lengan suaminya. Ranti tahu sekali cara berpikir mertuanya itu. Jika bapak mertuanya kemungkinan masih bisa berlapang dada, belum tentu untuk sang ibu mertua. Wanita itu tentu berat hati menerima semua keputusan pengadilan anaknya. Boleh jadi vonis dapat diterimanya, namun keputusan pemberhentian Bayu dari pekerjaannya itu tentu sangat membuat wanita itu akan terpuruk dalam rasa kecewa. Selama ini, suami Ranti itu selalu menjadi andalan sang ibu mertua untuk segala urusan yang berbau keuangan.
"Anak-anak bagaimana kabarnya?"
Ranti tersenyum dan merapikan kerudungnya. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya pada sang suami.
"Anak-anak Abang yang mana?" tanya Ranti kembali sambil tersenyum simpul.
Bayu tampak mengernyitkan dahinya. Tak mengerti apa maksud pertanyaan istrinya.
"Fayza dan Alif tentunya. Memangnya Abang punya anak yang lain?" ujar Bayu dengan nada bingung.
Ranti diam sambil memainkan bibirnya.
"Abang punya anak yang lain."
Bayu semakin tak mengerti dan bertambah bingung. Memangnya dia punya anak yang lain, sementara istrinya hanya satu?
"Anak yang lain? Siapa yang mengatakan berita bohong itu padamu?"
Lagi-lagi Ranti memilih tersenyum. Tak ingin menanggapi kegusaran suaminya. Perlahan wanita itu meraih tangan Bayu dan meletakkannya di perutnya.
"Di sini, Bang. Di dalam sini ada anak Abang yang lain."
Bayu terperangah, tak percaya dengan apa yang dikatakan istrinya itu.
"Adek hamil lagi?"
Ranti mengangguk. Tak ada rasa mual ataupun keluhan lainnya. Hanya saja Ranti merasa curiga saat tamu bulanannya tak kunjung hadir juga. Akhirnya Ranti memutuskan melakukan uji urine untuk memastikannya. Garis dua terlihat jelas di benda pipih itu. Kemarin sore Ranti ke bidan Aryani untuk memastikannya.
"Enam minggu, Bang. Doakan kehamilan ini tak ada masalah. Doakan Adek dan bayi kita sehat, walau tak ada Abang yang mendampingi."
Bayu kembali terisak saat membayangkan perjuangan istrinya itu. Berjuang membesarkan kedua anak mereka, ditambah harus menjalani kehamilan seorang diri nantinya. Ya Allah, haruskah dirinya merasa bahagia atas kehamilan istrinya ini di saat wanita itu harus menjalani berjuang untuk banyak hal sendiri di luar sana?

Komentar Buku (76)

  • avatar
    QuainRichard

    wkwkwk

    4h

      0
  • avatar
    Kurniasih Anza

    bagus ceritanya

    19/01

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice story

    02/10

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru